--- On Tue, 11/11/08, Sirikit Syah <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
From: Sirikit Syah <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [NaratamaTV] Journalism of Attachment
To: [EMAIL PROTECTED]
Cc: [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED]
Date: Tuesday, November 11, 2008, 2:29 PM










    
            Salam,



Lebih dari sebulan yang lalu, Arya Gunawan menulis email panjang berkaitan 
dengan perdebatan tentang saya menjadi saksi ahli di kasus Tempo vs Asian Agri. 
Salah satu bagian dari email itu, cukup panjang, mengingatkan perdebatan kami 
bertahun-tahun sebelumnya tentang aliran jurnalisme. Intinya: Arya menuduh saya 
menganggap Robert Fisk-lah pencetus Journalism of Attachment (dari bacaannya 
atas kolom saya Immerssion Journalism). Padahal di tulisan itu saya menulis 
"Robert Fisk yang menerapkan Journalism of Attachment ....." (bukan yang 
mencetuskan) .

Lagipula, perdebatan kami bukan tentang "siapa pencetus journalism of 
attachment", melainkan tentang "teknik/approach journalism vs ideology dari 
content". Tentang ini akan saya posting belakangan.



Di bawah ini tulisan saya tentang Journalism of Attachment tahun 2005 (sudah 
dimuat di kolom saya di Surabaya Post), yang membuktikan bahwa saya tidak 
pernah menyebut Robert Fisk sebagai pencetus journalism of attachment. Tulisan 
lain yang membuat Arya menyimpulkan demikian (Kolom berjudul "Immerssion 
Journalism") saya posting sesudah ini.



In Harm's Way, buku Martin Bell, adalah pegangan saya ketika berkuliah di 
Westminster, London. Uraian panjang lebar Arya tentang Martin Bell itu seluruh 
isinya benar belaka, hanya salah di satu point: dia salah ketika menyalahkan 
saya.



Tulisan ini saya CC ke milis jurnalis/media yang lain dengan harapan semoga ada 
manfaatnya.



Jurnalisme Perasaan



Seorang anak kurus kering di Sudan jatuh tertelungkup dalam perjalanan menuju 
posko bantuan pangan. Negara itu, tahun 1993, dilanda bencana kekeringan dan 
kelaparan. Di dekat anak yang jatuh tak berdaya tadi, seekor vulture (burung 
pemakan bangkai) menunggu kematian sang anak. Bakal santapan yang lezat. Sebuah 
foto jurnalistik yang hebat.



Benar juga. Tahun 1994, foto yang dimuat di harian the New York Times itu 
memenangkan Pulitzer Prize, sebuah hadiah bergengsi, untuk foto jurnalistik. 
Namun tak ada yang menduga bahwa Kevin Carter, sang fotografer, mengalami 
depresi berat karena foto itu dan karena pekerjaannya meliput begitu banyak 
penderitaan di Afrika. Fotografer Reuters dan Sygma Photos ini berkata pada 
teman-temannya, dia merasa berdosa telah meninggalkan anak kecil itu.



Foto itu dipuji-puji, tetapi Kevin Carter mendapat kecaman dari banyak 
kalangan. Dua bulan kemudian, dia ditemukan mati bunuh diri di tempat tugasnya, 
Johannesburg, Afrika Selatan. Dalam surat yang ditinggalkannya, dia mengaku 
mengalami penderitaan batin akibat terlalu mementingkan pekerjaannya 
dibandingkan kewajiban kemanusiaan. Yang menarik, anak kecil yang 
‘ditinggalkan’ Kevin Carter itu sama sekali tidak menjadi santapan vulture. Dia 
ditemukan dalam kekadaan baik di sebuah kamp pengungsian.



Itu sebuah kisah ekstrim dari jurnalis yang melibatkan perasaannya. Dia merasa 
‘bukan manusia yang baik’, meskipun dia terbukti dan diakui sebagai ‘jurnalis 
yang hebat’. 



Di kelas-kelas jurnalistik selalu ditanyakan dan diajarkan, bahwa wartawan 
tidak boleh memasukkan opininya dalam karyanya. Fakta dan opini harus 
dibedakan. Namun, tak banyak yang mempersoalkan, “Bagaimana kalau wartawan 
melibatkan perasaannya? Bolehkah?” Tahun 90-an, ketika SCTV masih berpusat di 
Surabaya dan berita Seputar Indonesia di SCTV-RCTI antara lain diproduksi di 
Surabaya, seorang kameraman yang cukup gagah saya dapati mengusap airmata 
ketika mengedit gambar.

“Kasihan, Mbak. Nggak tega ...” katanya, agak malu. Laki-laki, wartawan pula, 
menangis. Suatu hal yang dianggap tidak lazim.



Tapi sejak Martin Bell, wartawan BBC, menularkan apa yang kini dikenal sebagai 
‘journalism of attachment’ (saya terjemahkan menjadi ‘jurnalisme perasaan’), 
hal seperti itu mulai ditolerir. Setelah meliput belasan perang, di antaranya 
di Bosnia, Perang Teluk, dan Israel-Palestina, Martin Bell sampai pada 
kesimpulan bahwa ‘mustahil’ wartawan tidak melibatkan perasaan dalam melakukan 
liputan. Dalam bukunya In Harm’s Way, ada sebuah kisah yang memiriskan hati. 
Seorang wartawan asing di Sarajevo berniat membuat laporan tentang profil 
‘snipper’. Tak penting benar ‘snipper’ pihak mana yang dia ikuti, karena kedua 
belah pihak sama-sama memiliki ‘snipper’. Sang ‘snipper’ dan sang wartawan 
tengah mengintai dari balik lobang dinding, ketika dua orang berjalan melewati 
persembunyian mereka.

“Apa yang Anda lihat?” tanya ‘snipper’ pada wartawan.

“Dua orang lewat.”

“Silakan Anda pilih mana yang harus saya tembak.”

Wartawan itu terkejut, tapi terlambat, dia tengah berada di sebuah wilayah yang 
bukan saja secara fisik berbahaya, tetapi secara moral juga. Dia menolak 
memilih. Lalu terdengar dua tembakan, dan dua pejalan kaki itu tewas diterjang 
peluru ‘snipper’.

“Sayang Anda tak menggunakan hak pilih Anda. Terpaksa saya tembak dua-duanya. 
Mestinya kan bisa selamat satu orang,” kata sang ‘snipper’ enteng.



Praktik ‘journalism of attachment’ banyak saya temui pada pemberitaan BBC dan 
The Guardian. Ketika saya mengkonsumsi berita BBC dan The Guardian selama tahun 
2001-2002 tinggal di London, saya menengarai liputan-liputan dan 
laporan-laporan yang bernada subyektif, one-sided, jelas-jelas memihak. Laporan 
BBC tentang konflik Israel-Palestina, misalnya, banyak diwarnai penderitaan 
rakyat Palestina dan kebrutalan tentara Israel. Sebagai penyeimbang, tentu ada 
satu dua narasumber dari Militer Israel, namun narasi dan visual didominasi 
pemihakan pada rakyat Palestina. The Guardian juga kerap memuat laporan 
mendalam (in-depth reporting) serta artikel opini dari para wartawan di 
Palestina yang jelas-jelas memihak pada perjuangan rakyat Palestina. Robert 
Fisk, salah satu wartawan Inggris yang kerap menulis dengan gaya ‘journalism of 
attachment’ mengatakan, “Kita memang harus memihak. Pada kebenaran, pada hati 
nurani.” Agaknya, dalam beberapa situasi,

 obyektivitas dan keseimbangan tidak sebanding, bahkan jauh, dari fairness 
(rasa keadilan), sehingga sekelompok wartawan –kebanyakan dari Inggris dan 
Eropah pada dekade ini- memutuskan untuk mengesampingkan dua standar utama 
jurnalistik itu (obyektivitas dan keseimbangan/ balance), dan mengutamakan hal 
yang dianggap lebih penting: rasa keadilan.



Di Indonesia, liputan musibah Aceh mulai menampakkan keterlibatan perasaan para 
wartawan. Beberapa reporter dan presenter televisi menampakkan wajah sedih, 
bahkan tak segan-segan menangis, sambil melaporkan berita. Hal yang tak 
terpikirkan 10 tahun lalu, saat semua reporter dan presenter diajari: jangan 
melibatkan emosi. Jangan menaikkan alis, tanda meragukan teks yang dibaca, atau 
tersenyum sinis, tanda meremehkan berita yang baru disajikan. Jangan pernah 
tertawa dalam melaporkan berita lucu, atau menunjukkan wajah sedih ketika 
melaporkan berita duka. Itu dulu. Sekarang, para presenter bergurau 
mengomentari berita yang baru disajikan, atau meneteskan airmata dan bersuara 
terbata-bata.



Sebuah liputan televisi tentang anak-anak sekolah tawuran di Semarang, 
dipertanyakan: ‘Apakah ini ‘journalism of attachment’?’ Seorang kameraman yang 
melihat anak-anak berseragam itu akan melarikan diri, ikut-ikutan menangkap 
anak yang lari, bahkan ikut menendangnya. Perilaku kameraman tersebut 
tertangkap kameraman televisi lain, dan ditayangkan. Memang gemes juga melihat 
anak-anak sekolah tawuran dan setelah memukuli lawan, hendak melarikan diri. 
Tapi, apakah sejauh itu praktik ‘journalism of attachment’? 



Seorang jurnalis televisi yang lain, di Aceh, berkata kepada komandan TNI yang 
menangani ‘orang yang diduga GAM’ yang belum mengaku juga:

“Tembak saja, Pak, kalau nggak mau ngaku!”

Beberapa jurnalis lain yang menjadi saksi mengatakan, jurnalis perempuan itu 
‘capek’ menunggu ‘visual’ dan sangat memerlukan action yang bisa menjadi berita 
hebat. Sayang, skandal itu tidak cukup lama menjadi perdebatan di kalangan 
praktisi jurnalis; dan karena sesama media massa tidak akan mengungkap 
kejelekan rekannya (solidaritas keliru?), kasus itu tenggelam bersama waktu. 

Inikah ‘Journalism of attachment’, atau ‘Journalism without attachment’ (tak 
berperasaan) ?



Surabaya Post, 2005




      

    
    
        
         
        
        








        


        
        


      

Kirim email ke