In Memoriam Prof. T. Jacob

Saya yakin almarhum tidak kenal saya. Tapi saya menulis ini karena ada
kenangan terindah dari almarhum semasa saya masih kuliah dulu di
Yogyakarta kota seribu cita rasa. 

Dalam suatu seminar beberapa belas tahun yang lalu, disaat makan
siang. Saat kami sedang antri untuk mengambil hidangan. Tepat
dibelakang saya, Alm Prof. T. Jacob sedang berbincang-bincang dengan
Prof. Syafii Ma'arif yang juga antri ambil makan siang.

Sadar dibelakang saya orang yang begitu amat sangat saya hormati, maka
mental „ewuh pekewuh" saya muncul. Munduk-muntuk, ---khas petruk yang
bertemu dengan Ratu-nya---, saya bilang ke beliau (Prof. T. Jacob,
---red). „Monggo Prof. panjengan duluan" ---kata saya sambil jalan
mengambil posisi mundur keantrian di belakang beliau.  

Terkejut mendengar jawaban beliau. Lembut tapi benar-2 topan badai
menggonjangkan kemapanan paradigma saya tentang sopan santun. 

„Mas, sampeyan itu bener-bener bermental inlander. Sopan dan ramah itu
perlu. Tapi jangan letakkan sopan santun itu lebih tinggi dari hak
kebenaran anda. Karena anda antri duluan maka hak anda di depan.
Jangan karena ewuh pada saya, anda korbankan hak (kebenaran) anda"    

(Kelak saya sadari, sikap „ewuh pekewuh" yang ndak pas inilah mungkin
yang menjadi bumerang bagi kita semua sehingga kita sering tidak tega
untuk memperjuangkan hak kebenaran kita hanya karena tidak ingin
menyakiti orang yang kita hormati. Mungkin „ewuh pekewuh" itulah yang
membuat orang model "dari pada haji dari pada Muhammad dari pada
Soeharto" dan dari pada para koruptor lainnya tetap bisa glegek'an
kekenyangan menikmati hasil korupsinya =)) … ) 

Ijinkan saya men-forward sedikit tulisan lawas saya tentang Prof. T.
Jacob yang terinspirasi oleh laporan majalah Der Spiegel, Jerman…

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI. MOHON MAAF LAHIR BATHIN.

Salam,

Ferizal Ramli

XXX

„Großer Kampf um kleine Kerle"

Der Spiegel, 35/2006: „Großer Kampf um kleine Kerle". Perang besar
tentang „lelaki kecil", benar-benar membuat mata saya berbinar-binar
membacanya. Schlagt zurück! Intelektual Indonesia memukul balik. Teuku
Jakob, Guru Besar Anthropologi UGM ---dengan segala hormat dan
kekaguman saya atas keteguhannya--- berdiri tegak menentang
„konspirasi" intelektual Australia dalam polemik LB1. Manusia cebol
yang ditemukan oleh para peneliti Australia (seperti Brown dari Univ
New England) di Liang Bua yang diklaim sebagi spesies baru. Mata
rantai dari Kete' (mboco coro Indonesiane: Kera, kalo urang Sunda
bilang: Lutung) dengan homo Sapiens. Nenek canggahnya kita, manusia
modern. Cara gampangnya, Brown mau ngomong bahwa urutan nenek canggah
kita itu: Kete' – trus LB1 atau Homo Flores – lalu Homo Spiens atau
manusia modern. 
 
Paparan Der Spiegel kali ini jelas lebih berimbang. Meskipun saya
belum sempat meneliti repotase dari media kredibel lainnya di Inggris
atau Jerman tentang opini mereka terhadap Prof. Jakob, tapi saya tetap
terhibur dengan laporan imbang tersebut. Bandingkan dengan repotase
Zeit http://www.zeit.de/online/2005/41/hobbit_skandal tahun 2005 lalu,
yang secara kasar menuduh Prof. Jakob men-sabotase penemuan baru
spesies manusia.  
 
Seperti laporan Spiegel, Jakob bersama timnya dari UGM, Marx Planck
Institut (Jerman) dan Penn State Univ (AS) dalam „Proceedings of the
National Academy of Sciences", membuktikan bahwa LB1 itu manusia
modern. Klaim intelektual Australia yang mengatakan bahwa LB1 adalah
spesies "antara" kera dengan manusia modern itu kleru besar. Memang
volume otak LB1 itu lebih kecil dari manusia modern, tetapi kecilnya
volume otak bukan dikarenakan LB1 itu spesies yang berbeda dengan
manusia modern. LB1 itu spesies yang terkena penyakit sehingga tumbuh
abnormal. Jadilah dia terlihat seperti berbeda dengan manusia modern. 
 
Pendapat Jakob memang sempat dibantah oleh Brook dari New York Univ
atau Falk dari Florida State Univ (AS), kolega Brown. Mereka
mengatakan bahwa berdasarkan perbandingan sel otaknya, LB1 punya
karakteristik sendiri. Berbeda dengan manusia modern.
 
Namun, para peneliti dari Universität Tübingen (Jerman), yang tidak
terlibat pro-kontra polemik LB1, mencoba memeliti secara independen.
Hasilnya: LB1 itu bagian dari manusia modern…
 
Moral point-nya: kalau intelektual kita percaya diri, ternyata kita
bisa berdiri tegak mengatakan kebenaran dihadapan para kolega (atau
konkruen-nya?) di barat sana.
 
Salam,
 
Ferizal




Kirim email ke