www.bantenmuda.multiply.com
   
   
  Other men die; but I am not another; therefore I’ll not die 
  (Vladimir Nabokov, Pale Fire Canto Two, 213-214). 
   
  Diari Roman: 
  Di Papan Catur Kita Susun Dunia Baru
  ___________________________________________________
  Enam Sajak Sulaiman Djaya
   
   
  Dari Kata Ke Kata
   
  Dari kata ke kata, dari nada ke nada, apa yang kutulis dalam diagram 
  senantiasa kembali lagi menjadi suku-kata. Hanya selantun jazz lama 
  yang tiba-tiba terdengar mengiba: Peluklah aku, sayang! 
  Yang mencintaimu dalam kesepian. Dan seekor cicak menyimaknya 
  dalam keheranan. Dan lembab yang terbakar lampu meresap pada kertas. 
   
  Setiap tetes tinta adalah hari-hari yang kujalani. Sebagai sebuah disiplin 
  yang mengalahkan matematika. Lalu apa yang ingin kubuktikan 
  selain sebuah kemegahan yang luput dari pengamatan. Seperti hari-hari 
  yang meresap pada cahaya lampu dan kertas. Dan kalau pun ada logika, 
  pastilah sebuah keterpaksaan yang tak terhindarkan. 
   
  Dan meski dalam duduk aku terus melangkah. Menyisir dan memasuki 
  ketiadaan. Dan mataku tak memandang apa-apa selain hidup 
  yang tak berbicara dalam kuasa remang dan kejenuhan. 
   
  Dari udara ke udara, dari ronga ke rongga, senyap pun pulas pada bayang 
  yang hilang. Dan apa yang ditemukan oleh tangan, akan kembali lenyap 
  ke haribaan angan dan impian. 
   
  Setiap keringat yang meresap adalah sedih dan keriangan tanpa kesimpulan. 
  Sama banyaknya dengan kematian yang dilupakan. Sebagai sebuah rumus 
  yang mengalahkan logika. Dan detik-detik menghitung sendiri 
  sebanyak tanda baca yang dihilangkan. Pada lembar-lembar catatan-harian 
  yang lebih samar ketimbang sejarah. 
   
  Dan meski pucuk-pucuk baru telah tumbuh, yang telah gugur tak mampu 
  melawan umurnya. Dan apa yang kutulis kembali menjadi ilusi. 
  Sebab aku tak pernah tahu apa yang kumau. Tak juga kata-kata 
  dapat mengurainya. Sebab aku tak pernah bisa menyulap bahasa 
  menjadi candu. Dan setiap sosok yang kugambar kembali buyar. 
   
  Dari sebuah kesenduan dan kedip lilin nan bergerak-gerak seperti tarian, 
  kueja peta pada sela-sela petang. Tempatku menduga-duga 
  sebebas yang kubisa. Dan sisanya biarlah melelah seperti lilin 
  yang terbakar dan mencair. Seperti sebenang sulaman yang tersisih 
  pada jejalin dunia. Tempatku mengembara di lembaran-lembarannya. 
  Dan apa yang ingin kutulis biarlah jari-jemari yang memutuskan. 
   
  Juga tak ada gunanya mencatat siang dan malam. Sebab musim-musim 
  yang bergulir bukan karena kepastian. Sebab keabadian adalah nama lain 
  ketiadaan. Dan sosokmu hanyalah bayang-bayang. Seperti cinta 
  adalah warna-warna yang tak pernah berkhianat pada siapa saja 
  yang mencintainya dengan gembira. 
   
  Dari kata ke kata, semuanya akan kembali ke awal mula. Sebagai sesuatu 
  yang tak pernah dituliskan. Sebagai sebuah keniscayaan yang luput dari 
ujaran.     
   
   
  Diari Roman
   
  Bila redup September mulai menghinggap dahan 
  dan sisa keringat yang tertinggal di sela-sela sulaman saputangan 
  tak lagi hangat, aku pun tahu bahwa langit yang padam 
  akan merenggut keindahan yang kulihat. 
  Dan seketika aku pun segera membayangkan 
  November nan perak masa kanak. Dengan keindahan 
  dan kesenduannya yang riang itu pelan-pelan mulai jatuh 
  dan menitik detik-demi-detik pada mimpi seorang lelaki nan sepi. 
  Dan dengan ketabahan selayaknya kutulis kata-demi-kata 
  pada apa yang tersisa. Bahwa ada yang tak sia-sia, 
  bahwa ada yang percaya keabadian. 
  Meski tak selugu Juni yang kutinggalkan 
  di lembaran catatan harian yang mulai kusam. 
  Dan kuhitung daun-demi-daun pada angin nun melambung 
  di pucuk waktu. Dan pada suara patah-patah nan pelan bergetar 
  aku pun mencium semerbak ajal. Sebelum jam berdentang 
  pada rembang yang bimbang. 
   
  Dan seandainya setelah itu kuhirup cinta dari hembusan nafasmu 
  atau kuhitung rambutmu. Seakan kuhitung menit-menit hidupku 
  berlalu. Atau kuremas dengan hati-hati jemari tanganmu 
  dan mendengarkan bagaimana engkau mendesah dan berkeluh. 
  Seakan aku mendengarkan sebuah simfoni yang kekal. 
  Dan menghitung satu-satu bintang-bintang pada Aras nun jauh. 
  Yang menjelma kilau kunang-kunang di telaga matamu.
   
  Dan aku di sini, sebagai seorang lelaki. Mencari arti 
  pada kata dan ilusi, pada apa yang tak kupahami. 
  Ketika hatiku mengembara ke segala entah. Dan menelusur 
  relung terjauh batas-batas mimpimu yang tak berjejak 
  pada sisa-sisa senja. Dan selebihnya hanya keraguan 
  dan kembimbangan dalam dada. Yang tak dapat dihitung 
  dan dijumlah pada kata dan bait-bait nada. 
   
   
  Jika Nyata
   
  Jika nyata kata, yang kupungut sepanjang jalan ini, 
  nyatakah segala yang terbentang depan kaki. 
   
  Nyatakah puisi yang kutulis serupa igau, pada kilau. 
   
  Kadangkala aku tak sanggup beranjak pada awan. 
  Kutahu aku hidup dalam banyak tanda yang tak kukenal. 
   
  Kadangkala aku pun nyenyak 
  demi singgah sebentar pada kerjap yang tersisa. 
  Mungkin juga kutahu sesuatu yang tak mampu kutulis 
  seperti nasib. Dan pada udara rupa-rupa terus menjelma. 
  Dan yang bersayap melanglanginya. 
   
  Senyata senyap yang bergetar dalam sepi. 
  Pada kenyataan-kenyataan esok-hari. Sepanjang mataku menjauh 
  dari tubuh. Sepanjang impian-impian yang ada 
  nun entah di mana? Mungkin pada sebuah dunia yang masih 
  mencari kata. Mungkin pada tiada yang tak terjangkau mata. 
   
  Sepanjang pohon-pohon berjajar nan diam tertunduk. 
  Sepanjang raguku pada daun-daun yang terantuk. 
  Dan dingin yang menusuk tubuhku juga membius mataku 
  yang basah dan telungkup, pada hening nan terus meninggi. 
  Dan aku akan menulis dan bermimpi pada detik-detik yang hilang. 
  Pada gerimis nan sangsi, pada larik-larik nan melantuni 
  keremangan sepanjang angin. Dan gigil yang terus menjalar 
  seperti pohon rambat yang tumbuh dalam kegaiban. 
  Senyata rembang yang membentang. 
   
  Dan embun yang akan menitik pada kering lamunanku 
  yang letih, akan menimbang kenyataan-kenyataan 
  dan impian-impian esok-hari. Pada sekerdip bintang 
  dan bayang-bayang nan terus memanjang. 
   
   
  Lagu Hujan
   
  Dan akhirnya hujan pertama membasahi mimpi-mimpiku 
  sepanjang sungai dan harum lumpur. Sejak udara berdebu dalam anganku 
  bertumpuk di usiaku yang bisu dan tertidur. Ketika dari segaib waktu 
  angin pun kencang berhembus ke tubuhku yang dungu dan termenung 
  pada hangus daun yang kucium.
   
  Dan dalam goncang aku pun tahu ada yang jatuh dan terbangun. 
  Ketika hidup dan maut tiba-tiba bersekutu dalam gemuruh 
  yang melumpuh bisu renunganku. Kelabu pun membuncah dan luluh 
  dalam curah yang hancur. Dan burung-burung terceguk 
  karena cemas yang mengganas. Ketika galau cuaca 
  menghantam dan menghempas sayap-sayap serangga yang terombang. 
   
  Dan kudengar dalam riuh nan bimbang, bulu-bulu runtuh dari tubuh. 
  Dan mimpi-mimpi jatuh dari lelap usiaku. Meski pada lenyap kabut 
  tak ada sahut bersambut. Pada gelombang yang menebal seperti cadar. 
  Dan para unggas hilang ditelan kegelapan nan terus membentang.
  Hanya rabun mataku yang mabuk terbius bayang-bayang. 
   
  Dan setelah hujan usai entah kenapa kata-kata memuaidan tak berdaya. 
  Sebisu arus air dan lumut pada batu. Meski cuaca seruncing paruh burung 
  mencucuk mataku. 
   
  Dan dari kejauhan kulihat seekor kumbang seakan bimbang 
  menimbang jalan kepulangan. Pada samar melagu sedendang merdu. 
  Dan sekuncup kelopak terbuka dalam lamunanku. 
  Seperti sekecup roman bunga pelataran nan berkembang pada bayang. 
  Dengan semerbak wanginya yang memabukkan. 
   
  Dan sang belalang seakan kepayang. Mengingatkanku pada seorang nabi 
  yang tiba-tiba birahi kerena mungil sepasang puting pada sebening air. 
   
  Dan hari terus berganti tanpa batas akhir. Seperti waktu yang meresap 
  pada tubuh tanpa kita kita tahu. Meski tak ada lagi jejak keperakan 
  pada irama angin yang kupandang. Pada gerak-gerak rapuh yang bersambutan. 
  Hanya awan yang terbenam sepanjang liuk sungai dan angan-angan. 
   
   
  Di Papan Catur
   
  Dan kita akan bermain catur sambil menunggu ketukan di pintu (T.S.Eliot). 
  Sejenak akupun ragu, apakah kau mengerti permainan itu (Eugenio Montale). 
  Arms, and the man I sing, who forc’d by fate (Publius Virgilius Maro). 
    
  Lalu kau dan aku menyusun dunia-dunia baru yang kita mau. 
      Ketika masa depan masih sebatas impian yang ragu-ragu. 
  Delapan kotak bagi langkahmu-langkahku punya jebakan yang sama: 
      Entah ke surga ataukah ke neraka, entah malang ataukah bahagia. 
  Dengan 16 kelokan yang menyesatkan dan 32 alasan 
      yang tak punya jawaban. Seperti perpustakaan Borges yang membingungkan. 
  Dan dulu, di sebuah negeri nun jauh 
      di abad-abad silam, di sebuah kota yang sepi dan tinggal puing 
  seorang lelaki berlari-lari dan berteriak: “Binasalah kau Azazil! 
      Binasalah kau Azazil! Sekalian seluruh penghuni langit!” 
  Tapi Azazil tertawa girang dan berkata: Kau lihatkah sendiri, Tuhan? 
      Ayub pun mengutuk-Mu dalam kekalahan. 
  Tapi mari kita teruskan permainan! Setelah Ayub seperti Oedipus 
      yang dikutuk. Sambil menyusun dunia-dunia baru yang kita mau. 
  Sebelum kau dan aku seperti Eneas dan Dido yang melarikan diri 
      demi menyelamatkan kemalangan yang tak diinginkannya. 
  Dan dalam persembunyian itu, mereka pun resah dirundung takut. 
      Ketika para bidak mulai jatuh dan tersungkur oleh tombak dan peluru. 
  Ketika asap bercampur latu dan amis debu terus bergulung di kota itu. 
      Ayo kita bermain sambil menunggu ketukan di pintu. 
  Meski kita tak pernah tahu akhir langkahmu-langkahku 
      di persimpangan-persimpangan takdir dan waktu. 
  Ketika masa depan masih sebatas impian yang ragu-ragu. 
      Ayo kita mainkan lagi kisah pengkhianatan Dawud Sang Raja 
  atas Uriah Sang Panglima, demi Batsheba Sang Ratu. 
      Atau kita mainkan kembali kisah Raja Sulaiman membius Seba 
  dengan azimat kembang Mandragora di ranjang asmara. 
      Ketika ia bosan pada senja dan dinding pualam istana. 
  Dan setelahnya kita susun dunia-dunia baru. 
      Ketika masa depan masih sebatas impian yang ragu-ragu.  
  Dan mari kita teruskan kembali permainan, sambil menunggu 
      ketukan di pintu. Meski aku ragu apa kau sendiri tahu nasibmu. 
  Sebab oleh waktu, renungan pun rapuh dan runtuh. 
      Sebab oleh sangsi, tubuh pun lumpuh dan jatuh. 
  Seperti Samson yang menyerahkan surainya dan terbujuk 
      rayuan Delilah, di altar persembahan para dewa yang rakus darah. 
  Atau kau dan aku sama-sama membayangkan seumpama Sang Ksatria 
      atau hanya Sang Bidak yang menyerbu benteng Troya demi Helena. 
  Seperti Paris yang tiba-tiba kecut menghadapi maut. 
      Bimbang atas pilihan yang sama-sama membingungkan. 
  Atau kau Dayang Sumbi dan aku Sangkuriang, kau Jocasta 
      dan aku Oedipus yang terkutuk. 
  Entah Raja atau pun Jelata, marilah kita andaikan kau dan aku 
      menelusuri lorong-lorong gelap Dedalus si Perancang itu. 
  Dan setelahnya kita susun dunia-dunia baru, 
      meski masa depan masih sebatas impian yang ragu-ragu. 
  Kau sebagai Ariadne dan aku sebagai Theseus, di Papan Catur. 
      Dan kita akan selalu bermain catur sambil menunggu ketukan di pintu. 
  Tapi sekarang akan kita masuki kotak Pandora yang penuh tanya. 
      Karena itu teruskan saja langkah, sebab di sini sejarah digigit para 
nyamuk. 
  Di sini, anyir darah dan nyawa manusia hanyalah angka-angka. 
      Karena itu teruskan saja langkah sebelum harga diri kita diperkosa. 
  Sebelum mimpi-mimpi kita kembali rapuh seperti sayap-sayap Ikarus. 
      Karena itu teruskan saja langkah, sebab di sini maut pun ragu. 
  Sebelum tiba giliranku memasuki panggung seperti Hamlet yang dungu. 
      Dan layar ditutup tanpa adegan yang penuh dengus dan nafsu. 
  Dan kita kembali ke lorong-lorong gelap Sang Maut. 
      Dan kita merangkak seperti seorang anak yang kehilangan Sang Ibu. 
  Dan kita bercinta setelah membunuh Sang Bapak yang cemburu. 
      Dan kita bercinta tanpa dosa dan kutuk pada tubuh. 
  Dan dunia baru yang kita susun, mungkin akan kembali runtuh 
      oleh desing peluru. Tapi kita akan selalu bermain catur, sayangku! 
   
      
  Setelah Puisi
   
  Dan biarlah kini, kubaringkan sajakku pada sedaun waktu. 
  Seakan aku merebah di pangkuanmu. Dan menyandar ragu 
  pada gerimis Agustus di hatimu. Dan setelahnya tertidur senyenyak maut 
  di haribaan waktu. Menanti ajalmu-ajalku melepas umur dan tubuh. 
  Selepas kata tak lagi punya sisa pada diam cakrawala. 
  Ketika angka-angka tak sanggup menghitung dengus atau hangus. 
  Ketika pada kelender yang bisu hanya ada sesuatu yang tak ada. Seperti usia 
  pada kata. Dan kita pun jadi tahu cuma tubuh milik kita satu-satunya. 
  Maka rebahlah segala yang terluka pada alun Biola. 
  Maka nyanyikanlah baris Rubayyat pada bait-bait nada. 
  Setelah keraguan dan kebimbangan nan terus mengalun 
  pada denting-denting basah nada-nada gubahan.   
   
  (2005-2008). 
   
   
   
  Sulaiman Djaya lahir di Serang, Banten 1 Januari 1978. Salah seorang pendiri 
Surosowan Forum ini sehari-hari menjalani hidupnya sebagai petani. Sambil 
sesekali menjadi pembicara dan membacakan puisi-puisinya di kampus-kampus, 
komunitas-komunitas penggiat seni, dan organisasi-organisasi kemasyarakatan dan 
kepemudaan di Banten. Selain itu ia juga menjadi narasumber mingguan untuk 
talk-show pemikiran dan kebudayaan di Radio Dimensi FM 94.9. 
   
  --
  Wira Pratama – Mobile +62 856 871 9768
  Jl. Trip K. Jamaksari No.1 Serang 42118
  MP: www.bantenmuda.multiply.com
  FS: www.friendster.com/bantenmudamagazine
  Web: www.bantenmuda.com (still prepare)
  Email: [EMAIL PROTECTED]
       
---------------------------------
  Yahoo! sekarang memiliki alamat Email baru  
 Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail. 
br>Cepat sebelum diambil orang lain!

Kirim email ke