saya sih mau mau saja poligami. enak koq punya dua
istri haha.
tapi kan masalahnya ada syaratnya.
masalahnya lagi syarat itu dalam wacana tidak pernah
menonjol. syarat itu tidak pernah menjadi bahasan yang
utama. apalagi menegakkan syarat itu.
apalagi jika dikatikan dengan kesenangan kita akan
lakilaki adalah pemimpin keluarga, kan jadi raja.
enak.

jadi lakilaki juga yg menentukan mana yang adil dan
tidak adil.

kalo syahwat? hahahaha suka banget. tapi kita kan lagi
ngebahas poligami, bukan syahwat kan.
jadi salah tuh kalo ada yang bilang poligami itu
sunatullah, jika ia tidak berpikir bahwa perempuan pun
punya syahwat. jadi kalo berpikirnya demikian,
poliandri pun sunatullah dong?!


--- "a.suryana sudrajat" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> Sekadar mimbrung soal poligami, berikut ini saya
> sertakan kolom saya yang pernah dimuat di Majalah
> Tempo pada Juli yang lalu. Siapa tahu bisa memberi
> persepektif lain soal yang sudah usang tapi tetap
> aktual ini.
>    
>    
>   Bulu  Kuduk Pun  Bangun 
>    
>   A. Suryana Sudrajat
>    
>    
>   Rasanya belum pernah terdengar seorang ustaz atau
> kiai mengatakan ini:
>   “Ibu-ibu pasti tidak mau dimadu ‘kan? Ayo, siapa
> yang rela suaminya kawin lagi? Karena itu, Bu,
> jangan salah pilih nanti, ya? Pilihlah bapak kita
> ini…. Sebab kalau Pak Haji ini jadi gubernur,
> poligami akan dilarang. Setuju? Akur kan? Cocok kan
> kalau suami dilarang beristri lebih dari satu? Pasti
> gubernur bisa bikin peraturannya.”  Sejurus kiai
> setengah itu mengambil nafas di tengah antusiasme
> jamaah majlis taklim, yang sebagian besarnya memang
> kaum ibu. “Tapi, na’udzu billah min dzalik, kalau
> ada ulama atau umara yang berani melarang poligami,
> berarti murtad. Murtad karena melawan hukum dan
> peraturan Allah dan rasul-Nya.”
>   Peristiwa itu berlangsung di sebuah pesantren di
> Tangerang, yang waktu itu lagi heboh-hebohnya dengan
> perda pelacuran, pada acara peringatan maulid
> sekaligus sosialiasi bakal calon gubernur Banten.
> Sayang, upayanya untuk mempengaruhi calon pemilih
> dengan iming-iming “perda pelarangan poligami”
> berakhir antiklimaks bahkan dengan ancaman “fatwa”
> murtad alias keluar dari Islam. Kalau saja uztaz
> kita itu mau membela hak-hak perempuan, bisa saja
> dia mengatakan: “Mari kita usulkan kepada gubernur
> baru nanti, agar mengeluarkan perda tentang
> pelarangan poligami.”
>   Tapi tidak. Pak Kiai rupanya berpegang pada surah
> An-Nisa ayat 3, yang sering dijadikan landasan
> pembenaran bagi kebolehan berpoligami: “…..maka
> kawinilah perempuan-perempuan yang kamu senangi,
> dua, tiga atau empat…”
>   Syahdan, pada awal tahun 1937 Pemerintah Hindia
> Belanda mengedarkan rancangan “Ordonantie perkawinan
> tercatat” untuk mengetahui reaksi kalangan Islam,
> sebelum rencana tersebut dibawa ke Volksraad. Isinya
> antara lain mengenai larangan poligami, perceraian
> melalui keputusan hakim, dan sokongan kepada
> perempuan yang dicerai dan anak-anak. Ordonansi ini
> memang tidak dimaksudkan untuk penduduk pada
> umumnya, tapi hanya bagi orang Indonesia yang
> sukarela tunduk pada ordonansi tersebut. Artinya
> tidak ada keharusan bagi seseorang untuk mencatatkan
> pernikahannya di kantor catatan sipil. Tetapi
> rancangan ini kemudian mendapat tantangan keras
> terutama dari kalangan Islam. Yang menolak rancangan
> yang oleh beberapa kalangan dinilai akan memperbaiki
> kedudukan wanita itu antara lain Nahdlatul Ulama,
> Muhammadiyah, Partai Syarikat Islam Indonesia,
> Barisan Penyadar Partai Syarikat Islam pimpinan H.
> Agus Salim, H. Abdul Karim Amrullah dan  ulama-ulama
> Minangkabau lainnya, dan banyak lagi. 
>  Pidato-pidato dan tulisan-tulisan yang mengecam
> rencana tersebut baru reda setelah kongres Majelis
> ‘Alaa Islam Indonesia (MIAI).
>   Dalam kongresnya yang pertama pada tahun 1938 di
> Surabaya, MIAI memang membahas sebuah artikel yang
> ditulis oleh Siti Sumandari di majalah Bangun, yang
> diterbitkan oleh Partai Indonesia Raya (Parindra).
> Tulisan yang dimaksudkan untuk membela rancangan
> undang-undang perkawinan itu, tetapi di dalamnya
> terdapat kata-kata yang menghina Nabi, dan menyerang
> peraturan perkawinan Islam.
>   Kongres menuntut agar pemerintah mengambil
> tindakan terhadap penulis bersangkutan dan penulis
> mana pun yang berbuat demikian. Sumandari dan Suroto
> sendiri akhirnya meminta maaf. Mereka mengaku tidak
> tahu tentang Islam. Sutomo, pemimpin Parindra, yang
> juga menjadi sasaran kemarahan kaum Muslimin atas
> sokongannya terhadap tulisan itu, juga minta maaf
> secara terbuka. Sastrohutomo, ayah Sumandari, juga
> minta maaf untuk anaknya. Sedangkan Suroto
> diberhentikan dari pekerjaannya.
>   Kongres Perempuan Indonesia pun, seperti yang
> dianjurkan Maria Ulfah, tidak mengambil keputusan
> mengenai masalah yang sensitif ini, walaupun ia
> sendiri menyetujui rancangan tersebut. Maria Ulfah
> mengatakan: “Jika Belanda betul-betul berniat baik,
> maka ia dapat saja mengumumkan    berlakunya 
> ordonansi tersebut tanpa konsultasi-konsultasi
> segala. Apakah mungkin Belanda sengaja melemparkan
> gagasan ini untuk diputuskan oleh kaum           
> wanita Indonesia, dengan perhitungan bahwa akan
> terjadi perpecahan di kalangan kaum pergerakan
> wanita yang berarti memperlemah perjuangan
> kemerdekaan?”
>               Akhirnya, rancangan “Ordonantie
> perkawinan tercatat” yang akan diajukan  Pemerintah
> Hindia Belanda itu terkubur sebelum sampai ke
> Volksraad. G.F. Pijper, advisieur Kantoor voor
> Inlandschezaken, mencatat bahwa penolakan kalangan
> Islam terhadap ordanansi  perkawinan itu sebagai
> “bukti kekuatan Islam”. Juga Harry J. Benda yang
> mengatakan, bahwa selama tiga dasawarsa, baru kali
> itulah Islam Indonesia berhasil mendemonstrasikan
> kekuatannya.
>   Pada tahun belasan sampai tahun awal dua puluhan
> abad ke-20 belum muncul pandangan yang
> mempertentangkan paham kebangsaan (nasionalisme)
> dengan Islam. Pada tahun 1920-an orang-orang yang
> mempropagandakan nasionalisme yang seakan berlawanan
> dengan Islam, dan cukup berhasil, antara lain
> Soekarno, Iskak, dan Sutomo -- yang terakhir masih
> disertai nasionalisme Jawa. Karena itu pada tahun
> 1925 Tjokroaminoto terpaksa menjelaskan bahwa “Islam
> sepertujuh bahagian rambut pun tak menghalang dan
> merintangi kejadian dan kemajuan nasionalisme yang
> sejati, tetapi meajukan dia.” Toh berbagai kejadian
> pada waktu itu tambah mempertajam konflik antara
> Islam dan kebangsaan.
>               Maka tak urung, ada yang memandang
> berbagai perdebatan mengenai perkawinan, khususnya
> tentang poligami dan perceraian, sebagai debat
> antara dua kubu, yakni antara  aliran Islam dan
> aliran kebangsaan, yang pada tahun 1920-an dan
> 1930-an diartikan  bermacam-macam, seperti
> chauvinisme, anti-Islam, dan netral agama.
>               Pandangan polaristis ini masih membagi
> lagi aliran Islam ke  dalam aliran kolot dan aliran
> modern.  Aliran kolot mengenai perkawinan ini antara
> lain terdapat dalam sebuah risalah, Kewajiban atas
> Perempuan Islam bagi Suaminya, karangan Mahyidin
> Mukti, guru agama di Singkel (Aceh), yang
> diterbitkan di Bukitinggi  pada tahun1936, dan
> Perkawinan Islam oleh Haji Aji M Noer Ali alias
> Hamna, terbitan  Teluk Kuantan. Sedangkan aliran
> yang (agak) modern dapat dibaca antara lain dalam 
> buku Suami Istri  keluaran Balai Pustaka 1924,
> karangan A. Latief.  Penulis buku ini pada tahun
> 1924 sudah menolak perceraian yang mudah dan
> poligami karena nafsu berahi itu tak terbatas.  Haji
> Agus Salim dimasukkan  dalam golongan ini.  Salim
> dalam tulisannya “Perempuan dalam Islam” memang
> membela R.A. Kartini yang dituduh anti-Islam
> sehubungan dengan serangannya terhadap Islam yang
> mendukung poligami. Dia mengakui bahwa pengetahuan
> agama Islam “marhumah putri Jawa yang mulia itu”
> tidak
>  memadai, tapi itu tidak berarti bahwa ia
> membuta-tuli atas agama Islam.Ajaran Islam yang
> diberikan oleh para kiai waktu itu memang seperti
> yang dituliskan Kartini, dan memang dalam prakteknya
> belum terungkapkan keutamaan perempuan di dalam
> ajaran Islam. 
>   Membawa persoalan perkawinan, lebih-lebih mengenai
> poligami, dalam debat antara dua kubu, Islam dan
> nasionalis, boleh jadi akan membawa kita kepada
> kesimpulan yang menyesatkan: kalangan Islam
> pro-poligami, sementara kaum nasionalis
> anti-poligami atau promonogami. Dalam kenyataannya,
> para pemimpin Islam, terutama kalangan Masyumi,
> umuMnya adalah monogam, sementara pemimpin
> nasionalis, terlebih nasionalis-Jawa, tidak sedikit
> yang poligam. Bahkan kampiun nasionalis seperti
> Soekarno adalah boleh dikatakan “raja poligam”.
>   Tapi benarkah jika pemegang kuasa atau ulul umari
> melarang poligami serta merta bisa dianggap murtad?
>   Tahun 1955 M. Hasbi Ash-Shiddieqy menulis sebuah
> risalah Polygami Menurut Hukum Islam. Guru besar
> hukum Islam IAIN Sunan Kalijaga ini mengatakan bahwa
> poligami bukan suatu hukum yang tetap, tetapi dapat
> berganti-ganti: dari boleh ke makruh, dan dari
> makruh kepada haram. Dan ulul amri, sebagaimana yang
> dikehendaki Tuhan, kata Hasbi, harus menentukan
> hukum poligami sesuai dengan keadaan masanya. Karena
> itu pula, menurut pemuka “fikih Indonesia” ini,
> tuntutan-tuntutan dari sebagian masyarakat yang
> menghendaki supaya poligami dilarang, tidak dapat
> dikatakan menentang Agama, karena mereka menuntut
> itu atas dasar kerusakan-kerusakan yang mereka
> alamoi dalam masyarakat. “Sekiranya kita analisakan
> bencana-bencana yang timbul dari poligami bangunlah
> bulu kuduk daripadanya…. Dari karena itu, tepatlah
> kalau dikatakan poligami itu suatu perbuatan yang
> pada asal-asalnya makruh, sebaik-baiknya mubah, yang
> berpindah kepada haram. ..Apabila telah nyata bahwa
> masyarakat telah menyimpang
>  jauh dari syarat-syarat yang diperlukan untuk
> poligami dan telah mempergunakan poligami jalan
> memenuhi hawa nafsu, bolehlah uul amri melarang
> perbuatan tersebut untuk waktu yang tertentu,” tulis
> Hasbi.
>   Apakah bencana-bencana yang ditimbulkan poligami
> sekarang bikin bulu kuduk berdiri sebagaimana
> dilihat Hasbi di tahun 1955? Jika ya, dan kita
> berpedoman pada pandangan Hasbi, maka pemerintah
> harus melarang praktek yang, ironisnya, oleh
> kalangan Islam tertentu sering dinyatakan “islami”
> ini. Kebijakan pemerintah Repubik Indonesia sendiri,
> seperti 
=== message truncated ===


__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 


Tetap Semangat Mencintai Banten! 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wongbanten/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wongbanten/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke