dear bontjees, bisa nggak mereka yang mengorganisir pemberontkan petani banten pada abad xix jadi pahlawan, atau mereka yang melakukan pemberontakan pada tahun 1926-27 dan dibuang ke digul? hhd. (kalou suharto kan layak dokap, mumpung bisa dijual buat nyari fresh money). --- On Sun, 11/16/08, Boni Triyana <[EMAIL PROTECTED]> wrote: From: Boni Triyana <[EMAIL PROTECTED]> Subject: Re: [WongBanten] Soeharto Pahlawan? To: WongBanten@yahoogroups.com Date: Sunday, November 16, 2008, 9:42 PM
Tata yang baik, Betul kata Anda. Ada banyak tokoh Islam yang gigih melawan penjajah. KH Noer Ali dari Bekasi pun sudah diangkat sebagai pahlawan tahun lalu. Kalau Kyai Imam Zarkasyi, tentulah harus didorong supaya dia diangkat jadi pahlawan. Saya "samar-samar" tahu soal sepak terjang dia dalam bidang pendidikan. Sebetulnya ada satu nama lagi yang saya calonkan, yakni Mas Marco Kartodikromo. Hanya saja saya akan menulisnya tersendiri dalam satu artikel. Soal Soeharto?? Ya begitulah bangsa kita... Tabik, Bonnie Triyana --- On Mon, 17/11/08, tata septayuda <[EMAIL PROTECTED] co.uk> wrote: From: tata septayuda <[EMAIL PROTECTED] co.uk> Subject: Re: [WongBanten] Soeharto Pahlawan? To: [EMAIL PROTECTED] ups.com Date: Monday, 17 November, 2008, 12:31 PM Salam Bung Bonnie, Saya tertarik dengan ungkapan Anda, “Pahlawan mendatang.” Kalau lah boleh pemberian gelar pahlawan disematkan pada mereka yang tidak berjuang pd periode revolusi kemerdekaan, saya ingin menyebut satu nama : KH Imam Zarkasyi (1910-1985), pendiri Pondok Modern Gontor, Ponorogo, Jatim. Maaf, penyebutan dia sebagai tokoh Islam, jangan dianggap bagian dari islamophobia. Semasa hidup, dia memang tidak bersentuhan langsung secara fisik dengan penjajah negeri. Hanya beberapa kali ia aktif sebagai tentara ‘swasta’. Ia lebih banyak mengurus pendidikan pesantren Gontor, yang sejak didirikan tahun 1926 sudah mulai diintervensi oleh Asing. Imam Zarkasyi tetap berjuang mempertahankan negeri, menyelamatkan anak bangsa lewat jalur pendidikan. Kabarnya, PAGON (persatuan alumni Gontor) di Jakarta, sudah menyiapkan tim pengusul Imam Zarkasyi sebagai pahlawan nasional bidang pendidikan. Tim ini mengusulkannya sejak Oktober 2008 lalu dan kini sedang menunggu jawaban Depsos. Pertimbangan PAGON mengususlkan Imam Zarkasyi antara lain: eksistensi Pondok Modern Gontor yang reputasinya di bidang pendidikan diakui secara nasional dan internasional. Kedua, anak didik Imam Zarkasyi yang mulai merambah wilayah publik dengan menduduki pos-pos penting negeri ini, ormas maupun pemerintahan, model Maftuh Basuni, Hidayat Nurwahid, Hasyim Muzadi, Din Syamsuddin, (Alm) Nurcholis Madjid, Abu Bakar Basyir, Emha Ainun Najib, ada juga petinggi GAM yang tobat. Di tingkat daerah dapat disebutkan beberapa santrinya merambah wilayah publik seperti Sadeli Karim Wakil Ketua DPRD Banten, Laode Asroruddin Taufiq, dan Nirwan Nazaruddin masing-masing anggota DPRD Banten dan Suryadi ketua Pengadilan Tinggi Agama. Kabarnya acara Silatnas yg digelar 29 Nopember nanti di JCC yang dihadiri Yudhoyono, isu pengusulan pahlawan ini juga mencuat kembali. Di Lebak sendiri, ratusan kilometer dari Desa Gontor, ada sekitar 20 pesantren berbasis pendidikan modern yang kurikulumnya berafiliasi ke Gontor. Saya kira, pemerintah berhak mempertimbangkan usulan ini sungguh-sungguh. Dan, betul kata Bonnie, bahwa perjuangan mengisi kemerdekaan pun tak kalah pentingnya dengan perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Asvi Marwan Adam di Tempo Minggu pun demikian, supaya didaftar pahlawan yang tidak cuma militer. Terlebih ikut mencerdasakan kehidupan anak bangsa. Ini sekadar info, jaga-jaga Imam Zarkasyi terpilih sebagai pahlawan mendatang. tata septayuda, Wartawan Majalah Gontor --- On Mon, 17/11/08, Boni Triyana <boni_triyana@ yahoo.com> wrote: From: Boni Triyana <boni_triyana@ yahoo.com> Subject: [WongBanten] Soeharto Pahlawan? To: [EMAIL PROTECTED] ups.com, pantau-komunitas@ yahoogroups. com, [EMAIL PROTECTED] s.com Date: Monday, 17 November, 2008, 9:42 AM Koran TEMPO, 15 November 2008 Soeharto Pahlawan? Bonnie Triyana, sejarawan-cum- wartawan. Sepuluh bulan setelah Soeharto meninggal, kontroversi mengenai gelar pahlawan kembali mengemuka saat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menayangkan iklan di televisi dalam rangka Hari Pahlawan 10 November. Mengomentari hal itu, tokoh sejarah Des Alwi, yang diwawancarai oleh RRI Pro 2 FM, pada 11 November 2008 mengatakan penyebutan pahlawan untuk Soeharto dinilainya masih terlalu dini. Hal itu memang beralasan, mengingat Bung Karno digelari pahlawan 14 tahun setelah ia meninggal, sementara Bung Hatta baru lima tahun sesudah ia wafat. Seperti diberitakan di harian ini, politikus PKS, Fahri Hamzah, berpendapat Soeharto tetap pantas dihormati sebagai guru bangsa. "Dia pernah mempengaruhi hidup kita," katanya. "Nilai negatif pasti ada, tapi yang harus jadi contoh nilai yang positif." (Koran Tempo, 11 November 2008.) Sebelum PKS, Partai Golkar pernah (dan masih) getol mengajukan Soeharto untuk mendapat gelar pahlawan nasional. Pengertian pahlawan menurut Peraturan Presiden Nomor 33/1964 adalah: a) warga negara RI yang gugur dalam perjuangan membela bangsa dan negara, b) warga negara RI yang berjasa membela bangsa dan negara yang dalam riwayat hidup selanjutnya tidak ternoda oleh suatu perbuatan yang membuat cacat nilai perjuangannya. Apakah mantan presiden Soeharto memenuhi ketentuan ini? Nama Soeharto mulai populer ketika ia disebut-sebut sebagai perwira yang menginisiasi sekaligus memimpin Serangan Oemoem (SO) 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Pada 1979, untuk menunjukkan peran penting Soeharto dalam SO 1 Maret 1949 itu, dibuatlah film Janur Kuning yang disutradarai oleh Alam Rengga Surawidjaja. Film itu kemudian menjadi tontonan wajib bagi semua lapisan rakyat, tak terkecuali siswa SD. Versi sejarah Orde Baru mengenai SO 1 Maret 1949 pun ditulis dalam buku-buku sejarah yang kemudian diajarkan kepada siswa sekolah. Ketika Soeharto tak lagi menjabat presiden, muncul versi lain mengenai SO 1 Maret 1949. Dalam pleidoinya, Kolonel Abdul Latief mengatakan, pada saat serangan itu berlangsung, ia menemui Soeharto yang sedang berada di front belakang sembari menyantap soto babat. Versi resmi Orde Baru menyebutkan, Soeharto adalah penggagas tunggal SO 1 Maret 1949, sementara versi lain yang muncul kemudian menyebut nama Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai inisiator SO 1 Maret 1949. Semasa bertugas menjadi Panglima TT-IV/Diponegoro di Semarang, Soeharto ketahuan menjalankan aktivitas ekstra-militer dengan menyelundupkan gula ke Singapura untuk dibarter dengan beras. Dalam otobiografinya, Soeharto mengatakan penyelundupan itu ia lakukan untuk mengatasi kekurangan pangan di Jawa Tengah. Namun, aktivitas ekstra-militer itu menyebabkan ia diberhentikan dari jabatan panglima dan diperintahkan mengikuti pendidikan di Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (SSKAD) di Bandung. Robert Elson dalam Biografi Politik Soeharto mencatat pemberantasan korupsi di kalangan tentara tak terlepas dari peran penting Jenderal Nasution, yang membentuk Inspektorat Jenderal Angkatan Bersenjata sebagai "tangan kanannya". Pada April 1957 ia mengeluarkan perintah untuk menyelidiki tindakan korupsi di setiap komando teritorial, termasuk di antaranya TT IV pimpinan Soeharto. Atas mediasi Jenderal Gatot Subroto kepada pucuk pimpinan Angkatan Darat, Soeharto urung dipecat dari kedinasan tentara. Kariernya pun terselamatkan. Pada saat konfrontasi dengan Malaysia berlangsung, Soeharto dipercaya menjabat Wakil Panglima Komando Siaga Mandala (Kolaga). Ketika menjalankan tugas itu, ia malah memilih "jalan lain" dalam menyelesaikan konfrontasi. Ia menugasi beberapa pembantunya untuk mengadakan kontak dengan pihak Malaysia, yang kemudian menjadi langkah awal normalisasi hubungan Indonesia-Malaysia pada saat ia berkuasa. Tentu saja operasi-operasi itu dilakukan tanpa sepengetahuan Bung Karno sebagai Panglima Tertinggi ABRI. Ketika Soeharto mulai berkuasa, ia menjadikan pembangunan, stabilitas politik, dan keamanan sebagai tolok ukur keberhasilan, kendati pencapaian tersebut harus ditempuh dengan cara-cara yang mengabaikan demokrasi dan hak asasi manusia. Keberhasilan pembangunan yang dipuja-puji banyak pihak menjadi selubung penutup penderitaan rakyat di pelbagai sudut lain Indonesia. Pembangunan di masa Soeharto berkuasa bertumpu pada "bantuan lunak" lembaga donor internasional yang semakin lama semakin berlipat ganda bunganya. Ketika Soeharto berhenti pada 1998, ia meninggalkan warisan utang (pemerintah dan swasta) sebesar US$ 150 miliar. Warisan lain yang juga perlu diingat adalah korban pelanggaran kemanusiaan sejak Soeharto berkuasa (secara de facto) pada 1965, mulai dari pembantaian massal 1965-1969, pembuangan ke Pulau Buru, terlunta-luntanya nasib eksil di luar negeri, Tanjung Priok, penembakan misterius, peristiwa Lampung 27 Juli 1996, korban operasi militer di Aceh dan Papua, penculikan aktivis, dan penembakan mahasiswa Trisakti. Bahwa ada sebagian orang mengatakan Soeharto pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat, itu sah-sah saja, tapi bagaimana dengan mereka yang justru dirugikan oleh pemerintah Orde Baru? Bukankah Perpres No. 33/1964 mengatur bahwa seseorang yang membuat cacat nilai perjuangannya tak memenuhi syarat untuk jadi pahlawan? Pahlawan mendatang Pemberian gelar pahlawan kepada tokoh di republik ini selalu dikaitkan dengan perjuangan bersenjata (baca: otot). Penganugerahan gelar pahlawan pun seakan terjebak pada kepentingan politis atau malah seremonial belaka demi mengisi peringatan Hari Pahlawan 10 November tiap tahunnya. Kecuali gelar pahlawan revolusi yang diberikan kepada korban peristiwa G-30-S 1965, gelar kepahlawanan biasanya disematkan kepada mereka yang berjuang pada periode revolusi kemerdekaan dan di era kolonial Belanda. Padahal perjuangan mengisi kemerdekaan pun tak kalah pentingnya dengan perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Selain Soeharto, sebenarnya ada beberapa tokoh yang punya jasa besar kepada masyarakat namun sampai hari ini belum pernah dikaji untuk menjadi pahlawan. Sebut, misalnya, Prof Dr Sarwono Prawirohardjo, dokter ahli kebidanan generasi pertama, inisiator gerakan Keluarga Berencana sekaligus intelektual terkemuka salah satu pendiri Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (kemudian jadi LIPI). Ia juga dikenal sebagai dokter kandungan yang bertugas melayani keluarga Bung Karno. Beberapa putra-putri Bung Karno, salah satunya mantan presiden Megawati, kelahirannya ditolong oleh Sarwono. Tokoh lain yang juga tak kalah pentingnya untuk dikaji menjadi pahlawan nasional adalah Dr Soedjatmoko. Semua orang tahu bagaimana sepak terjang Koko--demikian nama panggilannya- -di dalam dunia intelektual nasional maupun internasional. Ia adalah satu-satunya orang Indonesia yang pernah menjabat Rektor Universitas PBB di Jepang. Pemikirannya merentang luas, mulai dari filsafat, sejarah, kebudayaan, sampai persoalan lingkungan hidup. Pengakuan internasional terhadap kualitas intelektualitasnya pun terbukti dari pemberian gelar doctor honoris causa oleh Cedar Crest University, AS (1969), Yale University, AS (1970), dan Universitas Kenegaraan Malaysia (1980). Romo Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, yang dikenal sebagai budayawan, arsitek, penulis, rohaniwan, aktivis, dan pembela wong cilik, juga tak kalah pentingnya untuk bisa diajukan sebagai pahlawan nasional. Pada era revolusi fisik, Romo Mangun turut berjuang mempertahankan kemerdekaan dengan bergabung sebagai prajurit TKR Batalion X Divisi III. Ia pernah ikut dalam pertempuran di Ambarawa, Magelang, dan Mranggen. Setelah Indonesia merdeka, perjuangannya pun belum selesai. Ia mencurahkan kebobrokan penguasa dan kepincangan sosial melalui novel-novelnya, salah satu yang terkenal adalah Burung-burung Manyar. Kepiawaiannya menulis sastra membuat Romo Mangun dianugerahi penghargaan Raymond Magsaysay dari Filipina. Tak berhenti di sastra, Romo Mangun juga dikenal sebagai bapak arsitektur modern Indonesia. Kepeduliannya pada wong cilik diwujudkan dengan merancang permukiman di tepi Kali Code, Yogyakarta, yang kemudian mengantarkannya mendapat Aga Khan Award, salah satu penghargaan tertinggi karya arsitektural di dunia berkembang. Ketika kasus pembangunan waduk Kedung Ombo mencuat, tanpa ragu ia turun ke bawah, bergerak bersama mahasiswa untuk membela warga Kedung Ombo yang dirugikan oleh pemerintah. Bila dibandingkan dengan Soeharto, ketiga tokoh tersebut lebih memungkinkan untuk diajukan sebagai pahlawan. Pertama, ketiga nama-nama di atas tak berpotensi menimbulkan kontroversi. Kedua, mengacu pada Peraturan Presiden No. 33/1964, baik Sarwono Prawirohardjo, Soedjatmoko, maupun Romo Mangun tak memiliki catatan perbuatan tercela yang menodai nilai perjuangannya. Bagaimana? * New Email addresses available on Yahoo! Get the Email name you've always wanted on the new @ymail and @rocketmail. Hurry before someone else does! http://mail. promotions. yahoo.com/ newdomains/ aa/ Get your new Email address! Grab the Email name you've always wanted before someone else does!