--- Begin Message ---
fwd ...
 
-----Original Message-----
From: aliwardhana 
Sent: Thursday, October 09, 2008 4:02 PM
Subject: Kalau Langit Masih Kurang Tinggi



Buat baca2 aja, penjelasan simpel tentang gunjang-ganjing perekonomian 
AS yang berawal dari krisis subprime mortgage di AS.....

Kalau Langit Masih Kurang Tinggi

Oleh: Dahlan Iskan (CEO Jawa Pos)

Meski saya bukan ekonom, banyak pembaca tetap minta saya 
''menceritakan'' secara awam mengenai hebatnya krisis keuangan di AS 
saat ini. Seperti juga, banyak pembaca tetap bertanya tentang sakit 
liver, meski mereka tahu saya bukan dokter. Saya coba:

Semua perusahaan yang sudah go public lebih dituntut untuk terus 
berkembang di semua sektor. Terutama labanya. Kalau bisa, laba sebuah 
perusahaan publik terus meningkat sampai 20 persen setiap tahun. Soal 
caranya bagaimana, itu urusan kiat para CEO dan direkturnya.

Pemilik perusahaan itu (para pemilik saham) biasanya sudah tidak mau 
tahu lagi apa dan bagaimana perusahaan tersebut dijalankan. Yang mereka 
mau tahu adalah dua hal yang terpenting saja: harga sahamnya harus 
terus naik dan labanya harus terus meningkat.

Perusahaan publik di AS biasanya dimiliki ribuan atau ratusan ribu 
orang, sehingga mereka tidak peduli lagi dengan tetek-bengek perusahaan 
mereka.

Mengapa mereka menginginkan harga saham harus terus naik? Agar kalau 
para pemilik saham itu ingin menjual saham, bisa dapat harga lebih 
tinggi dibanding waktu mereka beli dulu: untung.

Mengapa laba juga harus terus naik? Agar, kalau mereka tidak ingin jual 
saham, setiap tahun mereka bisa dapat pembagian laba (dividen) yang 
kian banyak.

Soal cara bagaimana agar keinginan dua hal itu bisa terlaksana dengan 
baik, terserah pada CEO-nya. Mau pakai cara kucing hitam atau cara 
kucing putih, terserah saja. Sudah ada hukum yang mengawasi cara kerja 
para CEO tersebut: hukum perusahaan, hukum pasar modal, hukum pajak, 
hukum perburuhan, dan seterusnya.

Apakah para CEO yang harus selalu memikirkan dua hal itu merasa 
tertekan dan stres setiap hari? Bukankah sebuah perusahaan kadang bisa 
untung, tapi kadang bisa rugi?

Anehnya, para CEO belum tentu merasa terus-menerus diuber target. Tanpa 
disuruh pun para CEO sendiri memang juga menginginkannya. Mengapa? 
Pertama, agar dia tidak terancam kehilangan jabatan CEO. Kedua, agar 
dia mendapat bonus superbesar yang biasanya dihitung sekian persen dari 
laba dan pertumbuhan yang dicapai. Gaji dan bonus yang diterima para 
CEO perusahaan besar di AS bisa 100 kali lebih besar dari gaji Presiden 
George Bush. Mana bisa dengan gaji sebesar itu masih stres?

Keinginan pemegang saham dan keinginan para CEO dengan demikian seperti 
tumbu ketemu tutup: klop. Maka, semua perusahaan dipaksa untuk 
terus-menerus berkembang dan membesar. Kalau tidak ada jalan, harus 
dicarikan jalan lain. Kalau jalan lain tidak ditemukan, bikin jalan 
baru. Kalau bikin jalan baru ternyata sulit, ambil saja jalannya orang 
lain. Kalau tidak boleh diambil? Beli! Kalau tidak dijual? Beli dengan 
cara yang licik -dan kasar! Istilah populernya hostile take over.

Kalau masih tidak bisa juga, masih ada jalan aneh: minta politisi untuk 
bikinkan berbagai peraturan yang memungkinkan perusahaan bisa mendapat 
jalan.

Kalau perusahaan terus berkembang, semua orang happy. CEO dan para 
direkturnya happy karena dapat bonus yang mencapai Rp 500 miliar 
setahun. Para pemilik saham juga happy karena kekayaannya terus naik. 
Pemerintah happy karena penerimaan pajak yang terus membesar. Politisi 
happy karena dapat dukungan atau sumber dana.

Dengan gambaran seperti itulah ekonomi AS berkembang pesat dan 
kesejahteraan rakyatnya meningkat. Semua orang lantas mampu membeli 
kebutuhan hidupnya. Kulkas, TV, mobil, dan rumah laku dengan kerasnya. 
Semakin banyak yang bisa membeli barang, ekonomi semakin maju lagi.

Karena itu, AS perlu banyak sekali barang. Barang apa saja. Kalau tidak 
bisa bikin sendiri, datangkan saja dari Tiongkok atau Indonesia atau 
negara lainnya. Itulah yang membuat Tiongkok bisa menjual barang apa 
saja ke AS yang bisa membuat Tiongkok punya cadangan devisa terbesar di 
dunia: USD 2 triliun!

Sudah lebih dari 60 tahun cara ''membesarkan'' perusahaan seperti itu 
dilakukan di AS dengan suksesnya. Itulah bagian dari ekonomi kapitalis. 
AS dengan kemakmuran dan kekuatan ekonominya lalu menjadi penguasa 
dunia.

Tapi, itu belum cukup.

Yang makmur harus terus lebih makmur. Punya toilet otomatis dianggap 
tidak cukup lagi: harus computerized!

Bonus yang sudah amat besar masih kurang besar. Laba yang terus 
meningkat harus terus mengejar langit. Ukuran perusahaan yang sudah 
sebesar gajah harus dibikin lebih jumbo. Langit, gajah, jumbo juga 
belum cukup.

Ketika semua orang sudah mampu beli rumah, mestinya tidak ada lagi 
perusahaan yang jual rumah. Tapi, karena perusahaan harus terus 
meningkat, dicarilah jalan agar penjualan rumah tetap bisa dilakukan 
dalam jumlah yang kian banyak. Kalau orangnya sudah punya rumah, harus 
diciptakan agar kucing atau anjingnya juga punya rumah. Demikian juga 
mobilnya.

Tapi, ketika anjingnya pun sudah punya rumah, siapa pula yang akan beli 
rumah?

Kalau tidak ada lagi yang beli rumah, bagaimana perusahaan bisa lebih 
besar? Bagaimana perusahaan penjamin bisa lebih besar? Bagaimana 
perusahaan alat-alat bangunan bisa lebih besar? Bagaimana bank bisa 
lebih besar? Bagaimana notaris bisa lebih besar? Bagaimana perusahaan 
penjual kloset bisa lebih besar? Padahal, doktrinnya, semua perusahaan 
harus semakin besar?

Ada jalan baru. Pemerintah AS-lah yang membuat jalan baru itu. Pada 
1980, pemerintah bikin keputusan yang disebut ''Deregulasi Kontrol 
Moneter''. Intinya, dalam hal kredit rumah, perusahaan realestat 
diperbolehkan menggunakan variabel bunga. Maksudnya: boleh mengenakan 
bunga tambahan dari bunga yang sudah ditetapkan secara pasti. Peraturan 
baru itu berlaku dua tahun kemudian.

Inilah peluang besar bagi banyak sektor usaha: realestat, perbankan, 
asuransi, broker, underwriter, dan seterusnya. Peluang itulah yang 
dimanfaatkan perbankan secara nyata.

Begini ceritanya:

Sejak sebelum 1925, di AS sudah ada UU Mortgage. Yakni, semacam 
undang-undang kredit pemilikan rumah (KPR). Semua warga AS, asalkan 
memenuhi syarat tertentu, bisa mendapat mortgage (anggap saja seperti 
KPR, meski tidak sama).

Misalnya, kalau gaji seseorang sudah Rp 100 juta setahun, boleh ambil 
mortgage untuk beli rumah seharga Rp 250 juta. Cicilan bulanannya 
ringan karena mortgage itu berjangka 30 tahun dengan bunga 6 persen 
setahun.

Negara-negara maju, termasuk Singapura, umumnya punya UU Mortgage. Yang 
terbaru adalah UU Mortgage di Dubai. Sejak itu, penjualan properti di 
Dubai naik 55 persen. UU Mortgage tersebut sangat ketat dalam 
menetapkan syarat orang yang bisa mendapat mortgage.

Dengan keluarnya ''jalan baru'' pada 1980 itu, terbuka peluang untuk 
menaikkan bunga. Bisnis yang terkait dengan perumahan kembali hidup. 
Bank bisa dapat peluang bunga tambahan. Bank menjadi lebih agresif. 
Juga para broker dan bisnis lain yang terkait.

Tapi, karena semua orang sudah punya rumah, tetap saja ada hambatan. 
Maka, ada lagi ''jalan baru'' yang dibuat pemerintah enam tahun 
kemudian. Yakni, tahun 1986.

Pada 1986 itu, pemerintah menetapkan reformasi pajak. Salah satu 
isinya: pembeli rumah diberi keringanan pajak. Keringanan itu juga 
berlaku bagi pembelian rumah satu lagi. Artinya, meski sudah punya 
rumah, kalau mau beli rumah satu lagi, masih bisa dimasukkan dalam 
fasilitas itu.

Di negara-negara maju, sebuah keringanan pajak mendapat sambutan yang 
luar biasa. Di sana pajak memang sangat tinggi. Bahkan, seperti di 
Swedia atau Denmark, gaji seseorang dipajaki sampai 50 persen. 
Imbalannya, semua keperluan hidup seperti sekolah dan pengobatan 
gratis. Hari tua juga terjamin.

Dengan adanya fasilitas pajak itu, gairah bisnis rumah meningkat 
drastis menjelang 1990. Dan terus melejit selama 12 tahun berikutnya. 
Kredit yang disebut mortgage yang biasanya hanya USD 150 miliar setahun 
langsung menjadi dua kali lipat pada tahun berikutnya. Tahun-tahun 
berikutnya terus meningkat lagi. Pada 2004 mencapai hampir USD 700 
miliar setahun.

Kata ''mortgage'' berasal dari istilah hukum dalam bahasa Prancis. 
Artinya: matinya sebuah ikrar. Itu agak berbeda dari kredit rumah. 
Dalam mortgage, Anda mendapat kredit. Lalu, Anda memiliki rumah. Rumah 
itu Anda serahkan kepada pihak yang memberi kredit. Anda boleh 
menempatinya selama cicilan Anda belum lunas.

Karena rumah itu bukan milik Anda, begitu pembayaran mortgage macet, 
rumah itu otomatis tidak bisa Anda tempati. Sejak awal ada ikrar bahwa 
itu bukan rumah Anda. Atau belum. Maka, ketika Anda tidak membayar 
cicilan, ikrar itu dianggap mati. Dengan demikian, Anda harus langsung 
pergi dari rumah tersebut.

Lalu, apa hubungannya dengan bangkrutnya investment banking seperti 
Lehman Brothers?

Gairah bisnis rumah yang luar biasa pada 1990-2004 itu bukan hanya 
karena fasilitas pajak tersebut. Fasilitas itu telah dilihat oleh 
''para pelaku bisnis keuangan'' sebagai peluang untuk membesarkan 
perusahaan dan meningkatkan laba.

Warga terus dirangsang dengan berbagai iklan dan berbagai fasilitas 
mortgage. Jor-joran memberi kredit bertemu dengan jor-joran membeli 
rumah. Harga rumah dan tanah naik terus melebihi bunga bank.

Akibatnya, yang pintar bukan hanya orang-orang bank, tapi juga para 
pemilik rumah. Yang rumahnya sudah lunas, di-mortgage-kan lagi untuk 
membeli rumah berikutnya. Yang belum memenuhi syarat beli rumah pun 
bisa mendapatkan kredit dengan harapan toh harga rumahnya terus naik. 
Kalau toh suatu saat ada yang tidak bisa bayar, bank masih untung. 
Jadi, tidak ada kata takut dalam memberi kredit rumah.

Tapi, bank tentu punya batasan yang ketat sebagaimana diatur dalam 
undang-undang perbankan yang keras.

Sekali lagi, bagi orang bisnis, selalu ada jalan.

Jalan baru itu adalah ini: bank bisa bekerja sama dengan ''bank jenis 
lain'' yang disebut investment banking.

Apakah investment banking itu bank?

Bukan. Ia perusahaan keuangan yang ''hanya mirip'' bank. Ia lebih bebas 
daripada bank. Ia tidak terikat peraturan bank. Bisa berbuat banyak 
hal: menerima macam-macam ''deposito'' dari para pemilik uang, 
meminjamkan uang, meminjam uang, membeli perusahaan, membeli saham, 
menjadi penjamin, membeli rumah, menjual rumah, private placeman, dan 
apa pun yang orang bisa lakukan. Bahkan, bisa melakukan apa yang orang 
tidak pernah memikirkan! Lehman Brothers, Bear Stern, dan banyak lagi 
adalah jenis investment banking itu.

Dengan kebebasannya tersebut, ia bisa lebih agresif. Bisa memberi 
pinjaman tanpa ketentuan pembatasan apa pun. Bisa membeli perusahaan 
dan menjualnya kapan saja. Kalau uangnya tidak cukup, ia bisa pinjam 
kepada siapa saja: kepada bank lain atau kepada sesama investment 
banking. Atau, juga kepada orang-orang kaya yang punya banyak uang 
dengan istilah ''personal banking''.

Saya sering kedatangan orang dari investment banking seperti itu yang 
menawarkan banyak fasilitas. Kalau saya mau menempatkan dana di sana, 
saya dapat bunga lebih baik dengan hitungan yang rumit. Biasanya saya 
tidak sanggup mengikuti hitung-hitungan yang canggih itu.

Saya orang yang berpikiran sederhana. Biasanya tamu-tamu seperti itu 
saya serahkan ke Dirut Jawa Pos Wenny Ratna Dewi. Yang kalau menghitung 
angka lebih cepat dari kalkulator. Kini saya tahu, pada dasarnya dia 
tidak menawarkan fasilitas, tapi cari pinjaman untuk memutar cash-flow.

Begitu agresifnya para investment banking itu, sehingga kalau dulu 
hanya orang yang memenuhi syarat (prime) yang bisa dapat mortgage, yang 
kurang memenuhi syarat pun (sub-prime) dirangsang untuk minta mortgage.

Di AS, setiap orang punya rating. Tinggi rendahnya rating ditentukan 
oleh besar kecilnya penghasilan dan boros-tidaknya gaya hidup 
seseorang. Orang yang disebut prime adalah yang ratingnya 600 ke atas. 
Setiap tahun orang bisa memperkirakan sendiri, ratingnya naik atau 
turun.

Kalau sudah mencapai 600, dia sudah boleh bercita-cita punya rumah 
lewat mortgage. Kalau belum 600, dia harus berusaha mencapai 600. Bisa 
dengan terus bekerja keras agar gajinya naik atau terus melakukan 
penghematan pengeluaran.

Tapi, karena perusahaan harus semakin besar dan laba harus kian tinggi, 
pasar pun digelembungkan. Orang yang ratingnya baru 500 sudah ditawari 
mortgage. Toh kalau gagal bayar, rumah itu bisa disita. Setelah disita, 
bisa dijual dengan harga yang lebih tinggi dari nilai pinjaman. Tidak 
pernah dipikirkan jangka panjangnya.

Jangka panjang itu ternyata tidak terlalu panjang. Dalam waktu kurang 
dari 10 tahun, kegagalan bayar mortgage langsung melejit. Rumah yang 
disita sangat banyak. Rumah yang dijual kian bertambah. Kian banyak 
orang yang jual rumah, kian turun harganya. Kian turun harga, berarti 
nilai jaminan rumah itu kian tidak cocok dengan nilai pinjaman. Itu 
berarti kian banyak yang gagal bayar.

Bank atau investment banking yang memberi pinjaman telah pula 
menjaminkan rumah-rumah itu kepada bank atau investment banking yang 
lain. Yang lain itu menjaminkan ke yang lain lagi. Yang lain lagi itu 
menjaminkan ke yang beriktunya lagi. Satu ambruk, membuat yang lain 
ambruk. Seperti kartu domino yang didirikan berjajar. Satu roboh 
menimpa kartu lain. Roboh semua.

Berapa ratus ribu atau juta rumah yang termasuk dalam mortgage itu? 
Belum ada data. Yang ada baru nilai uangnya. Kira-kira mencapai 5 
triliun dolar. Jadi, kalau Presiden Bush merencanakan menyuntik dana 
APBN USD 700 miliar, memang perlu dipertanyakan: kalau ternyata dana 
itu tidak menyelesaikan masalah, apa harus menambah USD 700 miliar 
lagi? Lalu, USD 700 miliar lagi?

Itulah yang ditanyakan anggota DPR AS sekarang, sehingga belum mau 
menyetujui rencana pemerintah tersebut. Padahal, jumlah suntikan 
sebanyak USD 700 miliar itu sudah sama dengan pendapatan seluruh bangsa 
dan negara Indonesia dijadikan satu.

Jadi, kita masih harus menunggu apa yang akan dilakukan pemerintah dan 
rakyat AS. Kita juga masih menunggu data berapa banyak perusahaan dan 
orang Indonesia yang ''menabung''-kan uangnya di lembaga-lembaga 
investment banking yang kini lagi pada kesulitan itu.

Sebesar tabungan itulah Indonesia akan terseret ke dalamnya. Rasanya 
tidak banyak, sehingga pengaruhnya tidak akan sebesar pengaruhnya pada 
Singapura, Hongkong, atau Tiongkok.

Singapura dan Hongkong terpengaruh besar karena dua negara itu menjadi 
salah satu pusat beroperasinya raksasa-raksasa keuangan dunia. 
Sedangkan Tiongkok akan terpengaruh karena daya beli rakyat AS akan 
sangat menurun, yang berarti banyak barang buatan Tiongkok yang tidak 
bisa dikirim secara besar-besaran ke sana. Kita, setidaknya, masih bisa 
menanam jagung.(*)

.
 
<http://geo.yahoo.com/serv?s=97359714/grpId=3438497/grpspId=1705043695/m
sgId=66915/stime=1223551494/nc1=3848641/nc2=3848583/nc3=5349280> 
 

<<winmail.dat>>


--- End Message ---
This e-mail is confidential and may contain legally privileged information. If 
you are not the intended recipient, you should not copy, distribute, disclose 
or use the information it contains. Please e-mail the sender immediately and 
delete this message from your system. E-mails are susceptible to corruption, 
interception and unauthorized amendment; we do not accept liability for any 
such changes, or for their consequences. You should be aware, that PT TITAN 
Petrokimia Nusantara might monitor your e-mails and their content.

Kirim email ke