Kenapa harus Menyesal ??

My Diary : Jakarta, 2 Februari 2009.

By : Abdul Latief

 

Hari ini guratan kenangan tentang ayahku selalu menyembul dari lebirin 
kenanganku padahal sedari dulu aku selalu berusaha untuk melupakan bayangan 
tentang ayahku, karena setiap kali mengingatnya hatiku merasa sedih dan 
berjuangan melawan tetesan air mata yang berusaha mendobrak pelupuk mataku. 
"Kenapa begitu cepat kau meninggalkanku..?"

 

Setiap kali ingin melupakan, selalu saja muncul isyarat untuk kembali mengingat 
beliau. Pamanku datang ke rumah dan bercerita tentang cara ayahku mendidik 
kami, sepupuku datang bersama keluarganya untuk menunjukan pada anaknya 
bagaimana semestinya berperilaku sesuai cara ayahku mendidik kami. Atau setiap 
kali pulang ke rumah, bingkai foto di tembok rumah dan kisah kenangan yang 
dilontarkan mamaku selalu sukses menyayat gelembung kenangan yang sempat 
tersumbat rapat. 

 

Tak apalah, mungkin inilah cara Tuhan mengingatkan kami untuk tidak pernah 
mennyia-nyiakan usahanya untuk mendidik kami dan menjadikan kami sebagai 
lumbung ibadah yang mengaliri amal kebajikan di surga tempat beliau bersemayam. 
Maka, lagi-lagi aku tergelitik untuk kembali bercerita tentang kisah ayahku 
berikut ini :

 

Sepeninggalan ayahku, aku masih SMP kelas 1 saat itu. Saat itu mamaku tetap 
menjadi ibu rumah tangga sekaligus kepala keluarga. mamaku tidak bekerja, 
karena sejak menikah dulu, mamaku harus berhenti bekerja dan focus menjadi ibu 
rumah tangga, dan menunaikan amanat ayahku untuk tidak gagal mendidik anak yang 
sudah diamanatkan Allah pada mereka. 

 

Sejak dulu, tugas ayahku menafkahi dan mendidik anak, sedangkan mamaku mengurus 
keluarga. Konvensional memang pembagian peran ini, tapi lagi-lagi ayahku 
berujar "Mengurus anak adalah ibadah, mencari rizki bagian dari sarana ibadah. 
Jangan sampai bekerja menelantarkan anak, kasih sayang untuk anak tak akan 
terbeli oleh apapun, apakah harta yang melimpah dapat membeli kasih sayang 
untuk anak kita? Berapa banyak kasih sayang untuk anak yang dirampas dan 
tertukar harta yang tak lagi berguna saat di akhirat nanti..!" Mamaku tak 
pernah mengeluh dengan pembagian tugas tersebut, karena ayahku tak pernah 
bersikap semena-mena. 

 

Ayahku pandai memasak, bahkan tak jarang ayahku yang memasak dengan resep 
rahasianya. Terlebih saat mamaku sakit, ayah kamilah yang selalu memasak. Saat 
ayahku memasak, kami sekeluarga diajak untuk ikut memasak. Aku kebagian 
memotong wortel, kakakku mengupas bawang, dan kami semua mendapat tugas yang 
merata, Kompak sebagai "Super Team", setiap kali memasak, pasti kami dapat 
pembagian pekerjaan yang berubah-rubah, agar semuanya merasakan tugas yang 
berbeda, tapi tetap ada satu pembagian tugas yang menjadi favorit kami yaitu 
sebagai "Pencicip Masakan", Ha.. ha.. kata ayahku, tugas yang satu ini khusus 
sebagai hadiah bagi mereka yang paling baik di hari itu.

 

Sambil memasak, ayahku selalu berdendang sambil bercerita tentang banyak hal, 
Dongeng dan cerita-cerita teladan koleksi ayahku tak pernah habis dan selalu 
menarik untuk didengarkan. Seperti menonton cabaret atau opera yang diperankan 
oleh 'Teater Koma". Satu jam, dua jam, atau bahkan seharian memasakpun kami tak 
merasa bekerja, ayahku pandai membuat kami bekerja dalam kondisi senang sambil 
bermain. 

 

Masih dalam urusan memasak, ayahku selalu melarang ibuku menggunakan penyedap 
rasa. Karena menurutnya, kandungan penyedap rasa itu mengandung MSG - Mono 
Sodium Glutamat - yang bisa menyebabkan kanker otak jika dikonsumsi secara 
berlebihan. Cara memasak sayur agar tidak terlalu layu, menanak nasi agar 
karbohidrat tak hilang, memilih daging dan ikan segar, semua hal dikuasai dan 
diajarkan ayahku pada mamaku. Bahkan kami sekeluarga diwajibkan menguasai 
"Table Manner" karena tak jarang harus menghadiri jamuan resmi di meja makan 
bersama rekan bisnis ayahku.

 

Kepedulian ayahku pada pekerjaan rumah semakin menjadi-jadi setiap ibuku hamil 
atau kurang enak badan Mamaku selalu diperlakukan sebagai seorang permaisuri 
yang dilayani dengan "Pelayanan Ekstra" dari ayahku. Pada moment itu, seusai 
shalat subuh pukul 5 pagi, ayahku membantu mencuci piring, menyiapkan sarapan, 
mencuci baju, sampai mengkomandoi kami untuk mandi sambil asyik bermain air 
bersama beliau yang ikut basah-basahan bersama kami. Semua pekerjaan dilakukan 
sambil berdendang ceria, padahal ayahku termasuk orang sibuk dengan segala 
macam urusan pekerjaannya. "Itung-itung olahraga pagi, agar tiba di kantor 
lebih fresh." kata ayahku pada kami.

 

Ayahku orang yang dinamis dan kadang terkesan "nyeleneh". Pernah suatu saat, 
mamaku sakit, ayahku ingin sekali menyuguhkan racikan sayur bayam yang 
menurutnya "Agar mama cepat sehat dan kuat kayak Popeye..". Untuk mendapatkan 
bayam segar, ayahku sebenarnya tinggal menunggu tukang sayur langganan mamaku 
lewat di depan rumah, namun karena malas menunggu dan ingin mendapat "Sensasi 
Aroma pasar di Subuh hari" ayahku berencana pergi ke pasar dengan sepeda 
motornya.

 

Pergilah ayahku ke pasar di subuh itu. Sepulangnya dari pasar, ayahku menenteng 
dua ikat bayam segar dan beberapa bumbu dan lauk lainnya dari kantong plastic. 
Kami yang sedari tadi menunggu di halaman rumah, kontan langsung menyambut 
beliau sambil berebut ingin membantu ayah membawakan barang belanjaannya. Entah 
sudah diatur atau kebetulan, jumlah belanjaan yang dibeli ayahku sesuai dengan 
jumlah kami yang membantu, sehingga tak ada satupun dari kami yang "menganggur".

 

Akhirnya, dengan ritual yang memasak yang penuh suka cita, tersajilah sayur 
bayam racikan ayahku yang akan disuguhkan ke Mama yang tengah sakit. Sebenarnya 
mamaku ingin membantu, tapi kontan ayahku menolaknya, lagi-lagi ini adalah 
persembahan ayahku untuk Mamaku sebagai bidadari kesayangannya. - semoga aku 
dapat seromantis ayahku. he.. he.. -



"Mhmm enak Pa.. sayur bayamnya" puji mamaku.

"Siapa dulu yang masak.." seru ayahku sambil menepuk dada. Kami yang merasa 
membantu memasak kontan protes "enak aja.. kita juga kan bantuin masak.ha.. 
ha.." mamaku hanya tertawa geli sambil menyeruput sayur bayam hingga habis.

 

Selesai makan sayur bayam, tiba-tiba tukang sayur langganan lewat di depan 
rumah. "Lho Bapak emangnya beli sayur di mana? Bukannya di tukang sayur 
langganan?" Tanya mamaku.

 

"Bukan, tadi Bapak beli di Pasar Anyar, naik motor.."

 

"Berapa harga seikatnya..?" seperti kebiasaan wanita pada umumnya, mamaku 
bertanya tentang harga belanja, mungkin karena mamaku - atau wanita pada 
umumnya - pandai menawar harga.

 

"Seribu perak per-ikatan besar. Murahkah..? siapa dulu yang beli." jawab ayahku 
sambil kembali menepuk dada, bangga. 

 

"Apa? Seribu? Di si abang sayur langganan, biasanya Cuma lima ratus?, Wah si 
bapak kemahalan tuh." seru mamaku sambil memencengkan bibirnya meledek ayahku..

 

"Ha.. ha.. ha.. gak apa-apa, sekalian amal deh.. kalo gitu.."

 

"Dasar si bapak.. " mamaku tersenyum sambil berusaha bangkit untuk menyimpan 
mangkuk bekas sayur bayam, namun ayahku segera mengambilnya.

 

"Ada satu lagi Ma.." Kata ayahku.

 

"Apaan pa?" 

 

"Sim salabim. ini dia Surat Tilang..!" seru ayahku sambil menepuk dada penuh 
bangga sekali lagi.

 

"Jadi Bapak ditilang polisi juga..?"Tanya mamaku sambil mesem.

 

"Iya, tadi buru-buru ingin sampe rumah untuk masak buat mama, eh ternyata lampu 
merah keliatannya hijau. padahal di depan ada banyak polisi. Jadi nanti abis 
makan siang bapak sidang ke kantor polisi.. he.. he.."

 

"Dasar si bapak." jawab ibuku sambil tersenyum mencubit mesar ayahku.

 

Kami yang sedari tadi menemani mama makan, hanya ikut tertawa melihat tingkah 
mereka berdua yang layaknya sepasang kekasih yang sedang kasmaran. Padahal umur 
pernikahan mereka sudah 15 tahun.

 

Sambil muka berseri-seri, ternyata ayahku kembali menyelipkan senjata 
rahasianya lagi, yaitu sebuah cerita, yang seingatku sebagai berikut:

 

Suatu ketika ada seorang saudagar yang melancong untuk berbisnis di suatu kota. 
Selepas menyelesaikan urusan bisnis di suatu rumah rekanannya, dia bersiap-siap 
untuk pulang.

 

Di tengah perjalanan, ia dihampiri oleh seorang wanita dan wanita itu 
memberikan salam seraya meratap sedih kepadanya bahwa bayinya tengah mengalami 
sakit keras dan kondisinya sekarat, "Saya sudah putus asa harus bagaimana lagi, 
karena sama sekali tak punya biaya untuk berobat ke dokter" kata wanita itu 
dengan wajah memelas.

 

Saudagar itu sangat tersentuh melihat wanita malang itu dan segera mengeluarkan 
sekantong uang yang tidak sedikit untuk diberikan kepada wanita itu. "Segera 
bawa anakmu berobat dan pastikan dia benar-benar sembuh" kata saudagar itu 
dengan penuh simpatik. Wanita itu memegang erat tangan sang saudagar dan 
beberapa kali membungkuk penuh rasa terimakasih sebelum pergi meninggalkan 
saudagar yang murah hati itu.

 

Minggu berikutnya dalam suatu acara makan siang di tempat yang sama, rekan sang 
saudagar bertanya "kawanku, minggu lalu anda memberikan sekantung uang kepada 
seorang wanita?" saudagar itu mengangguk sambil meneguk makananya.

 

"Pembantu saya yang melihat anda memberikan uang kepada wanita itu mengatakan 
pada saya bahwa wanita itu telah menipumu kawan, anaknya tidak sedang sakit 
apalagi sekarat" kata orang itu menjelaskan. Kali ini sang saudagar hanya 
tediam sejenak dan bertanya serius "Sungguh? Tidak ada anak yang sekarat?".

"Benar" tegasnya. 

"Syukurlah kalau begitu, saya rasa itu adalah berita terbaik yang saya dengar 
dalam minggu ini ha.. ha." jawab sang saudagar sambil tertawa gembira.

 

Ayahku mengakhiri ceritanya sambil tertawa lepas, dan berkata "Jadi,  buat apa 
bapak sedih, kelebihan harga bayam itukan lebih berguna buat penjualnya 
ketimbang di tangan kita, dan surat tilang ini adalah pelajaran berharga yang 
tak dapat terbeli oleh apapun. ha.. ha."

 

"Dasar Bapak.. sejak dulu selalu begitu." seru ibuku sambil tertawa dan minta 
tambah semangkuk bayam lagi. - Lapar atau doyan ya.??? -  Ha.. ha..

 

Wallahu A'lam bish Shawab.



The information transmitted is intended only for the person or the entity to 
which it is addressed and may contain confidential and/or privileged material. 
If you have received it by mistake please notify the sender by return e-mail 
and delete this message including any of its attachments from your system. Any 
use, review, reliance or dissemination of this message in whole or in part is 
strictly prohibited. Please note that e-mails are susceptible to change. The 
views expressed herein do not necessarily represent those of PT Astra 
International Tbk and should not be construed as the views, offers or 
acceptances of PT Astra International Tbk.

Reply via email to