wawancara dengan buya syafii.
hhd.

--- On Sat, 10/4/08, Agus Hamonangan <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
From: Agus Hamonangan <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [Forum Pembaca KOMPAS] Kearifan Syafii Maarif
To: [EMAIL PROTECTED]
Date: Saturday, October 4, 2008, 2:35 PM










    
            Oleh Maria Hartiningsih & Ninuk Mardiana Pambudy

http://cetak. kompas.com/ read/xml/ 2008/10/05/ 01111364/ kearifan. 
syafii.maarif



Ini pernyataan Prof Dr Ahmad Syafii Maarif: bangsa Indonesia mengalami

krisis kepemimpinan karena politik menjadi ajang kompetisi

kepentingan- kepentingan sempit kelompok, bukan untuk mencapai keadilan

sosial dan kesejahteraan seluruh rakyat, seperti dicita-citakan para

pendiri negeri ini.



Tokoh intelektual, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah (1998-2005) dan

pendiri Maarif Institute itu ditemui suatu pagi, di Jakarta.



Syafii Maarif (73) adalah tokoh Indonesia kedua yang dianugerahi

penghargaan Magsaysay untuk kategori Perdamaian dan Pemahaman

Internasional setelah tokoh intelektual Soedjatmoko pada tahun 1978.



Tokoh Indonesia yang pernah mendapat penghargaan yang sama adalah

Mochtar Lubis (1958), Pramoedya Ananta Toer (1995), dan Atmakusumah

Astraatmadja (2000) untuk kategori Jurnalisme, Kesusastraan, dan Seni

Komunikasi Kreatif, Abdurrahman Wahid (1993) untuk kategori

Kepemimpinan Masyarakat, serta Dita Indah Sari (2001) untuk kategori

Kepemimpinan Muda.



Presiden Raymond Magsaysay Award Foundation, Carmencita T Abella,

dalam surat elektroniknya kepada Maarif Institute tanggal 31 Juli 2008

menyatakan, Syafii Maarif dipilih karena komitmen dan kesungguhannya

membimbing umat Islam untuk meyakini dan menerima toleransi dan

pluralisme sebagai basis keadilan dan harmoni di Indonesia, bahkan di

dunia.



Mengutip siaran pers Maarif Institute, dalam sambutan singkat di depan

sekitar 2.000 undangan pada resepsi tanggal 31 Agustus 2008 di Manila,

Filipina, Syafii Maarif mengatakan, penghargaan itu tak bisa

dilepaskan dari Persyarikatan Muhammadiyah yang membesarkannya.



Ia mengakui, kerja sama dengan para tokoh lintas agama sebagai

kekuatan sosio-kultural sangat penting dalam menentukan masa depan

Indonesia yang plural di bawah Pancasila. Usahanya bersama para tokoh

lintas agama untuk mempromosikan pluralisme, toleransi, dan

inklusivisme itu mendapat apresiasi dan dukungan dari arus besar

masyarakat Indonesia.



Komitmen kuat



Penganugerahan itu disambut gembira oleh masyarakat lintas iman dan

pendukung pluralisme Indonesia, tetapi dicibir oleh kelompok yang

menolaknya. Pagi itu, ia membacakan kalimat bernada keras yang dikirim

melalui layanan pesan singkat.



Mengapa ada yang tak mau menerima fakta keberbagaian?



Saya kira karena wawasan yang sempit, atau mungkin kecewa. Solusinya

di daerah, ya perda-perda diskrimatif itu. Anehnya, itu didukung

partai-partai sekuler. Ini persoalan. Tidak tulus. Tingkat peradaban

politik kita masih rendah dan kumuh.



Maksudnya?



Kotor. Ya politik uang, ya moral. Setelah reformasi, relatif demokrasi

kita ada, dipuji, meski berada di tangan mereka yang tidak bertanggung

jawab, yang wawasannya picik. Kualitas demokrasi kita di bawah

standar. Dapat dibilang, politik telah menjadi mata pencaharian karena

seluruh kegiatan politik bukan untuk menyejahterakan rakyat.



Mungkin biaya masuk ke politik besar sekali, sehingga kalau sudah

masuk banyak yang mencoba mengembalikan investasi yang sudah dikeluarkan…



Kenapa Pemilu 1955 tidak begitu? Itu pemilu terbagus sepanjang

sejarah. Meskipun pertentangan ideologi begitu tajam dan galak, tak

setetes pun darah yang tumpah. Sekarang banyak politisi instan.

Kelakuannya dari pusat sampai daerah sama.



Apa masalah pokoknya?



Saya kira soal kepemimpinan. Kita punya orang-orang hebat, tetapi

banyak tetapinya.



Pengaruh kapitalisme global?



Harusnya pengaruh itu bisa diminimalisasi, kalau tak ada proses

pembusukan dari dalam. Ada kerapuhan dari dalam. Kultur kita rapuh.



Kalau rapuh, bagaimana bisa bertahan sekian lama?



Itu pertanyaan menarik. Sejarawan besar Australia, MC Ricklefs

(penulis buku A History of Modern Indonesia) mengatakan, Indonesia ini

terlalu besar untuk jadi satu negara. Diperkirakan pecah, tetapi tidak

juga. Ada misteri di situ.



Apakah dasarnya survival?



Bertahan dalam penderitaan dan ketidakadilan. Coba Anda pergi ke

pulau-pulau kecil di Indonesia timur. Mereka sangat cinta Indonesia,

tetapi selalu dizalimi. Lihat Riau yang terbengkalai, padahal

sumbangannya besar, selain sumber daya alamnya, juga bahasa. Lihat

juga Aceh yang di zaman revolusi memberi banyak untuk republik ini.



Tujuan kita ini sebagai bangsa apa? Sila kelima Pancasila itu keadilan

sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sekarang lihat angka kemiskinan.

Kalau pakai standar pendapatan dua dollar AS sehari, disebut ekonom

Faisal Basri angkanya mencapai 106 juta dari sekitar 225 juta orang.

Lihat, orang berburu zakat sampai meninggal, entah berapa yang

luka-luka, belum lagi daging busuk yang dikonsumsi rakyat. Ini sudah

luar biasa….



Rapuh karena tak bisa keluar dari belenggu struktural?



Ya. Salah satu indikator kerapuhan itu adalah kepekaan kita lemah dan

semakin lemah, terutama karena kepemimpinan kita tak punya kepekaan

dan tidak bertanggung jawab.



Bangsa baru



Bagaimana keterkaitan semua itu dengan sejarah? Syafii Maarif

mengatakan, bangsa ini memanggul beban berat sebagai ”bangsa yang

terjajah selama 350 tahun”, sehingga kultur bangsa terjajah tetap

membayangi.



Rendahnya posisi tawar dalam kontrak-kontrak karya pertambangan,

minyak dan gas, adalah salah satu contoh yang ia sebutkan.



”Kapitalisme masuk dengan memanfaatkan parlemen kita dalam pembuatan

undang-undang, juga pemerintah. Saya rasa kita tidak begitu yakin

dengan diri kita sebagai bangsa yang merdeka,” ia melanjutkan.



”Kita menjual semua yang kita punya, sumber daya alam dan semuanya

sumber daya ekonomi yang kita punya. Sebagian UU yang dihasilkan

memperlihatkan kepandiran bangsa ini. Ibarat tukang, siang hari ia

menenun, malamnya dilepaskan lagi.”



Ketidakmampuan menangkis pengaruh ideologi juga terlihat dari alasan

para teroris yang menggunakan kekerasan untuk mewujudkan apa yang

dibayangkan sebagai situasi ”ideal”. Di sisi lain, orang tak bisa

menahan rayuan konsumtivisme yang disebarkan kapitalisme global karena

filternya lemah.



Karena itu, ”Kita harus menyiapkan manusia Indonesia yang tangguh.

Bisa dilakukan melalui pendidikan dalam arti luas, dimulai dari

keluarga. Kemerdekaan harus diartikan sebagai warga yang terbebaskan,

berdaulat, dan punya kebanggaan.”



Ia mengingatkan, Bung Karno selalu mengatakan pembangunan karakter

bangsa harus terus dilakukan. ”Tetapi, ada satu hal di pikiran saya.

Pertama, saya menolak 100 tahun Kebangkitan Nasional,” ia menegaskan.



Berdasarkan fakta sejarah, Indonesia sebagai bangsa baru muncul tahun

1920-an. Syafii Maarif memaparkan, ”Saya tidak tahu apakah kita ambil

peralihan dari Indische Vereeniging, Perhimpunan Hindia, tahun 1908

menjadi Indonesische Vereeniging, Perhimpunan Indonesia, tahun 1922,

atau kita ambil Sumpah Pemuda tahun 1928. Sebelum itu yang ada

etnisitas. Ali Sastroamidjojo, orang Jawa. Hatta orang Sumatera. Kita

perlu bicara lebih mendalam dan serius tentang kapan sebetulnya kita

menjadi Indonesia.”



Dengan demikian, beban psikologisnya menjadi lebih ringan karena tidak

lagi merasa sebagai bangsa yang dijajah 350 tahun. ”Memang karena

penjajahan, kita menjadi Indonesia, menjadi satu atas kemauan sendiri.

Jadi, kita harus menghargai keberbagaian di rumah Indonesia ini.

Proses menjadi bangsa ini masih terus berlangsung.”



Yang kedua?



Saya tak tertarik dengan jargon NKRI, Negara Kesatuan Republik

Indonesia, karena ”kesatuan” membentuk uniformitas yang tak menghargai

Bhinneka Tunggal Ika. Saya tertarik dengan Negara Persatuan Republik

Indonesia. Persatuan berarti menghargai kultur-kultur yang hebat ini.

Dengan ”persatuan” tak bisa lagi melihat Indonesia dari kacamata Jakarta.



Bukankah ada otonomi daerah?



Tak sama benar. Banyak pemekaran yang sifatnya sangat politis. Itu

ambisi raja-raja kecil. Kita harus kembali ke filosofi laut. Pensiunan

Kepala Angkatan Laut India, Admiral L Ramdas, yang saya temui di

Manila, mengingatkan, ”Oceans unite, lands divide”.




      

    
    
        
         
        
        








        


        
        


      

Kirim email ke