-----
Tulisan ini dari milis tetangga, barangkali ada manfaatnya. Wasallam, Teman-teman, Sering kali kita baru sadar akan berartinya sesuatu atau seseorang, setelah kita kehilangan akses terhadap benda atau orang tersebut. Kita baru sadar mahalnya nilai kesehatan, sewaktu kita sakit. Kita baru sadar arti satu-dua rupiah, ketika kita botul-botul na hadong hepeng. Kita baru mengerti arti beras, ketika tak ada lagi butir yang bisa ditanak. Kita baru tahu artinya rindu, ketika terpisah jauh. Baru paham pentingnya cinta terhadap orangtua, ketika mereka sudah tiada. Menggugah rasa memiliki, memang tidak mudah. Ada tulisan rekan saya, Suhunan Situmorang SH (pengacara) yang dibuatnya pertengahan Maret lalu. Sangat mengharukan dan saya tulisan beberapa catatan yang bisa didaur dari cerita roman "Laskar Lima Sian Pangururan" yang dipaparkan Suhunan. Pertama, lapar memang tidak bisa ditahan, dan lapar pada tahap tertentu bisa mengalahkan rasa malu sekaligus menimbulkan rasa kebersamaan dan keberanian. Catatan kedua, tentang pemberian sederhana yang dilakukan ompung, yang barangkali nyaris tak berarti baginya, ternyata menorehkan rasa terimakasih yang tidak pernah pupus sampai puluhan tahun. Mungkin ompung tersebut tidak pernah mengingat peristiwa 'kecil' yang tidak penting baginya. Catatan lain, adalah the morale of the story, bahwa persahabatan (terutama di masa-masa sulit) merupakan barang langka yang sangat indah. Pasti perjalanan pulang berbekal lima suap nasi sisa itu, menjadi topik yang paling memikat jika Suhunan berlima bertemu lagi. Catatan saya yang terakhir, saya sungguh tidak menduga Suhunan sangat pandai merangkai kata dan merajut kalimat. Kita masing-masing tentu punya kisah tersendiri seperti yang dialami Suhunan, tapi belum tentu kita mampu menuturkannya secara memikat. Horas! (ak) Nasi Sisa Dibagi Lima Tulisan Suhunan Situmorang SH PERSISNYA aku lupa dalam rangka apa sebenarnya perhelatan akbar Pemda Tapanulli Utara yang digelar di Balige itu. Kalau tak salah, peresmian patung Panglima Revolusi DI Panjaitan. Yang kuingat, aku sudah duduk di bangku SMP dan gaung kenduri besar itu begitu menyita perhatian warga Pangururan—sebagaimana warga lain di semua wilayah Kab.Taput. Gubernur Sumut Marah Halim dan beberapa Bupati di Sumut akan hadir, tiap kecamatan diinstruksikan Pemda agar warga beramai-ramai menghadirinya. Orang-orang Pangururan dan sekitarnya menjadikan perhelatan kabupaten itu sebagai topik pembicaraan menarik. Empat kapal disiapkan Camat untuk membawa warga, ratusan atau mungkin seribuan orang lantas menyatakan ikut ke Balige. Aku dan kawan-kawan sepermainan pun memendam hasrat besar untuk menyaksikan acara yang amat langka terjadi itu. Balige akan dijejali ribuan manusia. Bus, truk, jip, sedan, akan memadati jalan-jalan kota kecil itu. Kapal-kapal kayu dari seluruh kawasan Danau Toba akan berlomba-lomba ke sana. Aneka pertunjukan yang belum pernah disaksikan warga akan digelar untuk menghibur pengunjung. Alangkah senangnya bila bisa menyaksikan semua itu. Sayangnya, sampai satu hari menjelang acara, tak satu orangtua kawan dekatku pun yang turut ke Balige, sementara kami tak diizinkan pergi tanpa pendamping. Dengan perasaan bergelora, sering kami bayangkan hebatnya acara itu, terutama “lomba paling kencang” kapal-kapal kayu berhias dari berbagai penjuru Danau Toba. Hingga mendekati senja, kami masih duduk lesu di bawah pohon mangga di halaman rumah camat dengan tatapan nanar ke arah danau. Diam-diam kami membangun sebuah harap, ada seseorang (atau beberapa orang) yang tiba-tiba datang dan mengajak kami ke Balige. Tapi, hingga malam menjelang, harapan tersebut tak berwujud. Entah siapa yang memberi ide, akhirnya kami putuskan berangkat ke Balige tanpa izin orangtua. Kami yakin, selama di sana, pasti bertemu kerabat, kenalan, atau tetangga, dan hakkul yakin akan ditawari makan (mie gomak, gorengan), sebab kami tak punya uang sepeser pun. Kami sepakati pula, supaya tak ketiduran dan ketinggalan kapal, harus siap begadang di pelabuhan. Kami pun pulang ke rumah masing-masing setelah membuat janji: paling lambat pukul 10 sudah harus kumpul di pelabuhan. Agar tak kedinginan, jangan lupa bawa baju hangat—entah itu milik kakak, abang, adik, atau bapak masing-masing. *** PUKUL 3 dini hari, pelabuhan Pangururan sudah dipenuhi orang. Mesin-mesin kapal yang sudah didandani, mulai dihidupkan. Kami masuk ke sebuah kapal bernama ‘Naimarata’ dengan cara berpencar, melangkah percaya diri, seolah-olah “penumpang legal.” Hampir semua wajah penumpang kami kenal, walau tak begitu akrab. Keempat kapal pun memulai pelayaran, kami bersorak seraya memandangi Pangururan yang lamat-lamat terlihat hanya berupa cahaya lampu-lampu. Benar saja, keempat kapal melaju lebih kencang dari yang biasa kami lihat. Memasuki "tao" (danau) Simbolon, alam masih dilingkupi keremangan, namun di kejauhan mulai tampak lampu-lampu kapal. Semakin lama semakin banyak, datang dari Urat, Nainggolan, Janji Raja, Tipang, selain kapal dari Simbolon, Tamba, Mogang, Palipi, Sihotang, Harian Boho, Simanindo, Parbaba, Simarmata, Bonandolok, Hasinggaan, Silalahi. Cuaca bagus, walau udara danau dingin menusuk. Danau Toba kian ditaburi cahaya lampu-lampu kapal, bintang di langit masih berpendar-pendar. Perasaan kami semakin bergelora, walau kemudian satu per satu terkulai karena disergap kantuk. Kami terbangun ketika matahari sudah bersinar-sinar di sekitar “tao” Meat, dan perjalanan sudah empat jam. Seluruh danau diramaikan kapal dari berbagai penjuru, dari masing-masing kapal melambai-lambai bendera merah putih. Ada pula kapal dari arah Bakkara yang membunyikan “gondang,” dari Ambarita melantunkan musik tiup. Penumpang-penumpang kapal Pangururan tak mau kalah, nyanyian spontan laksana paduan suara bersahut-sahut diiringi gitar. Kami turut bernyanyi, bersorak, saling melambaikan tangan. *** SEJAK pagi hingga petang, Balige dipadati orang, kendaraan, dan kapal. Beragam acara dipertontonkan, gubernur dan para bupati dielu-elukan. Ada “tumba” (pagelaran tari dan nyanyi) dari berbagai sekolah, ada vokal grup, band, dan sejumlah atraksi yang amat menarik—setidaknya bagi kami “par Samosir.” Kedai-kedai makan dan pedagang pinggir jalan diserbu pembeli, jalan-jalan di seluruh kota kecil itu dijejali manusia. Aku dan kawan-kawan mengikuti segala atraksi yang menarik minat, terkadang berjalan ke sana ke mari menembus keramaian di tengah terik matahari dan lelehan keringat. Menjelang tengah hari, kami mulai merasa haus dan lapar—sementara tak selembar rupiah pun ada di kantong kami. Kami lalu sepakat menemui orang-orang Pangururan, siapa tahu ada yang menawari makanan. Sayangnya, walau sudah berjalan ke sana ke mari, tak mudah menemukan kerabat atau orang yang dikenal, mungkin karena berjibunnya manusia. Akhirnya kami turun ke danau yang sudah dipenuhi kapal, mencari lokasi yang agak bersih, lalu mereguk air danau sepuasnya untuk menghalau dahaga. Kami kembali lagi ke arena tempat sejumlah acara digelar seraya menahan lapar. Tak tahan menahan lapar, kembali kami berjalan ke sana ke mari, berharap jumpa orang-orang yang dikenal atau mengenal kami. Yang ketemu malah orang-orang yang tak begitu familiar dengan kami: pegawai kecamatan, kejaksaan, polisi—yang tak mungkin kami dekati. Kami terus berjalan menelusuri sudut-sudut Balige sambil menahan liur saat menyaksikan berbagai jenis makanan digelar di etalase kedai-kedai dan pedagang mie-kue-gorengan yang tiada henti diserbu pembeli. Karena capek, akhirnya kami berhenti di bawah pohon beringin besar di sebuah simpang. Tubuh kami sudah lemas dan lepek karena keringat, selain diserang kantuk. Pembicaraan kami tak lagi disusupi gairah, masing-masing terdiam menahan lapar dan lelah. Di dalam hati kami, bisa jadi sudah saling menyesali diri atas kenekatan pergi ke Balige tanpa bekal. Juga dihantui perasaan bersalah dan takut karena orangtua dan saudara-saudara kandung pasti sudah mencari-cari kami sejak pagi. *** HARI telah gelap ketika kapal-kapal Pangururan meninggalkan Balige. Kepulangan kami terlambat sejam lebih karena tak mudah mengumpulkan penumpang—ternyata cukup banyak yang menyempatkan diri mengunjungi keluarga, kerabat, atau kenalan mereka di sana, bahkan ada yang pergi ke Siborongborong, Laguboti, Porsea. Kami berlima terduduk lunglai di lambung kapal yang dijejali penumpang, sebagaimana di bagian palka. Di kapal itu sebenarnya ada kantin kecil yang menjual makanan, kopi, teh manis, namun kami tak berani mendekat karena malu bila maksud kami mengutang, ditolak. Di sekitar tempat kami duduk, aku bertemu seorang kerabat semarga, perempuan setengah baya berprofesi guru, yang secara derajat marga, aku panggil “ompung.” Ia agak kaget ketika melihatku dan kemudian bertanya anu-itu. Laju kapal terasa lambat, mungkin karena gempuran ombak dan tiup angin danau yang cukup kencang. (Orang sana menyebut ‘alogo Lubis’). Sungguh pelayaran yang menjemukan, mataku mulai berkunang-kunang karena lapar. Tak sabar lagi rasanya tiba di Pangururan agar bisa menyantap nasi sebanyak-banyaknya—kendati dibayangi perasaan takut kena damprat orangtua. Sekitar pukul 8 malam, orang-orang mulai membuka rantang atau bungkusan berisi makanan. Mereka (puluhan orang) menyantapi makanan masing-masing dengan lahap; aromanya membuat usus kami kian tercabik-cabik. Aku dan dan kawan-kawan berjuang keras menahan liur menyaksikan para penumpang itu bersantap, yang tak seorang pun menawari kami, mungkin saking lahapnya. Daging ayam, rendang sapi, telor bulat bersambal, ikan mujahir goreng, sayur terong tauco, alangkah lezat di tengah cengkeraman lapar dan tiup angin danau yang semakin menggigilkan tubuh. Di bawah remang cahaya lampu kapal, aku menyaksikan ompung-ku dan kawan-kawannya begitu lahap makan (dari rantang). Diam-diam, aku berharap ia menawariku sebagian makanannya. Aku berulang-ulang menelan ludah, namun tak kuasa meredam “kerusuhan” yang sudah sejak siang terjadi di dalam perut. Kulihat kawan-kawanku kian lesu, pandangan mereka hampa ke sekeliling yang tengah asyik makan malam. Saat bengong, antara tertidur dan didera perasaan lemas, tiba-tiba si ompung itu memanggilku seraya menyodorkan rantang berisi nasi dan lauk yang sebagian sudah ia makan. Spontan aku beranjak untuk menyambut rantang itu. Kulihat, masih ada seperempat nasi yang sudah bercampur kuah sayur dan sekerat ikan mujahir goreng. Aku sempat ragu, karena sesungguhnya aku termasuk orang yang mudah merasa jijik; orangtua dan semua saudaraku tahu betul itu, yang sejak kecil ogah disuapi ibu atau bapak dengan tangan, apalagi bukan nasi dari piringku. Tanpa berpikir panjang dan tak sempat membasuh tangan, kusuapkan sejumput nasi bekas itu ke mulut, lalu menyerahkan sisanya ke kawan-kawan. Keempat kawanku bergiliran menjumput, sesuap-sesuap, dan... langsung tuntas. Rantang yang sudah kosong itu kukembalikan sambil mengucapkan, “Mauliate Ompung.” Seorang kawanku (marga Sitompul), kemudian berinisiatif meminta air minum ke pengelola kantin kapal; kami pun minum dari sebuah cangkir kaleng berukuran besar, dan kemudian tertidur bersama perut yang tetap lapar. Sejak itu—dan semoga saja sampai selanjutnya—aku berusaha menghargai tiap jumput nasi, tak tega menyisakan di piring, meski perut sudah kenyang dan di kantong masih ada sejumlah uang.***