Edi Hudiata HMT 

"Agar Hidup Lebih Bermakna"

visit me at:
http://edihudiata.multiply.com
http://edihudiata.wordpress.com

--- On Mon, 11/3/08, setyanto <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
From: setyanto <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [anggotaicmi] FW: [forkit]  Gejalah di UIN Jakarta
To: [EMAIL PROTECTED]
Date: Monday, November 3, 2008, 9:28 AM










    
            







Yth Pak Azyumardi & Pak Komaruddin : 

   

Apakah informasi ini
benar ? Terimakasih. 

   

setyanto ps 

+++ 

   

   









From:
[EMAIL PROTECTED] com [mailto:forkit@ yahoogroups. com] On Behalf Of doel dull

Sent: Monday, November 03, 2008
6:36 PM

To: FORKIT; farinia fianto;
Marutomo Vidi Hanggito

Subject: [forkit] Fw: [INSISTS]
Gejalah di UIN Jakarta 



   











   



----- Forwarded Message ----

From: zainuri h. ibrahim ibrahim
<[EMAIL PROTECTED] com>

To: abdullah millenia
<abdullah_millenia@ yahoo.com>

Sent: Monday, November 3, 2008
12:55:08 PM

Subject: FW: [INSISTS] Gejalah di
UIN Jakarta



 







To: [EMAIL PROTECTED] ps.com

From: akbar_jatim@ yahoo.com

Date: Mon, 3 Nov 2008 16:30:42 +0800

Subject: [INSISTS] Gejalah di UIN Jakarta 

















·                                
Gejala Bahaya Laten Neo Komunisme
di UIN



MIRZAH Abdul Aziz mahasiswi jurusan pemikiran politik Islam di Pascasarjana UIN
(Universitas Islam Negeri, dahulu IAIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta , 
mengungkapkan sebuah fenomena baru
di UIN yang membuatnya trenyuh.

Sebelum menempuh pendidikan di pascasarjana UIN, Mirzah adalah lulusan S1 pada
program studi Arab FIB Universitas Indonesia . Fenomena yang
dimaksudnya itu, berhubungan dengan masalah penulisan dalam sebuah karya
ilmiah. Misalnya, para mahasiswa pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
tidak diperkenankan menulis kata Allah dengan lanjutan SWT (subhanahu wa
ta’ala); tidak boleh menulis kata Muhammad dengan diakhiri SAW (shallallahu
‘alaihi wa sallam); tidak boleh menulis Muhammad dengan sebutan Nabi.

Pelarangan itu menurut Prof  Dr Suwito yang sehari-hari mengurus kampus
pascasarjana UIN, karena yang menganggap Muhammad sebagai Nabi hanya orang
Islam, sedangkan non-muslim tidak menganggap Muhammad Nabi. Begitu juga dengan
Allah, yang mengakui Allah itu subhanahu wa ta’ala  hanya orang Islam,
sedangkan mereka yang bukan Islam, tidak demikian.

 Menurut Mirzah pula, dalam sebuah karya ilmiah di Pascasarjana UIN tidak
boleh ada kalimat-kalimat Islam sebagai agama yang sempurna atau Islam sebagai
agama yang haq, dan kalimat-kalimat sejenis itu. Jika kalimat seperti itu
ditemukan di dalam karya ilmiah (makalah, tesis atau disertasi), maka akan
langsung dicoret! Mirzah sang mahasiswi pascasarjana UIN ini, sangat
menyayangkan adanya aturan seperti itu. Apalagi, sepertinya Islam tidak
dihargai, namun sebaliknya, pandangan orang-orang kafir menjadi lebih
dimuliakan dan dihargai.

Berbagai pertanyaan berkecamuk di dalam benak Mirzah akibat adanya ketentuan
yang tidak lazim tersebut: “… mengapa sebuah universitas Islam yang terkenal
menjadi anti-pati terhadap penulisan-penulisan seperti itu? Seolah penulisan
seperti itu adalah hal yang memalukan dan aib di hadapan warga dunia. Sejak
kapan pelarangan tersebut menjadi peraturan? Apakah ada aturan resminya? Atau
ada SK Rektor atau dari Depag (Departemen Agama) ada instruksi demikian? UIN
memang memiliki cita-cita besar untuk menjadi universitas internasional, dan
saya acungi jempol akan mimpi tersebut. UIN memang ingin karya-karyanya
diterima oleh masyarakat dunia, saya tidak menolak harapan tersebut. Tapi kita
tidak bisa meninggalkan identitas sebagai Universitas Islam.” Begitu tulis
Mirzah dalam satu situs.



Aneh atau ada maksud tertentu?



Memang terkesan aneh. Bukan sekedar aneh, tetapi ada muatan inferiority complex
(minder). Atau, memang disengaja, untuk maksud-maksud tertentu?

Logika Dr Suwito di UIN Jakarta 
itu jika diimplementasikan untuk kehidupan sehari-hari akan terlihat
kebodohannya. Misalnya, Si Pitung itu, bagi orang Indonesia khususnya masyarakat
Betawi, adalah pahlawan. Tapi bagi orang Belanda, si Pitung adalah pemberontak.
Nah, dalam rangka menjaga perasaan orang Belanda yang menganggap si Pitung
bukan pahlawan tetapi justru pemberontak, maka masyarakat Indonesia terutama
yang sedang menulis karya ilmiah, tidak boleh menyebut si Pitung dengan julukan
pahlawan.

Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu menjadi Presiden 
 RI karena dipilih oleh 60% rakyat Indonesia yang
mengikuti pemilu. Sedangkan 40% lainnya tidak memilih SBY. Masih ada lagi
kalangan yang bersikap abstein, meski punya hak suara namun tidak menggunakan
haknya, sehingga mereka tidak termasuk kalangan yang memilih SBY sebagai
presiden. Nah, dalam rangka menjaga perasaan kalangan yang tidak memilih SBY
sebagai Presiden, maka tidak boleh di dalam setiap karya ilmiah menyebut SBY
dengan diawali “Presiden”. Bahkan, tidak boleh mengawali nama SBY dengan
sebutan “Bapak” karena yang menganggap SBY sebagai bapak khan hanya anak-anaknya
SBY saja.

Adanya ketentuan tidak tertulis seperti di atas, yang oleh Mirzah disebut
sebagai fenomena terbaru di lingkungan UIN yang membuatnya trenyuh dan
keheranan, sangat bisa ditafsirkan, bahwa Dr Suwito sedang melakukan satu
tahapan cuci otak (brain washing), agar kemuliaan Allah SWT dan Nabi Muhammad
SAW tidak lagi bersemayam di dalam benak mahasiswa UIN. Hal ini boleh jadi
merupakan salah satu upaya merelatifkan keberadaan Allah SWT. Ini jelas-jelas
merupakan upaya penganut neo-komunisme agar mahasiswa-mahasiswi UIN lambat-laun
memposisikan Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW sebatas sebuah fenomena
sosiopsikologis. Padahal, Dia sendiri yang menyebut dirinya Allah.

Anjuran Dr Suwito itu ternyata juga sudah disosialisasikan oleh sejumlah orang
penganut neo komunisme, sebagaimana bisa ditemukan pada milis faithfreedom.
Pada edisi 05 September 2008, salah seorang anggota milis tersebut mengirimkan
opininya bertajuk “Allah atau Tuhan?” Selengkapnya demikian:



ALLAH ATAU TUHAN?



  Ada 
“sesuatu” yang maha berkuasa di jagat raya ini. “Sesuatu” itu menciptakan dan
mengatur tatanan seisi alam semesta. “Sesuatu” itu adalah sumber kehidupan
sekaligus penentu kematian. “Sesuatu” itu tidak terlihat, tetapi keberadaannya
sangat nyata.

“Sesuatu” itu dibahasakan oleh orang Arab sebagai “Allah”. Orang-orang yang
berbahasa Inggris mengatakannya “God”. Dalam bahasa Indonesia ia disebut 
“Tuhan”.
Ribuan bahasa lain di dunia ini mempunyai kosa katanya masing-masing untuk
menyebut “sesuatu” itu.

Sebutan “Allah”, selain digunakan oleh orang Arab, juga digunakan oleh umat
Islam di berbagai negara non-Arab termasuk Indonesia .

Penyebutan “Allah” oleh masyarakat Islam di Indonesia adalah hasil penyerapan
istilah-istilah Arab yang masuk seiring dengan datangnya ajaran Islam ke
Nusantara. Karena sebutan “Allah” itu awal datangnya melekat pada agama Islam,
selanjutnya orang-orang Islam mengidentikkan sebutan “Allah” itu dengan
identitas keislaman mereka. Nah, dari sini lah kemudian akan muncul bahaya.

Orang Arab, apapun agamanya, menyebut “Allah” untuk memaksudkan “Tuhan”. Ada 
pula istilah “ilah”
yang bisa dimaknai sebagai apapun (termasuk patung berhala, pemimpin/ulama,
keinginan) yang dipertuhankan. Tetapi untuk menyebut “sesuatu” yang serba maha
itu (Tuhan), tidak ada kosa kata bahasa Arab selain “Allah”.

Sebutan “Allah” di benak orang Arab, sama dengan sebutan “Tuhan” di benak orang
 Indonesia .
Sifatnya netral, dan tidak terkait dengan agama apapun. Kita bisa membaca di
dalam Quran ayat 9:30 dan 8:32 penggunaan sebutan “Allah” oleh kaum Yahudi,
kaum Nasrani, maupun oleh kaum yang ingkar (kafir).

Lain di Arab, lain pula di sini. Di Indonesia, dan di negara-negara lain yang
tidak berbahasa Arab, umat Islam menyebut “Allah” untuk memberi kesan eksklusif
sebagai “Tuhannya orang Islam”.

Adanya peng-eksklusif- an sebutan “Allah” ini dapat dilihat dari perilaku umat.
Umat Islam lebih memilih untuk menyebut “Allah” daripada “Tuhan”. Seakan-akan
sebutan “Allah” itu memiliki keterkaitan yang tak terpisahkan dengan keislaman.
Sebaliknya, sebutan “Tuhan” dirasa sebagai sesuatu yang kurang “islami”.

Selain itu, umat Islam merasa perlu melekatkan gelar “SWT” untuk membedakan
“Allah” yang mereka sebut dengan “Allah” yang orang Nasrani sebut. Sejatinya,
SWT (Subhanahu Wa Ta’ala) adalah sebuah sanjungan yang artinya “Tersanjung dan
Tinggilah Dia”. Namun kemudian sanjungan tersebut mengkristal menjadi “nama
belakang” yang digunakan untuk menandakan “Allahnya orang Islam”.

Upaya pembedaan lainnya –yang tampak dipaksakan– adalah dengan memodifikasi
tulisan “Allah” menjadi “Alloh” (dengan “o”). Mereka ingin menegaskan bahwa
yang mereka tulis itu dibaca dengan “L” tebal, bukan dengan “L” tipis seperti
pengucapan orang Nasrani. Kami katakan ini sebagai upaya yang dipaksakan karena
aksen Arab sendiri lebih condong kepada bunyi “Allah”, bukan “Alloh”.



Dengan mempersepsi “Allah” sebagai “Tuhannya orang Islam” –yang tampak dari
berbagai upaya pengeksklusifan di atas,– sebenarnya umat sudah terjebak pada
kerangka berpikir yang sangat berbahaya.



Jika umat mengakui ada “Tuhannya orang Islam”, pasti sebaliknya diakui pula ada
“Tuhannya orang non-Islam”. Dengan kata lain, terbentuk anggapan bahwa Tuhan
itu ada lebih dari satu! Kerangka berpikir yang demikian telah menyalahi
prinsip ketauhidan bahwa Tuhan itu Esa.

Ketahuilah bahwa yang menetapkan shalat dan ibadah-ibadah lainnya atas kita
adalah Tuhan. Yang menurunkan kitab suci, nabi-nabi, dan mengutus para rasul
adalah Tuhan. Yang memberi rezeki dan jodoh kepada kita maupun kepada rekan
kita yang berlainan agama adalah Tuhan. Hanya ada satu Tuhan. Tidak pernah ada
yang namanya “Tuhannya orang Islam”.

Racun pikiran yang lahir dari penggunaan sebutan “Allah” ini memang sangat
halus, namun dampaknya sangat fatal. Semua itu berawal dari penggunaan bahasa
Arab yang ditautkan dengan keyakinan.

Krena itu, mari kita sudahi penggunaan sebutan “Allah”, dan menggantinya dengan
sebutan “Tuhan”. Dengan langsung menggunakan bahasa sendiri, kita akan
terhindar dari salah persepsi yang membahayakan ketauhidan.

Itulah pemberedelan lafal Allah dari orang yang kacau pikirannya. Padahal Allah
sendiri yang menamakan diriNya Allah. Dalam Al-Qur’an Surat Thaha: 14, Allah
berfirman,” Sesungguhnya Aku Ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak)
selain aku, Maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat
Aku.Segungguhnya hari kiamat itu akan datang Aku merahasiakan (waktunya) agar
supaya tiap-tiap diri itu dibalas dengan apa yang ia usahakan. (QS Thaha: 14,
15).



Mengingkari Allah, doktrin neo komunisme



Semangat tulisan di atas sangat jelas, menafikan Allah, mengingkari Allah. Ini
jelas-jelas doktrin neo komunisme, yang dibungkus dengan gagasan pluralisme dan
sebagainya. Bahaya laten seperti ini sudah seharusnya disikapi dengan tegas
oleh pemerintah dan aparat keamanan.

 Para penganut neo komunisme ini, untuk
menanamkan doktrinnya mengawali upayanya dengan gerakan pemurtadan, dengan
menjual slogan pluralisme dan sebagainya. Bahkan mereka tidak sungkan-sungkan
menuduh umat Islam sebagai biang kerok konflik horizontal, akibat pemahaman
yang tekstual dan jumud. Padahal, sumber konflik horizontal adalah karena
semakin leluasanya para penganut neo komunisme berkiprah di ranah politik
nasional.

Di masa Orde Baru, penganut komunis sama sekali tidak bisa berkiprah di ranah
politik, tidak bisa menjadi anggota parpol, dan sebagainya. Kini, mereka
leluasa masuk ke berbagai parpol seperti PDI-P, Golkar dan sebagainya. Bagi
komunisme, merebut kekuasaan adalah salah satu pokok ajaran yang wajib
dilaksanakan. Maka, mereka berusaha merebut kekuasaan dari tingkat yang paling
rendah melalui berbagai pilkada. Hasilnya, berbagai pilkada selalu diwarnai
kericuhan.

Gagasan mengganti Allah dengan Tuhan, sudah pernah dijajakan Dr Nurcholish
Madjid (salah seorang alumni IAIN –Institut Agama Islam Negeri). Gagasan itu
ditawarkannya pada tahun 1985, dengan alasan agar Islam terkesan lebih
mempribumi. Rupanya, tawaran itu masih terus dihidup-hidupkan oleh Dr Suwito
dan organisme yang lebih muda darinya.

Kalau toh gagasan itu tidak berhasil diimplementasikan, setidaknya sudah 
berhasil
menyulut kemarahan kalangan Islam. Yang penting potensi konflik terus
diproduksi. Pelarangan Suwito di atas juga bisa dimasukkan ke dalam ‘strategi’
seperti ini. Begitulah watak penganut komunis. Konflik harus terus diciptakan,
sehingga terjadi instabilitas politik. Bila terjadi instabilitas politik dalam
jangka waktu cukup panjang, akan menjadi momentum yang kondusif untuk merebut
kekuasaan.



Aneh dan menghinakan Islam

Gagasan-gagasan aneh yang diproduksi petinggi dan mahasiswa IAIN-UIN tidak bisa
hanya dipandang sebelah mata oleh aparat keamanan. Karena itu merupakan
indikasi adanya penyelundupan doktrin komunisme ke dalam Universitas Islam
Negeri. Orang-orang seperti Suwito, Kautsar Azhari Noer, atau Azyumardi Azra
harus diwaspadai. Jangan justru diberi kursi mulia sebagai Rektor, 
Direktur Sekolah Pascasarjana UIN, atau Penasihat Presiden.

Jangan lupa, sebelumnya dari UIN (IAIN) pernah lahir seruan untuk “bertakbir”
dengan lafaz anjinghu akbar. Dan itu dibela oleh dekan fakultas Ushuluddin IAIN
–kini UIN Bandung, dan Abdul Moqsith Ghazali dari UIN Jakarta . Dari kawasan 
ini juga pernah lahir
pernyataan “kawasan bebas tuhan” dan “tuhan telah mati” yang dibidani para
mahasiswanya. Selain itu, pernah ada dosen UIN yang berpendirian, karena
Al-Qur’an secara fisik adalah makhluk, maka tidak apa-apa bila diinjak-injak.
Begitu juga dengan lafaz Allah yang ditulisnya sendiri di atas secarik kertas,
kemudian diinjak-injaknya sendiri di hadapan sejumlah mahasiswanya, bukanlah
tindakan yang menistakan Allah SWT. Begitu pendirian sang dosen IAIN-UIN.

Secara fisik, kertas yang bertulisan Al-Qur’an memang makhluk. Begitu juga
dengan secarik kertas yang ditulisi lafaz Allah, adalah makhluk. Tetapi
Al-qur’an itu sendiri adalah Kalamullah, bukan makhluq. Dan siapa yang 
menyatakan
bahwa Al-Qur’an Kalamullah itu makhluq, maka jelas keluar dari aqidah Ahlus
Sunnah alias keluar dari keyakinan yang benar.

Yang tidak sampai menyangkut aqidah saja, coba kita bandingkan dengan bendera
partai, misalnya PDI-P dan gambar Megawati pimpinan PDI-P, adalah jelas-jelas
makhluk. Lha, kalau memang demikian, berani nggak sang dosen menginjak-injak
bendera PDI-P dan gambar Megawati di hadapan massa PDI-P?

Dari contoh-contoh di atas, nampaknya bahaya laten neo komunisme sudah tidak
laten lagi, tetapi sudah muncul dengan jubah pluralisme dan sebagainya.
Ciri-cirinya sudah jelas, yaitu anti Tuhan, anti Agama, kalau toh berbicara
soal agama tujuannya untuk membuat orang ragu-ragu, atau justru menafikannya.
Karena neo kumunis jelas anti agama, maka tindakan mengkritisi agama sendiri
adalah puncak keimanan dan ketauhidan yang tertinggi. Begitu pemahaman dan
doktrin penganut neo komunisme. Padahal sebenarnya justru puncak penodaan
terhadap keimanan dan ketauhidan yang tertinggi.  

Fakta-fakta ini jelas memilukan. Lebih memilukan lagi, karena gejala-gejalanya
marak justru di Universitas Islam Negeri alias IAIN, yang seharusnya menjadi
pusat melawan komunisme gaya 
baru. (haji/ tede).



Sumber: www.nahimunkar. com



____________ _________ _________ _________ _________ _________ _



 













        
        


      

    
    
        
         
        
        








        


        
        


      

Kirim email ke