mungkin juga kasus dalam diskusi itu ada relevansinya
ama banten sekarang,yaitu: orang orang yang cinta
banten dan ingin berbakti untuk banten telah kehabisan
nafas seperti penyanyi penyanyi cilik  itu, sehingga
akhirnya banten seperti ini, betul ga sihhhh, pamiarsa
sadayana?

PS. untuk kasus penyanyi cilik saya salut sama sherina
dan keluarganya yang sudah mengelola energinya
sehingga sherina masih  bisa tetap eksis dan akan 
semakin bersinar dikemudian hari 
--- Pedje <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> Di bawah ini merupakan cuplikan "diskusi" sebuah
> milis
> tentang mantan anak-anak sukses. Mudah-mudahan
> bermanfaat bagi kita semua.
> 
> Salam,
> 
> Pedje
> 
> 
> ------------
> Terima kasih tanggapannya,
> Pertanyaan Pak Faqih sebenarnya juga bisa diajukan
> kepada para mantan penyanyi cilik yang sebagian
> besar
> tak pernah menjadi penyanyi sukses di kala
> dewasanya.
> Kita bisa sebut Chicha Koeswoyo, Yoan Tanamal, Bobby
> Sandhora, Adi Bing Slamet, Ira Maya Sopha dsb.
> Mereka, dan teman teman saya, adalah orang-orang
> yang
> telah kehabisan nafas jauh sebelum partai puncak
> dimainkan. Peak performance mereka telah digenjot
> saat
> pertandingan baru memasuki babak liga antar kampung.
> Mereka menjadi korban orang-orang dewasa yang ingin
> menselebrisasi mereka terlalu dini, manggung sebelum
> waktunya, ikut speech contest saat mereka masih
> berhak untuk bicara cadel.
> Lagi pula, di negeri ini segala sesuatu dicekoki
> tanpa
> roh atau spirit. Orang dicekoki teknologi tanpa
> spirit
> dan ideologi keteknologian, orang belajar ilmu-ilmu
> sosial tanpa empati terhadap problem sosial.
> Drilling
> telah menyebabkan seseorang berprestasi dunia, tapi
> sekaligus kehilangan hasrat berprestasi. Mahasiswa
> tingkat akhir FT-UI bergairah dengan kuliah saya,
> tapi
> justru hilang gairah tentang teknologi. Saya dulu
> bosan bila diajak bicara psikologi di luar jam
> kuliah,
> dan teman-teman IAIN nggak suka diajak bicara agama.
> Beban akademik telam membunuh spirit akademik sejak
> awal.
> Persoalannya adalah bahwa predikat "super" telah
> membuat seorang manusia tidak lagi diijinkan
> melakukan
> sesuatu yang normal, wajar dan "biasa-biasa saja".
> Mereka seakan wajib diakselerasi, wajib di drill,
> wajib mengkonsumsi sejumlah suplemen tambahan.
> Pilihan
> buat mereka hanya dua : Percepat waktu dan
> prosesnya,
> atau; tingkatkan bebannya.
> Percayalah, anak-anak asuh Johannes Surya yang
> "sukses" mempersembahkan sekian banyak medali
> olimpiade sains tingkat dunia, hanya akan menjadi
> anak-anak nostalgia. Setidak-tidaknya satu orang
> saat
> ini terancam drop-out (atau sudah drop-out) dari
> ITB.
> Semoga saya keliru.
> 
> Wassalam,
> 
> Aad
> 
> --- basir suparlan <[EMAIL PROTECTED] com> wrote:
> 
> > Saya mencoba melihat pertanyaan penting yang
> > diajukan, yakni "apa yang salah dalam pola
> > pembinaan" anak-anak cerdas ini. Lebih khusus lagi
> > dengan membandingkan antara model sekolah unggulan
> > di negeri sendiri dengan negeri jiran Malaysia.
> > Terus terang saya tidak tahu apa latar belakang
> > mengapa Indonesia memberi label sekolah seperti
> itu
> > dengan produk yang diharapkan, misalnya 'sekolah
> > unggul' atau 'sekolah bertaraf internasional' .
> > Sementara Malaysia memilih label sekolah itu
> dengan
> > prosesnya, seperti "smart school" yang prosesnya
> > menggunakan IT. Juga "Sekolah Berasrama Penuh"
> yang
> > prosesnya peserta didik memang diasramakan.
> Atribut
> > label berdasarkan produk itulah yang mungkin
> > menyebabkan peserta didik terlalu terobsesi untuk
> > seperti produk yang diharapkan itu. Memang benar
> > setiap usaha memang harus mengetahui tujuan akhir
> > atau produk yang diharapkan. Tetapi, lebih penting
> > untuk dilakukan adalah langkah atau cara atau
> > prosesnya. Dengan kata lain tujuan yang baik harus
> > dilakukan dengan cara yang baik. Singkat kata,
> > sepertinya label-label yang terlalu muluk seperti
> > itu sering membuat 'menghalalkan cara' dalam
> > mencapainya. Walhasil akhirnya kita sering
> terkejut
> > kenapa hasilnya tidak seperti yang kita harapkan,
> > seperti cerita Pak Rusfi itu. Wallahu alam
> bishawab.
> > 
> > Salam,
> > Suparlan
> > www.suparlan. com
> > 
> > 
> > faqihabdillah <faqihabdillah@ yahoo.com> wrote:
> > Benar kata Bu Debby, pengalaman Pak Rusfi
> > ini menarik diteliti lebih 
> > jauh untuk melihat jejak para mantan "orang
> cerdas".
> > kenyataan yang 
> > disampaikan Pak Rusfi itu seakan semakin
> meneguhkan
> > kembali sebuah 
> > teori bahwa "keberhasilan hidup" (sengaja saya
> pakai
> > tanda petik 
> > karena konsep keberhasilan itu kan sangat relatif
> > dan subjektif)
> > seseorang hanya ditentukan 20% dari IQ. 80%
> lainnya
> > banyak 
> > dipengaruhi oleh EQ, SQ, dll.
> > 
> > Terlepas dari hal itu, satu hal yang cukup menarik
> > dari cerita Pak 
> > Rusfi adalah mengapa tak seorang pun dari kawan
> Pak
> > Rusfi yang 
> > dianggap cerdas itu tidak ada yang tertarik untuk
> > menekuni bidang 
> > keilmuan yang 'berat', misalnya jadi peneliti,
> > professor, atau 
> > scientist dalam bidang-bidang tertentu. kenapa
> > justru mereka lebih 
> > prefer ke bidang-bidang praktis dan teknis yang
> ini
> > sebenarnya bisa 
> > dikerjakan oleh orang-orang dengan IQ sedang? ada
> > apa dengan mereka? 
> > apa yang salah dengan pola pembinaan mereka? kan
> > kasihan jadinya 
> > kalau potensi cerdas mereka jadi sia-sia gara-gara
> > salah asuh.
> > 
> > Salam,
> > 
> > AF
> > 
> > --- In [EMAIL PROTECTED] com, "Debiyani
> Tedjalaksana,
> > S.H" 
> > <debby_tedja26@ ...> wrote:
> > >
> > > Menarik pengalamannya pak Adriano, coba kalau
> > ditulis ulang dan 
> > kirim ke Media Nas , agar lebih banyak yg bisa
> > membaca dan belajar 
> > dari pengalaman anda, agar para org tua sadar utk
> > tak memaksakan 
> > ambisi mereka pada anak2nya. Sdh nge trend
> sekarang
> > ini, para org tua 
> > menjejali anak dgn berbagai les tambahan yg
> > sebenarnya hanya menyita 
> > waktu anak utk belajar bersosialisasi .
> > > Salam, Debby
> > > -----Original Mail-----
> > > From: Adriano Rusfi
> > > Sent: Senin, 25 Juni 2007 14.17
> > > To: [EMAIL PROTECTED] com
> > > Subject: [cfbe] Tentang "mantan" orang-orang
> > cerdas
> > > 
> > > Entah keberuntungan atau malapetaka, tahun 1980
> > saya
> > > digabungkan ke dalam kelas "anak-anak cerdas' di
> > > sebuah sekolah yang kini berpredikat Sekolah
> > Unggulan
> > > Nasional, di kawasan Bukitduri Jakarta Selatan.
> > > Saat itu sekolah tersebut belum berpredikat
> > sekolah
> > > unggulan, karena saat itu yang memegang predikat
> > ini
> > > adalah SMA "Teladan" Negeri 3, Setiabudi,
> Jakarta
> > > Selatan. Tapi depdiknas memang sedang
> > mempersiapkannya
> > > untuk menjadi SMA Unggulan Nasional (kalo nggak
> > salah
> > > bersama SMA Negeri 1 Samarinda).
> > > Maka strategi mengejar predikat itupun di buat.
> > Sejak
> > > kelas 1 kami dihimpun dan tak dipisahkan lagi
> > > sebagaimana kelas-kelas lainnya. Beban belajar
> > > ditingkatkan dua kali lipat. Setiap minggu
> > pengawas
> 
=== message truncated ===



 
____________________________________________________________________________________
TV dinner still cooling? 
Check out "Tonight's Picks" on Yahoo! TV.
http://tv.yahoo.com/

Kirim email ke