http://ferizalramli.wordpress.com/

Dalam getaran awal kedewasaanku. Saat aku pertama kali memasuki sebuah tempat 
dimana para akademisi Bologna, akademisi kampus tertua di dunia menyebut tempat 
itu dengan nama yang terdengar begitu feminim: "almamater". Sekelebat sillouet 
seorang gadis ayu menabrak dimensi imajinasi.

Cepat! lipatan-lipatan korteks syaraf pada memori cinta merekamnya dalam. 
Segera membawa sinyal rasa pada nurani. Dadaku bergetar. Darahku tanpa mau 
tunduk pada kontrol sadar otakku, berpacu secara deras. Aku merasa sebuah 
getaran rasa yang sulit kupahami. Inikah sayap-sayap cinta?

Aku tidak tahu. Aku bukan Jalaludin Rumi atau Gibran Khalil Gibran yang begitu 
cerdas memahami indahnya sebuah rasa. Aku juga bukan Chairil Anwar yang begitu 
brilyant mencoretkan keindahan itu dalam bait-bait rayu puisinya. Tapi aku 
berhak untuk mengatakan, paling tidak pada diriku sendiri, bahwa akupun mampu 
merasakan apa itu rasa dari sayap-sayap cinta.

Kukejar bayang itu. Aku seperti lupa dengan diriku sendiri. Seakan bayang ayu 
itu adalah eksistensiku. Mendapatkan bayang itu berarti hidupnya eksistensiku…

Prendjak nama gadis itu. Dia memang laksana Prendjak. Meloncat lincah dalam 
gemulai sayap-sayap pesonanya. Tersenyum terkulum lembut laksana gadis-gadis 
priyayi jawa dalam keanggunannya. Ekspresi wajah aristokrat, paduan kepercayaan 
diri kuat seakan dia menggenggam dunia, disertai ironi sifat kanak-kanak manja 
yang keras kepala tidak mau kalah khas gadis kesayangan putri dari keluarga 
terhormat yang dunia selalu memujanya.

Prendjak memenuhi seluruh sudut-sudut selera imajinasi khayalku. Aku kepayang 
dibuatnya. Pada pendakian Gunung Sindoro, puncak gunung yang pertama yang 
pernah kutaklukan, kupaksakan untuk kupetik bunga Edelweiss untuk kurangkai 
dengan nafas-nafas cintaku untuk kupersembahkan padanya. Edelweiss adalah abadi 
seperti cintaku pada Prendjak…

Aku begitu sulit memejamkan mataku malam sebelum pagi berganti untuk hari 
dimana Edelweiss itu akan kupersembahkan padanya. Dalam rangkaian kantuk tidur 
ayamku sebuah mimpi indah menyelinap memaksa hadirnya senyum dalam tidurku.

Prendjak datang membelai dengan guratan wajah ayunya. Membucah bahagia dalam 
impian. Kunikmati wajah ayu itu, yang dalam khayalku dia lebih cantik dari 
putri Sharazad dalam cerita 1001 malam. Lirih kubisikan kalimat cinta padanya: 
"Ich liebe dich für immer und ewig***"

Tok, tok, tok…! Terdengar keras pintu kamarku diketuk. „Ada surat dari bundamu 
nun jauh di Sumatera sana", begitu tetanggaku satu indekost acuh melemparkan 
surat padaku. "Sontoloyo!", dalam beban kantuk aku memaki dalam hati karena 
ketokan itu telah menghempaskan mimpi indahku. Malas kubuka surat itu. Mulai 
kubaca kalimat pembuka pertama khas tulisan Bunda yang penuh kasih sayang…

"…Ananda di meja belajar…"
"Sesuatu yang sulit telah terjadi pada keluarga kita. Sebuah musibah telah 
membuat semuanya berubah. Apa yang kita miliki semuanya sirna…"

Seketika aku terhenyak akan kebenaran tulisan itu. Kucoba lanjutkan membaca 
paragraf-paragraf berikutnya hinggap paragraf penutup dengan bergetar…

"…Maafkan Bundamu. Doa bunda buat studimu, dan jika kelak akhirnya ananda tidak 
mampu menyelesaikan studymu maka Bunda paham. Itu bukan salahmu. Terlalu berat 
buat seorang lelaki semudamu untuk menghidupi dirimu sendiri dan menyelesaikan 
studymu. Semoga Allah SWT membimbing masa depanmu…"

Tanganku gemetar. Aku tidak percaya dengan apa yang terjadi. Mimpi indahku 
seketika terhempas. Bara cintaku pada Prendjak seakan tersiram paksa tsunami 
derita. Hari itu, semuanya berubah. Impian indah akan hadirnya cinta terpaksa 
harus kutukar dengan tahun-tahun pahit dan getir antara hidup mati berjuang 
mengatasi beratnya realita…

Tetapi…, ada satu yang tetap tersimpan dalam hatiku: Sillout indah pesona kepak 
sang Prendjak!

"Ah, dimanakah Prendjak itu sekarang?" tanya hatiku setelah hampir 20 tahun 
waktu bergulir. Semoga kebahagian selalu ada padamu, Prendjakku…

Dari kesunyian malam, dalam musim semi tepian lembah Sungai Isar,
München, 06.06.09


Ferizal Ramli
* Kata ini terinspirasi dari Novel apik "Burung-Burung Manyar" YB Mangunwijaya
*** I love you for always and forever 

Kirim email ke