Berbahasalah 
dengan Sopan dan Santun

 Oleh KARNITA, S.Pd. 
  BAHASA menunjukkan cerminan pribadi seseorang. Karakter, watak, atau pribadi 
seseorang dapat diidentifikasi dari perkataan yang ia ucapkan. Penggunaan 
bahasa yang lemah lembut, sopan, santun, sistematis, teratur, jelas, dan lugas 
mencerminkan pribadi penuturnya berbudi. Sebaliknya, melalui penggunaan bahasa 
yang sarkasme, menghujat, memaki, memfitnah, mendiskreditkan, memprovokasi, 
mengejek, atau melecehkan, akan mencitrakan pribadi yang tak berbudi. 
  Tepatlah bunyi peribahasa, "bahasa menunjukkan bangsa". Bagaimanakah 
sebenarnya tingkat peradaban dan jati diri bangsa tersebut? Apakah ia termasuk 
bangsa yang ramah, bersahabat, santun, damai, dan menyenangkan? Ataukah 
sebaliknya, ia termasuk bangsa yang senang menebar bibit-bibit kebencian, 
menebar permusuhan, suka menyakiti, bersikap arogan, dan suka menang sendiri.
  Bahasa memang memiliki peran sentral dalam perkembangan intelektual, sosial, 
dan emosional. Begitu pentingnya bahasa dalam kehidupan bermasyarakat, 
berbangsa, dan bernegara sehingga perlu suatu kebijakan yang berimplikasi pada 
pembinaan dan pembelajaran di lembaga pendidikan. Salah satu bentuk pembinaan 
yang dianggap paling strategis adalah pembelajaran bahasa Indonesia, bahasa 
Sunda, bahasa Jawa, dan bahasa lainnya di sekolah. Dalam KTSP, bahasa Indonesia 
termasuk dalam kelompok mata pelajaran estetika. Kelompok ini juga merupakan 
salah satu penyangga dari kelompok agama dan akhlak mulia. Ruang lingkup akhlak 
mulia mencakup etika, budi pekerti, atau moral.
  Kelompok mata pelajaran estetika sendiri bertujuan untuk meningkatkan 
sensitivitas, kemampuan mengekspresikan dan mengapresiasi keindahan dan 
harmoni. Kemampuan itu mencakup apresiasi dan ekspresi, baik dalam kehidupan 
individual sehingga mampu menikmati dan mesyukuri hidup, maupun dalam kehidupan 
kemasyarakatan sehingga mampu menciptakan kebersamaan yang harmonis.
  Tujuan rumpun estetika tersebut dijabarkan dalam pembelajaran bahasa 
Indonesia yang bertujuan agar peserta didiknya memiliki kemampuan antara lain 
(1) berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, 
baik secara lisan maupun tulis dan (2) menggunakan bahasa Indonesia untuk 
meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional dan sosial. 
Tujuan tersebut dilakukan dalam aspek mendengarkan, berbicara, membaca, dan 
menulis.
  Pelajaran bahasa Indonesia telah eksis sejak dulu dari tingkat SD sampai PT. 
Di SD pelajaran ini mulai diberikan di kelas IV-VI, alokasinya 5 jam per minggu 
atau 15,63% dari total alokasi jam pembelajaran, SMP 4 jam atau 12,5%, di SMA 
kelas XI 4 jam atau 10,53%, kelas XI dan XII 4 jam atau 7,69%. Alokasi itu 
diperkuat lagi dengan pelajaran bahasa Sunda sebanyak 2 jam setiap minggunya. 
Di PT, bahasa Indonesia termasuk dalam MKDU, minimal 2 SKS. Ini menunjukkan 
bahwa kedudukannya dalam kurikulum pendidikan formal begitu utama dan 
strategis. 
  Ironisnya, eksistensi dan besarnya alokasi jam pelajaran bahasa Indonesia di 
sekolah saat ini belum memberikan kontribusi dan korelasi yang berarti terhadap 
tumbuhnya kesadaran penggunaan bahasa secara verbal yang lemah lembut, santun, 
sopan, sistematis, teratur, mudah dipahami, dan lugas. Pelajaran tersebut harus 
diakui belum mampu membangun nilai-nilai estetika dalam kehidupan sehari-hari. 
Hal ini mungkin salah satunya disebabkan pembelajarannya masih bersifat kurang 
komunikatif, dikotomis, artifisial, verbalistis, dan kognitif. 
  Kegagalan menanamkan pendidikan nilai melalui pembelajaran bahasa Indonesia 
ini tercermin pada perilaku berbahasa yang tidak mengindahkan nilai-nilai sopan 
santun. Kegagalan ini sedikit banyak telah memberi andil pada terjadinya tindak 
kekerasaan di masyarakat, perseteruan di tingkat elite, dan ikut memengaruhi 
terjadinya pelecehan terhadap nilai-nilai luhur yang dihormati bersama.
  Menurut pakar bahasa, I. Pratama Baryadi dari Universitas Sanata Dharma 
Yogyakarta, terdapat korelasi antara bahasa sebagai lambang yang memiliki 
fungsi utama sebagai alat komunikasi antarmanusia dengan kekerasan yang 
merupakan perilaku manusia yang hegemonik-destrukti f. 
  Dua korelasi itu, pertama, bahwa bahasa dapat digunakan sebagai alat untuk 
melakukan kekerasan sehingga menimbulkan salah satu jenis kekerasan yang 
disebut kekerasan verbal. Wujudnya terlihat dalam tindak tutur seperti memaki, 
membentuk, mengancam, menjelek-jelekkan, mengusir, memfitnah, menyudutkan, 
mendiskriminasikan, mengintimidasi, menakut-nakuti, memaksa, menghasut, membuat 
orang malu, menghina, dan lain sebagainya.
  Kedua, bahasa yang tidak digunakan sesuai dengan fungsinya akan menjadi 
pemicu timbulnya kekerasan. Fungsi hakiki bahasa adalah alat komunikasi, alat 
bekerja sama, dan pewujud nilai-nilai persatuan bagi para pemakainya. Dalam 
teori percakapan, ada dua prinsip penggunaan bahasa yang wajar-alamiah, yaitu 
prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan.
  Prinsip kerja sama menganjurkan agar komunikasi verbal dilakukan dengan 
bentuk yang lugas, jelas, isinya benar, dan relevan dengan konteksnya. Prinsip 
kesopanan menganjurkan agar komunikasi verbal dilakukan dengan sopan, yaitu 
bijaksana, mudah diterima, murah hati, rendah hati, cocok, dan simpatik.
  Sejalan dengan itu, dalam ajaran Islam ada yang disebut dengan dosa lisan. 
Dalam Q.S. Al Qalam [68]: 10-11), "Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang 
banyak bersumpah lagi menghina. Yang banyak mencela, yang kian kemari 
menghambur fitnah". Larangan itu dipertegas lagi oleh dua hadis Nabi saw. yang 
diriwayatkan oleh Imam Bukhari. Hadis pertama berbunyi, "Orang yang beriman 
kepada Allah dan hari kiamat, hendaknya berkata baik. Atau, (jika tidak bisa) 
lebih baik diam". Bunyi hadis kedua, "Orang yang disebut Muslim adalah orang 
yang bisa menjaga tangannya dan lisannya (dari menyakiti Muslim lain)". 
Begitulah ajaran agama mengatur etika dan anjuran berbahasa dengan baik dalam 
lehidupan.
  Anjuran tersebut juga relevan dengan pepatah lama yang menyebutkan lidah atau 
lisan bagaikan pedang. Jika lisan telah mengibaskan ketajaman mata pedangnya di 
hati, rasa sakit dan lukanya akan berbekas untuk waktu yang lama. Penyimpangan 
(deviasi) prinsip-prinsip tersebut dapatlah memicu timbulnya kekerasan. Sebagai 
contoh, berbicara kasar, berbicara saja tanpa tindakan, berbicara bohong, 
berbicara dengan keras, tidak jelas, menyakitkan, menyinggung perasaan, 
merendahkan orang lain, dan tidak transparan. 
  Dalam praktik sehari-hari, perilaku berbahasa yang tidak mengindahkan 
nilai-nilai dan hakikat fungsi bahasa seperti itu semakin banyak ditemukan di 
masyarakat kita saat ini. Perilaku yang tidak terpuji ini ironisnya banyak 
dilakukan di alam reformasi. Apakah ini merupakan cerminan dari euforia 
demokrasi yang kebablasan. Entah apa. Perilaku berbahasa yang buruk itu 
dilakukan oleh semua lapisan: golongan bawah, golongan menengah, bahkan elite 
politik negeri ini. Sindir-menyindir, saling menghujat, provokasi, dan saling 
mengancam tidak asing terdengar keluar dari mulut para pemimpin. 
  "Mulutmu harimaumu", itu kata pepatah yang masih tetap relevan. Akibat dari 
penggunaan bahasa yang tidak terpuji itu kini masyarakat dan elite politik 
mudah sekali bermusuhan, melakukan tindak anarkis, merusak, dan lain 
sebagainya.Pendek kata, negeri ini sangat rentan dan rawan dengan 
konflik-konflik, friksi-friksi, perkelahian, pembunuhan, dan perusakan yang tak 
berkesudahan.
  Dalam rangka reformasi pendidikan, selayaknyalah dipikirkan juga bagaimana 
sekolah dapat berperan agar anak didik khususnya, dan masyarakat pada umumnya 
tidak berbahasa untuk melakukan tindakan kekerasan dan tidak memicu kekerasan. 
Hendaknya anak didik berbahasa Indonesia yang sopan dan beradab, yang berfungsi 
memelihara serta membangun kerja sama kerukunan.
  Beberapa hal yang dapat dipikirkan yaitu pertama, sekolah hendaknya memberi 
penghargaan yang wajar pada bahasa dan budaya. Kedua, pelajaran bahasa 
menggunakan pendekatan komunikatif tetap menekankan perlunya kesopanan 
berbahasa. Ketiga, semua warga sekolah dikondisikan dan disiplinkan untuk 
berbahasa dengan sopan. 
  Tentang berhasa yang sopan ini, sangat selaras dengan sabda Rasul yang mulia, 
"Tidaklah seharusnya orang menyuruh yang makruf da mencegah yang mungkar, 
kecuali memiliki tiga sifat, yakni lemah lembut dalam menyuruh dan melarang 
(mencegah), mengerti apa yang harus dilarang, dan adil terhadap apa yang harus 
dilarang". 
  Berdemonstrasi menyampaikan tuntutan dan aspirasinya adalah hak setiap orang 
yang mesti diperjuangkan. Namun penyampaian itu hendaknya disampaikan secara 
beretika. Aksi-aksi jangan seakan membenarkan atau melegalkan kata-kata sekasar 
apa pun dilontarkan di depan publik. Stoplah sudah kata-kata yang mengumbar 
bibit-bibit kebencian, membakar amarah, memancing emosi, mendorong anarkisme, 
dan menebar provokasi. Hentikan kata-kata yang hanya memancing kericuhan dan 
bentrokan fisik dengan aparat atau pihak lain. Demikian juga dengan para 
pemimpin bangsa, hendaknya menjunjung etika berbahasa. Perilaku berbahasa 
pemimpin bangsa dan elite politik yang kerap menimbulkan perseteruan telah 
berpengaruh besar pada kehidupan masyarakat di level akar rumput. Semua itu 
hanya menghabiskan energi dan membuat rakyat semakin menderita. 
  Momentum Idulfitri yang melambangkan kesucian hati dan peringatan Bulan 
Bahasa yang dilakukan tiap bulan Oktober ini seyogianya dapat menggugah 
kesadaran berbahasa dengan sopan dan santun. Bagi dunia pendidikan, 
pembelajaran bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa lainnya diharapkan 
mampu menginternalisaikan dan mengartikulasikan nilai-nilai etika berbahasa 
dalam perilaku verbal kita sehari-hari. Pusat Bahasa yang berotoritas membina 
dan mengembangkan bahasa hendaknya lebih berperan nyata lagi dalam mendorong 
masyarakat menggunakan bahasa Indonesia yang santun. Lembaga ini jangan hanya 
berkutat pada riset-riset dan pembakuan bahasa yang hanya menjadi "menara 
gading" bagi masyarakatnya. 
  Karena bahasa mencerminkan pencitraan pribadi, jati diri bangsa, dan 
keselamatan hidupnya, sejatinya pemimpin bangsa, elite politik, masyarakat, dan 
setiap diri berupaya menggunakan bahasa dengan sopan, santun, dan beradab. 
Wallahu a'lam.*** 
  Penulis, guru bahasa dan sastra Indonesia di SMAN 13 Bandung.
  http://www.pikiran- rakyat.com/ cetak/2007/ 102007/20/ 0902.htm
   
  
 __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

Kirim email ke