Bang Akhmad solihin yang budiman,
terlepas dari benar atau salah itu relatif, tapi lebih
bijaksana bila kenapa Marissa Haque harus "loncat
pagar" ???
Sepengetahuan kami pada saat RAKERDASUS di SKI
Cilegon, kenapa Partai mengusung "orang luar" bukan
kader partai sendiri...???? bukan tidak gampang
sebagai "orang luar partai" bisa mengalahkan kadernya,
artinya ada energi yang harus dikeluarkan, energi itu
bisa berbentuk (kekuasaan, uang, dll) kalau kontrak
politik itu sudah pasti.
Mungkin inilah yang menjadikan Marissa Haque (bisa
dibilang sakit hati) harus "loncat pagar",....
Yang menjadi YAKIN adalah bahwa Gubernur sekarang
tidak lagi dipilih oleh anggota DPRD yang mewakili
partainya, akan tetapi oleh RAKYAT. 
Jadi untuk membuktikannya kita lihat hasilnya nanti.  
waallahu a'lam bishawab
wass dedidj   

--- akhmad solihin <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> Diskusi dari millis sebelah, dari milis KAHMI-Pro:
>   SATU lagi secuil isu tentang pilkada Banten,
> tetapi fokusnya bukan 
> pilkadanya. Tulisan saya di bawah sekedar uraian
> pendapat saya tentang 
> fenomena Marissa Haque, seorang artis anggota
> parlemen dari PDIP yang 
> "loncat pagar" ke partai lain. Ia tidak mematuhi
> partainya dan bergabung 
> dengan PKS maju ke pencalonan Gubernur Banten.
> Tetapi, apakah ada 
> penjelasan lain yang lebih pas dari subyektifitas
> pendapat saya di bawah ini? 
> Apakah di tempat/negara lain, fenomena Marrisa ini
> wajar? Atau bagaimana 
> pandangan filosofisnya dalam tradisi demokrasi
> liberal?  
>    
>   ALFAN ALFIAN
>    
>   ==============
>   KORAN TEMPO, 31 AGUSTUS 2006
>    
>   Fenomena Marisa
>    
>   M Alfan Alfian 
>   Dosen FISIP Universitas Nasional, Jakarta
>    
>   Marisa Haque anggota DPR dari PDIP akhirnya
> memutuskan untuk bersama 
> Zulkieflimansyah dari PKS maju menjadi pasangan
> calon Gubernur Banten. 
> Keputusannya itu segera menjadi sorotan banyak
> kalangan, khususnya 
> kalangan internal PDIP. Pasalnya, pasangan
> Marisa-Zulkieflimansyah tidak 
> dicalonkan oleh PDIP, tetapi oleh PKS dan Partai
> Syarikat Indonesia 
> (PSI). Menurut Tjahjo Kumolo, di dalam proses
> penjaringan yang dilakukan 
> oleh PDIP, Marisa kalah dari calon yang lain. Maka,
> keputusan Marisa 
> bersifat pribadi, bukan atas rekomendasi PDIP.
>             Tentu saja Marisa punya alasan
> tersendiri. Ia merasa punya 
> kans. Ketika pintu-pintu PDIP untuk mencalonkan
> dirinya telah tertutup, 
> sementara partai lain menawarkan sesuatu yang lebih
> konkret, maka 
> secara logis ia tak menyia-nyiakan kesempatan.
> Sebagai politisi ia masih 
> punya segudang obsesi. 
>   Apa yang dilakukan Marisa adalah satu dari sekian
> banyak kasus 
> serupa. Kasus ini mirip dengan keputusan Jusuf Kalla
> dalam menerima tawaran 
> Susilo Bambang Yudhoyono, menjadi pasangan calon
> presiden dalam pemilu 
> 2004. Jusuf Kalla adalah pengurus Partai Golkar dan
> peserta aktif 
> Konvensi Calon Presiden partai berlambang pohon
> beringin tersebut, tapi lalu 
> ia mundur dari gelanggang. 
>   Berbagai kalangan menyebut, sosok-sosok seperti
> Kalla dan Marisa 
> ialah segelintir dari politisi kita yang “bergerak
> lincah”. Tetapi tak 
> kalah banyak pula yang bingung menyaksikan adegan
> politik demikian. Apalagi 
> bagi pihak-pihak yang menghormati peran, mekanisme
> dan kewibawaan 
> partai politik. Kalla dan Marisa bukan dari kalangan
> “independen”, tetapi 
> mereka dibesarkan partainya.
>   Tetapi ketika mereka punya kepentingan politik,
> dan partainya dengan 
> mekanisme pengambilan keputusan masing-masing tidak
> meloloskan 
> pencalonannya, ia pun segera menerima tawaran partai
> lain. Apakah partai hanya 
> sekedar anak tangga menuju puncak kekuasaan an sich?
>    
>   ***
>   Petinggi PDIP tidak dapat mencegah langkah politik
> kadernya itu, dan 
> akan memberikan sanksi kepada Marisa, yang telah
> dinilai menyalahi 
> etika dan aturan partai. Secara institusional,
> partai wajib memberikan 
> sanksi pada kadernya yang tidak mengindahkan
> keputusan politik internalnya. 
> Setiap partai memiliki aturan main dan mekanismenya.
> Ini semua terkait 
> dengan bagaimana disiplin partai ditegakkan, yang
> berkorelasi dengan 
> kewibawaan institusi.
>             Setiap orang yang mengikatkan diri pada
> sebuah partai 
> politik, maka ia harus taat pada aturan main
> (political law) yang ada di 
> dalamnya. Itu, tentu saja merupakan syarat minimal.
> Idealnya, kader sebuah 
> partai juga paham dan meresapi pilihan ideologis
> partai tersebut. 
> Menjadi politisi adalah panggilan, sehingga
> institusi politik yang 
> dipilihnya pun harus meniadakan jarak ideologis
> individu dengan partai. Selama 
> jarak ideologis itu lebar, maka cepat atau lambat
> kader partai akan 
> goyah: pindah ke partai lain. Pragmatisme dan
> utilitarianisme lah kemudian 
> yang mengemuka; karena partai hanyalah dilihat
> sebatas alat mencapai 
> kekuasaan politik yang diinginkan dari
> individu-individu yang ada di 
> dalamnya. 
>             Menjadi politisi, pertama kali,
> dihadapkan pada sebuah 
> dilema moral, terutama tatkala menetapkan
> keputusan-keputusan politik 
> strategis. Filosof Immanuel Kant menyitir bahwa
> dalam diri politisi terdapat 
> dua mahkluk: merpati (simbol ketulusan) dan ular
> (simbol kelicikan). 
> Dilema moral atau etis inilah yang amat terasa
> tatkala sosok awam 
> berpindah posisi menjadi politisi. Sebab itulah,
> para politisi kemudian 
> menghadirkan logika dan etikanya tersendiri, yang
> bahkan berseberangan dengan 
> logika dan etika publik.
>    
>   ***
>   Apa yang dilakukan oleh Kalla dan Marisa, dapat
> dijelaskan dengan 
> mudah dalam perspektif “rational choice theory”
> (teori pilihan rasional). 
> Menurut Barbara Geddes (Politician’s Dillema, 1994),
> “politicians as 
> rational actors”: politisi itu mahkluk rasional
> –dalam mengupayakan dan 
> mempertahankan kekuasaan dan pengaruh, tentunya.
> Seorang politisi 
> memiliki dua kepentingan: individu dan institusi.
> Ketika kepentingan individu 
> bentrok dengan institusi, karena institusi telah
> dianggap gagal 
> memenuhi insentifnya, maka pilihan rasionalnya
> adalah mencari alternatif lain. 
>   Teori pilihan rasional memang membenarkan
> pragmatisme dan 
> utilitarianisme: bagi seorang politisi carilah
> kedudukan terbaik sebagai entitas 
> penentu kebijakan, atau setidaknya mampu
> mempengaruhi penentu kebijakan 
> itu. Tetapi, tentu saja, cara pandang tersebut akan
> diperdebatkan oleh 
> kalangan etis. Demokrasi “checks and balances” juga
> akan terganggu 
> secara signifikan, kalau semua politisi
> berlomba-lomba untuk mendekat pada 
> eksekutif yang berkuasa, tanpa ada yang mau
> memposisikan secara jelas 
> sebagai kelompok pengontrol atau penyeimbang
> (oposisi). 
>   Dalam perspektif teori pilihan rasional, kasus
> Kalla dan Marisa 
> merasakan dapat dijelaskan begini: struktur insentif
> partai asalnya dianggap 
> tidak lagi mampu mengoptimalkan atau memuaskan
> obsesi-obsesi mereka 
> sebagai politisi yang merasa punya peluang lebih
> besar. Akibat struktur 
> insentif partai asal yang gagal menopang obsesi dan
> kepentingan, maka 
> mereka segera pindah jalur, dan menemukan pilihannya
> yang dianggap tepat.
>   Hukum besi oligarki (the iron law of oligarchy),
> sebagaimana Robert 
> Michels, terjadi di partai mana pun. Marisa dan
> Kalla boleh saja 
> mengklaim sebagai pihak-pihak yang terpinggirkan
> oleh oligarki, tetapi tidak 
> dapat menyalahkan realitas oligarki itu sendiri.
> Tidak lah etis 
> menyalahkan partai yang telah membesarkan
> masing-masing, bukan? Bukankah itu 
> sama saja dengan menyalahkan diri sendiri?
>    
>   ***
>   Yang diterima oleh publik dari kasus Marisa dan
> Kalla, juga sejumlah 
> politisi lain yang pernah berpindah-pindah partai
> ialah: betapa tidak 
> sakralnya partai itu. Pandangan publik tentang
> partai politik, boleh 
> jadi amat dangkal (superficial), karena melihat
> partai sebatas kendaraan 
> politik, sehingga sejatinya tidak ada kader abadi di
> dalamnya. Kasus 
> 
=== message truncated ===


__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 


Tetap Semangat Mencintai Banten! 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wongbanten/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/wongbanten/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    mailto:[EMAIL PROTECTED] 
    mailto:[EMAIL PROTECTED]

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke