Meski tidak nyinggung-nyinggung Banten, tulisan ini bisa dijadikan sambilan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah yang mau memberikan izin kapal asing di laut teritorial (12 mil). Kapal asing di ZEE (200 mil) saja sudah menyusahkan nelayan lokal. Apalagi dilakukan perang terbuka di laut teritorial yang notabene daerah operasi nelayan skala kecil dan menengah. Mengenai sumber penulisan, dapat dilihat pada www.sinarharapan.co.id hari Rabu, tangal 29 Maret 2006. A. Solihin Industri Perikanan Terpadu
Oleh Akhmad Solihin Kebijakan industri perikanan terpadu merupakan amanat UU No 31/2004. Pada Pasal 25 disebutkan, usaha perikanan meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran. Berdasar pasal ini, Menteri Kelautan dan Perikanan, Freddy Numberi menghentikan kerja sama penangkapan ikan oleh kapal Filipina pada Desember 2005, kapal Thailand tahun 2006, dan kapal China 2007. Kapal asing tidak diusir secara total dari perairan Indonesia karena ada skema joint venture (usaha patungan). Dengan sistem ini kapal asing boleh melakukan penangkapan ikan di Indonesia bekerja sama dengan pengusaha Indonesia. Awak kapalnya pun harus dari Indonesia. Tapi sebelum bicara joint venture, pemerintah terlebih dahulu harus membenahi data yang berkaitan dengan potensi sumber daya ikan Indonesia. Apakah validitasnya dapat dipertanggungjawabkan sehingga mendukung pemberian izin? Berbagai peraturan internasional seperti Konvensi Hukum Laut (UNCLOS 1982), UN Compliance Agreement 1993, UN Fish Stock Agreement 1995, dan Code of Conduct for Responsible Fisheries 1999 menekankan artinya validitas data berdasarkan kajian ilmiah terbaik guna menciptakan perikanan yang berkelanjutan dan bertanggung jawab. Bila peraturan perikanan internasional ini diabaikan, dikhawatirkan perdagangan produk perikanan Indonesia di dunia mendapatkan ganjalan (embargo). Lemahnya data perikanan akan menjebak Indonesia pada ketentuan illegal, unreported, unregulated (IUU) fishing yang sedang diperangi masyarakat perikanan global. Soal Bendera Izin penangkapan ikan harus juga mengacu ketentuan UNCLOS 1982, yang mencakup penetapan jenis ikan yang boleh ditangkap, penentuan kuota tangkapan dan penentuan ukuran ikan. Dipastikan, izin yang diberikan Indonesia kepada kapal asing selama ini tidak menyebutkan jenis ikan, kuota tangkapan, dan ukuran ikan. Bagaimana mau menciptakan perikanan yang bertanggung jawab dan berkelanjutan bila hal-hal yang terkait dengan pengelolaan perikanan tidak diatur? Konsep kebijakan industri perikanan terpadu ternyata masih menyisakan permasalahan, yaitu re-flagging. Istilah re-flagging (pembendaraan kembali) diartikan sebagai upaya untuk memperoleh kebangsaan dari negara lain di luar negara kebangsaannya semula. Dalam konsep ini, Pemerintah Indonesia mengharuskan kapal ikan asing yang melakukan joint venture di perairan Indonesia menggunakan bendera Indonesia yang merupakan bagian dari paket investasi. Inilah yang menjadi batu sandungan, karena kapal-kapal asing tersebut bertahan dengan bendera negara asalnya. Konsekuensi dari re-flagging adalah perlakuan terhadap kapal asing harus disamakan dengan kapal lokal, seperti pemungutan pajak, subsidi BBM dan penangkapan ikan di laut teritorial. Perlakuan ini perlu diwaspadai, karena di laut teritorial banyak beroperasi nelayan Indonesia yang umumnya berskala kecil hingga menengah. Jadi, kalau kapal asing yang nantinya berbendera Indonesia melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut teritorial, dapat dipastikan akan menambah angka konflik nelayan. Konflik tersebut bukan hanya disebabkan kesenjangan alat tangkap, tetapi juga pelanggaran jalur tangkapan ikan dan konflik fishing ground. Bersaing Terbuka Ada kelebihan dari kebijakan industri perikanan terpadu, yaitu ada kewajiban perusahaan joint venture membeli ikan nelayan lokal. Namun, hingga saat ini skema tersebut belum jelas. Sebagaimana kita ketahui, kualitas tangkapan nelayan lokal dipengaruhi keterbatasan teknologi penanganan ikan di atas kapal. Rendahnya kualitas berpengaruh pada nilai jual. Gawatnya lagi, mungkin saja kualitas hasil tangkapan nelayan lokal tidak sesuai dengan standar mutu perusahaan pengolahan sehingga akan terjadi penolakan pembelian. Maka kebijakan re-flaging akan menyudutkan nelayan lokal dan membawa mereka ke tingkat kemiskinan yang berkepanjangan. Mereka akan saling bersaing terbuka dengan nelayan asing yang berbendera Indonesia di laut. Selama ini kapal asing yang hanya boleh beroperasi di perairan ZEE Indonesia sudah merepotkan nelayan lokal. Bagaimana jadinya kalau nelayan lokal harus bersaing terbuka dengan kapal asing yang menggunakan alat tangkap berteknologi tinggi di laut teritorial? Guna menciptakan kelancaran dalam pelaksanaan kebijakan industri perikanan terpadu, pengurusan izin yang lambat/berliku harus dipangkas. Perlu buku pedoman mengenai cara-cara investasi di bidang perikanan. Buku tersebut tidak hanya bertujuan menciptakan kemudahan berinvestasi, tetapi juga menciptakan transparansi karena proses perizinan di bidang perikanan rawan pungutan liar. Penulis adalah Staf Peneliti Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan- IPB --------------------------------- New Yahoo! Messenger with Voice. Call regular phones from your PC for low, low rates. --------------------------------- Talk is cheap. Use Yahoo! Messenger to make PC-to-Phone calls. Great rates starting at 1¢/min. [Non-text portions of this message have been removed] Tetap Semangat Mencintai Banten! Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/wongbanten/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/