Karena Kita Bersaudara

My Diary : Minggu, 1 Februari 2009. Pkl. 22.30 WIB

By : Abdul Latief

 

Malam ini, aku tak dapat memejamkan mata, mungkin karena tadi siang aku tidur 
terlampau berlebih, maklum kemarin malam aku harus begadang untuk ikut serta 
mengisi acara Latihan Dasar Kepemimpinan Mahasiswa di Anyer. Jadi selepas 
pelatihan,  aku langsung 'balas dendam' membayar jatah tidurku yang tersita.

 

Pada pelatihan kepemimpinan yang digelar, kami menerapkan sebuah kedisiplinan, 
Kedisiplinan kami terapkan dengan membangkitkan kesadaran dan tidak identik 
dengan kekerasan dan siksaan. Kami menerapkan tentang kedisiplinan waktu, 
kekompakan tim dan konsistensi mencapai tujuan bersama dalam organisasi. Aku 
hanya ikut serta mengisi satu sesi pelatihan, namun rasa ingin tahuku dan 
kehausan untuk mempelajari hal baru membuatku menjalani dan ikut serta memantau 
materi hingga ikut bergadang mengikuti sesi demi sesi berlangsung. 

 

Malam ini, dikala mata tak kunjung terpejam, aku kembali teringat dengan ayahku 
yang mendidik dengan kedisiplinan yang tinggi. Di satu sisi, Ayahku adalah 
seorang yang penuh kelembutan, keakraban, dan kasih sayang. Bagai sisi mata 
uang, ayahku juga memiliku sisi kedisiplinan dan keteguhan dalam bersikap. 
Baginya kedisiplinan adalah bagian pelengkap dari kebijaksanaan dan kasih 
sayang. 

 

Menurut pengalaman kuliahnya di Jerman, bahwa salah satu factor penyebab 
kemajuan bangsa Jerman adalah karena disiplin tinggi yang diterapkan oleh Adolf 
Hitler. Terlepas dari kekejamannya, Hitler bagi bangsa Jerman tetap dianggap 
sebagai pahlawan yang membuat Jerman maju dan bertahan sampai sekarang. Tak ada 
manusia yang berhasil tanpa penerapan disiplin yang konsisten. Terutama dalam 
hal belajar, ketepatan waktu dan konsistensi mencapai tujuan.

 

Satu-satunya yang paling kami takuti dari penerapan disiplin dari ayahku adalah 
"Sapu Lidi". Sapu lidi bagi ayahku adalah pusaka keramat yang tak bisa lepas 
dari dirinya. Ayahku selalu menaruh sapu lidi di belakang pintu kamarnya. Sapu 
lidi itu, khusus digunakan ayahku untuk memukul kaki kami apabila malas sekolah 
atau berkelahi. Kami semua, baik perempuan maupun lak-laki pernah merasakan 
pusaka itu menghatam kaki dan paha kami hingga menggores merah disekujur kaki, 
itu semua karena kami terkadang malas bukan kepalang untuk berangkat sekolah 
atau nakal berkelahi. Saat itulah ayahku mengambil sapu lidi dan membuat kami 
tunggang langgang menghindari hantamannya. 

 

Teramat kejam ayahku? Dulu kami berpikir seperti itu, hingga tak jarang kalau 
kami akan bolos sekolah atau berbuat nakal, kami sembunyikan sapu lidinya entah 
kemana, sehingga kami bisa selamat dari sapu lidinya. Jika sudah begitu, ayahku 
tetap marah, tapi tak pernah menjewer atau memukul, apalagi menampar, HARAM 
baginya menampar atau memukul selain memakai sapu lidi. Ayahku hanya meminta 
bantuan dari mamaku untuk mencarikan sapu lidi, dan gawatnya, mamaku ternyata 
selalu antisipasi dengan sapu lidi cadangan yang entah disembunyikan di mana. 
Kompak benar mereka ya..?

 

Ternyata filosofi sapu lidi bagi ayahku sangat kuat. Selain sebagai lambang 
"bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh" sapu lidi ternyata bisa membuat 
orang jera dengan perih dan guratan di paha, namun tak akan pernah membuat 
cidera. Goretan yang berbekas di kulit kaki, akan hilang secara alamiah dalam 
hitungan hari. Karena kulit tubuh manusia berganti secara total dalam 28 hari. 
Paling-paling ayahku hanya berujar "sebentar lagi setannya pergi diusir sapu 
lidi ini..!". Berbeda halnya jika memukul dengan tangan apalagi kayu, tak 
jarang hal tersebut membuat cidera berkepanjangan. 

 

"Habis gelap terbitlah terang" setelah mengalami hukuman dari ayahku, biasanya 
mamaku akan datang menghampiri sambil ikut menangis dan membujuk dengan 
kelembutannya. Mamaku tak pernah menghalangi hukuman dari ayahku, sebab mamaku 
tahu bahwa ayahku tak pernah melampaui batas. Selepas menerima hukuman, mamaku 
hanya menaruh kepala kami di pangkuannya, sambil bersalawat, membacakan ayat 
quran atau menasihati kami yang tengah meneteskan air mata. Sungguh teduh 
rasanya mendengar ucapannya. Dibelainya rambut kami sampai tertidur di 
pangkuannya. Saat semuanya sudah reda, ayahku selalu meminta mamaku untuk masak 
makanan enak kesukaan kami atau menghadiahi coklat atau es krim.. mhmmh.. 
lezat. Mungkin itulah yang membuat kami waktu kecil selalu mengulangi kenakalan 
kami.. he. he.

 

Pernah suatu kali, selepas berkelahi hebat dengan kakakku, kami berdua 
mengalami hukuman sapu lidi dari ayahku. Seperti biasa, beberapa goretan sapu 
lidi berbekas di betis kami, namun sambil meneteskan air mata ayahku 
menghampiri kami yang tengah tidur di pangkuan mama, dan memberikan sebuah 
cerita yang sangat menggugah.

 

Ceritanya tentang dua orang bersaudara, yang bekerjasama menggarap ladang 
warisan keluarga. Si kakak, telah menikah, dan memiliki keluarga yang cukup 
besar. Sedangkan si adik masih lajang.

 

Setiap kali musim panen tiba, mereka selalu membagi hasil sama rata. Selalu 
begitu, tanpa pernah ada perselisihan sedikitpun. Keduanya saling mencintai dan 
menghargai, tak pernah berselisih tentang siapa yang bekerja lebih keras. 

 

Pada suatu ketika, si adik yang masih lajang itu berpikir, "Tidak adil jika 
kami membagi rata semua hasil yang kami peroleh. Aku masih lajang dan 
kebutuhanku hanya sedikit." Maka, demi si kakak, setiap malam, dia mengambil 
sekantung padi miliknya, dan dengan diam-diam, meletakkan kantung itu di 
lumbung milik kakaknya. Sekantung itu ia anggap cukuplah untuk mengurangi beban 
si kakak dan keluarganya.

 

Sementara itu, si kakak yang telah menikah pun merasa gelisah akan nasib 
adiknya. Ia berpikir, "Tidak adil jika kami selalu membagi rata semua hasil 
yang kami peroleh. Aku mempunyai istri dan anak-anak yang merawatku. Sedangkan 
adikku, tak punya siapa-siapa, selain aku, dan pastinya dia akan membutuhkan 
bekal untuk kelak ia menikah. Ia berhak mendapatkan hasil lebih daripada aku." 
Gumamnya.

 

Karena itu, setiap malam, secara diam-diam, ia pun mengambil sekantung padi 
dari lumbungnya, dan memasukkan ke lumbung mulik adik satu-satunya itu. Ia 
berharap, satu kantung itu dapatlah mengurangi beban adiknya, kelak.

 

Begitulah, selama bertahun-tahun kedua bersaudara itu saling menyimpan rahasia. 
Sementara padi di lumbung keduanya tak pernah berubah jumlah. Sampai suatu 
malam, keduanya bertemu, ketika sedang memindahkan sekantung beras ke 
masing-masing lumbung saudaranya.

 

Di saat itulah mereka sadar, dan saling menangis, berpelukan. Mereka tahu, 
dalam diam, ada cinta yang sangat dalam yang selama ini menjaga persaudaraan 
mereka. Ada harta  yang justru menjadi perekat cinta, bukan perusak. 
Demikianlah ayahku ingin kami saling menyayangi, karena kami bersaudara.

 

Wallahu A'lam Bish Shawab.

ABDUL LATIEF
Sales Training Instructure
Astra International,Tbk -Honda

Email    : abdul.lat...@hso.astra.co.id
HP       : 0852 166 566 32
Tlp       : (021) 653 10 250 Ext.3546
Fax      : (021) 653 10 245
Hidup sekali, hiduplah yang berarti...


The information transmitted is intended only for the person or the entity to 
which it is addressed and may contain confidential and/or privileged material. 
If you have received it by mistake please notify the sender by return e-mail 
and delete this message including any of its attachments from your system. Any 
use, review, reliance or dissemination of this message in whole or in part is 
strictly prohibited. Please note that e-mails are susceptible to change. The 
views expressed herein do not necessarily represent those of PT Astra 
International Tbk and should not be construed as the views, offers or 
acceptances of PT Astra International Tbk.

Kirim email ke