Proses Demokrasi di Afganistan Butuh Duit Banyak: Kenapa takut dengan Taliban?
http://ferizalramli.wordpress.com/ Amrik itu selalu berpikir akan ketakutannya pada Taliban. Mereka berperang habis-2an dalam posisi keuangan yang begitu berat akibat depresi. Lalu berteriak ke Eropa (khususnya Jerman) untuk ikut mendanai perang Afghanistan. http://internasional.kompas.com/read/xml/2009/07/02/07110687/proses.demokrasi.di.afganistan.butuh.duit.banyak Hal yang dilupakan oleh Amrik adalah persepsi masyarakat Eropa pada Taliban. Benarkah orang Eropa (Jerman) itu takut dengan pemerintahan Taliban? Jika mereka boleh memilih maka mereka (Jerman dan Eropa) pasti lebih suka pemerintahan yang lunak, yang bukan model Taliban. Tapi jika mereka diminta mengeluarkan uang banyak demi memerangi Taliban, rasanya mereka tidak tertarik melakukannya. Bagi orang Jerman yang sama sekali tidak memiliki natural resources dan setelah PD II mereka âmengharamkanâ kebijakan eksploitasi negara lain, maka mencari Euro demi Euro keuntungan adalah kerja-2 riil yang melelahkan. Tidak mungkin mereka mau menghamburkannya demi berperang tidak jelas dengan Taliban. Saya pribadi menangkap alasannya sederhana mengapa Jerman tidak âkhawatirâ Taliban kembali berkuasa sbb: Pertama, jika Taliban memimpin mereka mau ngapain sih? Boleh saja Taliban bicara melambung-2 tentang cerita-2 mimpi sentimen agama: mendirikan Ke-khalifan Islam (versi Taliban tentu saja), sistem Ekonomi Islam, Sistem Hukum Islam dengan cara-2 kegemarannya. Tapi akhirnya mereka terbentur pada satu realitas: bagaimana mensejahterakan masyarakatnya! Dan pada saat Taliban mulai mensejahterakan masyarakat dan rakyatnya maka disitulah meritokrasi, kerja-2 profesional, diplomasi perdagangan yang lebih menentukan. Kesepakatan aturan main dengan standard internasionallah yang akhirnya bicara. Pada akhirnya Taliban akan kompromi dengan norma-2 âkebenaranâ bersama. Pada akhirnya Taliban akan dipaksa keadaan untuk bekerja sama dengan negara lain dan menunjukan kompetensi profesionalnya. Kedua, apa tidak melihat sejarah saja. Turki yang begitu pernah dominan, pernah menguasai bagian Eropa saja, ternyata sistem ke-Khalifahannya berubah menjadi dinosaurus usang. Sistem kekalifahan tsb meskipun di abad pertengahan pernah jaya, tapi dalam konteks hari ini itu kehilangan aktualisasinya. Sistem itu sudah menjadi masa lalu⦠Jika Turki saja gagal, bahkan parahnya rakyat Turki sempat trauma dengan sistem yang namanya Islam sehingga mereka beramai-2 selama puluhan tahun âmeninggalkanâ Islam menjadi sekular. Lantas, apa iya Taliban mampu membangun kejayaan kembali ke-khalifahan Islam (versi Taliban)? Turki baru bisa kembali melakukan revitalisasi akhir-2 ini justru saat pemerintahannya yang Islam humanis lah yang memimpin. Jadi, jika Turki diambil sebagai referensi maka pada akhirnya umat Islam yang humanis lah yang mampu melakukan kerja-2 riil yang mensejahterakan. Ketiga, Juga tidakkah melihat berbagai pergerakan-2 keras atas nama Islam misalkan di Philipina Selatan. Pemerintah Manila dulunya begitu phobia dengan pergerakan itu sehingga harus berperang puluhan tahun menghamburkan biaya. Begitu juga Indonesia dengan Acehnya. Tapi lihatlah saat mereka menjadi pemimpin, toh pada akhirnya mereka menyadari bahwa memerintah dengan tujuan mensejahterakan rakyat tidak bisa dilakukan oleh slogan dan cara-2 fasis. Itu harus kerja riil. Nur Misuari, pemimpin pemberotak Islam di Philipina, saat diberi kesempatan berkuasa tenyata gagal total. Slogan-2 cerita tentang membangun sistem Islam tinggal cerita mati. Rakyatnya (Pilipina Selatan) yang dulu percaya bahwa dengan atas nama pemimpin dan pemerintah Islam maka akan sejahtera, ternyata menemui realitas frontal yang beroposisi dengan mimpi-2nya. Bahkan Nur Misuari sempat tertuduh terlibat korupsi. Lihat juga Aceh. Toh para GAM yang dulunya dalam slogan ingin mendirikan sistem Islam, pada akhirnya mereka dipaksa untuk melakukan kerja-2 riil dalam karya. Mereka berhadapan dengan realitas. Sekarang justru malah tidak terdengar lagi slogan-2 sistem Islam. Dan jika akhirnya para pemimpin Aceh gagal mensejahterakan, apalagi jika korupsi merajalela disana, sangat mungkin âsistem Islamâ yang ada akan dibongkar ulang. Lihat juga Ahmadinejad yang begitu keras di Iran. Toh akhirnya dia mendapat perlawanan dalam negeri sendiri saat tidak berhasil mensejahterakan rakyatnya. Saat pengangguran meningkat, saat kinerja pemerintahan untuk membangun perekonomian melemah maka saat itu rakyat pasti akan membuat koreksi. Ahmadinejad dipaksa oleh keadaan untuk mengkoreksi garis kerasnya dan lebih fokus pada kinerja ekonomi. PKS pun di Indonesia, para pemimpinnya juga dipaksa keadaan bahwa slogan-2 atas nama Islam akhirnya ditagih oleh konstituennya dalam bentuk prestasi riil. Mereka (para pemimpin PKS) akhirnya dipaksa untuk menunjukkan bahwa kinerja mereka harus lebih baik dari pemimpin partai sekular. Pada akhirnya prestasilah yang bicara bukan sentimen agama. XXX Berangkat dari hal tersebut, apa yang saya rasakan di Jerman, tampaknya masyarakat Jerman (atau Eropa) âtidak terlalu perduliâ apakah Taliban kembali berkuasa atau tidak. Toh akhirnya Taliban saat jadi penguasa akan dipaksa untuk melakukan kerja profesional. Jika dia gagal, akhirnya akan tertinggal dan terbelakang. Jika dia berhasil menjadi besar, yah bukankah dengan demikian justru akan baik untuk semuanya. Itu justru akan membuat daerah Asia Tengah menjadi lebih stabil. Hanya yang harus dicatat, dalam konteks saat ini tidak ada negara yang bisa menunjukkan kinerja ekonominya dan mampu mensejahterakan rakyatnya jika memilih cara-2 fasis dalam pemerintahannya. Serta saya juga yakin bahwa orang-2 Eropa tidak percaya sistem Islam akan bangkit dalam waktu dekat. Apalagi bangkitnya dari tangan Taliban. Sebuah sistem bisa menemukan kembali revitalisasinya pasti diawali dulu dengan kebangkitan pemikiran para scholarnya. Jadi, pertama kali para akademis dan intelektual Islam mampu mewarnai pemikiran-2 baru dalam berbagai kajian sosial. Lalu masyarakatnya mulai tercerahkan. Lalu membentuk pemerintah bersih hasil pencerahan. Lalu mulai-2lah kerja-2 meritokrasi berjalan. Lalu barulah memegang supermasi dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Jadi, berkaca dari itu adalah hil yang mustahal bahwa Taliban akan mengancam Eropa. Akibatnya saat si Amrik bicara tentang Taliban, si Jerman akan bilang: Emangnya guwe pikirin :) Salam hangat, Dari Tepian Lembah Sungai Isar Ferizal Ramli