*Hukumnya ENAK..!*

My Diary: Jakarta, 6 Februari 2009.

Oleh: Abdul latief.

Beberapa tulisanku bisa dibaca di www.abdullatiefku.blogspot.com

* *



Toko yang menjual suami, baru saja dibuka di sebuah kota. Di sana, wanita
dapat memilih suami.



Di antara instruksi-instruksi yang ada di pintu masuk terdapat instruksi
yang menunjukkan bagaimana aturan main untuk masuk toko tersebut.



"Kamu hanya dapat mengunjungi toko ini SATU KALI"



Toko tersebut terdiri dari 6 lantai dimana setiap lantai akan menunjukkan
sebuah calon kelompok suami.



Semakin tinggi lantainya, semakin tinggi pula nilai lelaki tersebut.
Bagaimanapun, ini adalah semacam jebakan. Kamu dapat memilih lelaki di
lantai tertentu atau lebih memilih ke lantai berikutnya tetapi dengan syarat
tidak bisa turun ke lantai sebelumnya kecuali untuk keluar dari toko..



Lalu, seorang wanita pun pergi ke toko "suami" tersebut untuk mencari
suami..



Di lantai 1 terdapat tulisan seperti ini :

Lantai 1 : *Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan dan taat pada Tuhan
Wanita itu tersenyum, *



kemudian dia naik ke lantai selanjutnya.



Di lantai 2 terdapat tulisan seperti ini :

Lantai 2 : *Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan,dan
senang anak kecil*



Kembali wanita itu naik ke lantai selanjutnya.



Di lantai 3 terdapat tulisan seperti ini :

Lantai 3 : *Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan,senang
anak kecil dan cakep banget.*



'' Wow'', tetapi pikirannya masih penasaran dan terus naik.



Lalu sampailah wanita itu di lantai 4 dan terdapat tulisan  Lantai 4 :

*Lelaki di lantai ini yang memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan, senang anak
kecil, cakep banget dan suka membantu pekerjaan rumah. *



'*'Ya ampun !*'' Dia berseru, ''*Aku hampir tak percaya''*



Dan dia tetap melanjutkan ke lantai 5 dan terdapat tulisan seperti ini :

Lantai 5 : *Lelaki di lantai ini memiliki pekerjaan, taat pada Tuhan, senang
anak kecil,cakep banget,suka membantu pekerjaan rumah, dan memiliki rasa
romantis.*



Dia tergoda untuk berhenti tapi kemudian dia

melangkah kembali ke lantai 6 dan terdapat tulisan seperti ini :



Lantai 6 : *Anda adalah pengunjung yang ke* *4.363.012. Tidak ada lelaki di
lantai ini.Lantai ini hanya semata-mata bukti untuk Anda yang tidak pernah
puas.*



*Terima kasih telah berbelanja di toko "Suami". Hati-hati ketika keluar toko
dan semoga hari yang indah buat anda.*



Ha.. ha.. ha... Anda boleh tertawa sekali lagi.. ha.. ha.. ha.. tapi setelah
anda puas tertawa, Aku dengan penuh ketulusan harus memohon maaf jika ada
pihak yang merasa tersindir oleh anekdot di atas, terutama beberapa kaum
wanita yang merasa sensitif dengan cerita ini. Anekdot ini adalah kiriman
seorang teman ke emailku beberapa waktu yang lalu, jadi aku hanya memforward
apa adanya. Kalau Anda berniat untuk mengganti judulnya dengan "Toko Istri"
dengan tokoh utama seorang laki-lakipun silahkan saja.



Aku sudah memohon maaf, jadi sudah lega rasanya untuk masuk ke dalam inti
pembahasan kita sesungguhnya. Anekdot di atas adalah sindiran untuk kita
semua, tentang potensi tamak yang ada pada diri kita. Bisa jadi ketika baca
anekdot itu Anda akan berujar, "*Kalau aku sich pada lantai ke-3 atau ke-4
cukuplah, tak akan tamak seperti wanita itu...".* sikap seperti ini memang
sudah seharusnya, namun kalau kita dihadapkan pada situasi sesungguhnya,
apakah masih bisa melawan ketamakan kita?



Tak sedikit cerita tentang seorang yang awalnya hidup dalam kondisi
sederhana bahkan miskin, dengan seluruh jerih payah dan kerja kerasnya
mereka bertekad membuat diri mereka sukses, namun batas sukses apa yang
lantas membuatnya puas? Ukurannya sangat absurd. Bahkan bisa jadi di tengah
perjalanannya, mereka malah menggadaikan idealismenya demi mengejar
cita-cita atau ketamakannya.



Berapa banyak aktifis organisasi dan orang-orang idealis, yang ketika sudah
masuk dalam lingkaran kekuasaan malah berbalik menjadi orang yang pragmatis.
Menghalalkan yang haram atau tak peduli dengan *makruh*. Setiap perjalanan
menapaki tangga kesuksesan selalu dipenuhi aral dan rintangan. Tak selalu
tentang sebuah kesulitan, terkadang aral yang muncul berupa godaan. Godaan
klasik yang selalu abadi buat setiap manusia adalah 3TA "harTA, tahTA &
waniTA". Berapa banyak orang yang membuat gali kubur idealismenya sendiri
dengan menggadaikan harga dirinya yang tak kuat menahan godaaan 3TA.



Saya pernah iseng bertanya pada seorang dosen, "*Pak, kenapa banyak orang
yang selingkuh, korupsi, atau berbuat jahat*?". ternyata jawabannya sangat
simple "*Karena nafsu tak punya Otak..!*".



Masih jelas di benak kita berapa banyak pejabat yang korupsi, atau selingkuh
lalu mengelak dengan dalih sederhana. "*Saya sudah kaya kok.. jadi tak ada
alasan saya korupsi..?*" atau *"saya tidak mungkin selingkuh dengan wanita
seperti itu, Anda tahu kan istri saya itu sangat cantik bahkan lebih cantik
dari wanita yang Anda tuduhkan selingkuh dengan saya.*". Mendengar alasan
sederhana seperti itu, apakah lantas kita akan langsung percaya?
Lagi-lagi *Nafsu
itu tak Berotak..! *



Orang yang tenggelam dalam kubangan nafsu sebenarnya mereka telah kehilangan
akal sehatnya. Karena tak lagi dapat mampu membedakan antara kebenaran dan
kebatilan. Gawatnya lagi, mereka rela mati-matian mempertahakan kesalahannya
dan memutarbalikan fakta dengan kepentingan pribadinya. seperti halnya
cermin yang masih bersih, jika terbersit setitik noda, maka akan jelas
antara kejernihan dan noda, namun jika terlampu malas kita membersihkan
cermin, noda-noda kita tetap pertahankan berkumpul dan berkerak, maka cermin
yang bening itu menjadi barang rongsokan yang tak lagi memantulkan
kebenaran.



Seorang teman lulusan Fakultas Syariah Islam Universitas Al Azhar Mesir,
Fresh Graduate. Baru saja bergabung sebagai staf di salah satu Lembaga
Pengadilan Agama. Pada suatu kesempatan ia pernah bertanya tentang fenomena
di lembaganya dan lembaga pemerintah pada umumnya.



"*Tif, di tempatku dan dinas pemerintahan lainnya, kami sering diundang
seminar atau pelatihan, dan setiap kali pulang pelatihan kami selalu
mendapatkan amplop berisi uang. **Misalnya klo seminar sehari saja kami bisa
dapat minimal Rp.250.000,- kalau dua hari atau tiga hari tinggal dikalikan
saja. Itu hukumnya apa ya? Padahal kita ikut training atau seminar itu
memang untuk kemajuan kita sendiri, itupun ternyata banyak yang hanya ikut
absen dan terima uangnya saja, seminarnya mereka gak ikut. Dan bukankah jam
kerja yang kita pakai adalah jam kerja biasa, tak ada lembur atau apapun. Jadi
hukumnya apa ya?".* temanku bertanya dengan penuh antusias tergambar di
wajahnya sedang terjadi perang dahsyat antara idealisme dan pragmatisme.



"*hukumnya? Menurut ane Hukumnya Enak di... ha.. ha..*" jawabku ringan penuh
kepastian.



"*Lho.. ente ini gimana sich..? diajak serius malah becanda mulu.. serius
donk*.. *jadi hukumnya apa? Trus gimana di kantormu yang swasta seperti apa
tif?* " temanku terus mendesak penuh rasa gemas.



"*Ane juga serius, gak lihat apa pipi ane jadi gemuk gini gara-gara terlalu
serius memikirkan jawaban buat ente*." Jawabku sambil menggelembungkan
pipiku yang chubby menggemaskan ini.



"*begini di...*" lanjutku lagi. "*Ane bukan ahli hukum Agama, malah
sebenarnya ente sebagai pakar Hukum Agama lulusan Al Azhar Mesir lagi, ente
mestinya bisa menjawab hukum itu. Tapi satu keyakinan ane, bahwa kalau ente
bekerja di situ satu atau dua tahun saja dan terus konsisten menerima uang
seperti itu maka tak akan lagi ente mempertanyakan hukum uang itu. Bahkan
jika ada yang menganggap uang itu tidak pantas, maka dengan segala keahlian
dan kepandaian ente dalam menguasai hukum Islam, ente akan cari pembenaran
atas hukum halal dari uang itu. **Maka hukumnya tidak lagi halal atau haram
tapi wajib ente terima karena HUKUMNYA ENAK."*



Temanku hanya terpaku mendengar jawabanku tentang 'hukum enak', bibirnya
yang agak keriput menghitam dimakan usia, setengah menganga mengundang lalat
hijau singgah di bibirnya, sayang dia masih *jomblo* dan mendambakan seorang
istri yang pantas untuknya, namun aku tetap mengoceh memberikan dalih hukum
enak atas uang itu.



"*Di, tahukah ente, bahwa kami yang bekerja di swasta, khususnya kantorku,
tak pernah menerima uang seperti itu setiap kali ikut pelatihan, seminar
atau undangan lainnya. Bagi kami, hal tersebut masih di dalam jam kantor dan
ibarat berpindah tempat kerja saja. Kalaupun harus hadir di hari libur, maka
hanya diganti sesuai jam kerja yang terpakai. Bahkan kami merasa bahwa
training atau pengembangan lainnya sangat berguna buat kami pribadi, tak
dibayarpun tak masalah, kami rela hadir demi kemajuan pribadi*."



"*Tahukah juga, bahwa keuntungan perusahaan hasil kerja keras kami dan
setiap kami membuka slip gaji bulanan, di sana tertera potongan pajak yang
jumlahnya tak kecil. Bagi kami hal itu tidak masalah, asalkan lembaga negara
yang hidup dari uang pajak kami itu beberja dengan sebaik-baiknya. Tapi
nyatanya, banyak pegawai lembaga negara yang datang paling telat, pulang
paling cepat itupun kerjanya tidak berorientasi prestasi, jauh dari konsep
Service Excellent, tidak ontime, pokoknya semaunya aja..! terlepas dari
waktu kerja yang ia korupsi, menurutku hal itupun hukumnya enak..!*"



"*Masih bertanya hukumnya apa? Lagi-lagi ane Cuma bisa jawab HUKUMNYA
ENAK...!"*



"*Mungkin karena gajinya kurang besar?*" temanku masih mencari jawab dariku.



"*Di, sebut angka yang kau minta untuk membayar pegawai di kantormu..! kalau
dinaikan 100% gajinya apakah akan menghasilkan kinerja 100%? Kalau tidak,
berarti itu perkara mentalitas. Seandainya dinaikan 1000% pun gajinya tak
menjamin kinerja membaik. Bahkan diberi satu gunung emaspun tidaklah cukup
memenuhi dahaga nafsu dan mentalitas yang bobrok. Tidak semua memang, tapi
kalau atmosfer kerja di lingkunganmu buruk, maka orang yang tadinya idealis
sepertimu akan terseret juga. Anggota dewan yang digaji untuk rapat saja,
masih menagih tambahan amplop saat ada pansus, panja, dan panitia lainnya.
Bahkan tak jarang ada yang korupsi? Jadi berapa lagi uang negara yang
tersita untuk memenuhi dahaga nafsu*??". dengan sengaja aku langsung
memutuskan pembicaraan dan beralih ketopik lain. Masih tersirat rasa tak
puas di wajahnya, namun biarlah dia sendiri yang menentukan hukumnya. Bagiku
tetap HUKUMnya ENAK, enak di dunia, entahlah di akhirat kelak..!



*Semua harus berangkat dari hati tulus dan akal sehat, sebab Nafsu itu tak
Berotak..! dan nafsu tak akan pernah berhenti menggoda kita. Waspadalah..!.*

* *
*Wallahu A'lam Bish Shawab*

Kirim email ke