Ramadhan, yang Spesial di tengah Panen Raya Kurmalawangbagja
Jelang Ramadhan, kesibukan bukan hanya dijumpai di lorong-lorong pasar 
tradisional di kota-kota Indonesia. Hal yang sama juga dirasakan hingga ke 
pesisir teluk Persia. Nun jauh di belahan bumi bagian barat di negara persatuan 
emirat arab, bersebelahan dengan lahan kosong yang luasnya hingga 500 ribu 
kilometer persegi denyut semarak ramadhan menghentakkan irama pasar sentral, 
satu-satunya 'pasar' yang menyediakan beragam daging segar, ikan laut hasil 
tangkapan para nelayan yang hilir mudik di semenanjung arab yang saling 
berseliweran dengan kapal-kapal tanker dari berbagai perusahaan minyak dunia, 
buah-buahan yang entah didatangkan dengan cara apa karena seperti tidak ada 
musimnya selalu tersedia.


Ramadhan yang 'Spesial'

Layaknya bulan spesial, bulan yang dinanti oleh sekian milyar umat beragama 
Islam di seluruh dunia Ramadhan selalu membawa keunikan, kesan, keceriaan, 
kerinduan, sampai ke hal-hal nostalgia. Ramadhan memang seperti lem perekat. 
Minimal kita dihadapkan pada kebersamaan untuk saling bertemu dan menyapa saat 
buka dan sahur. Bukan hal yang aneh memang jika di era modern anak dan ayah, 
suami dan isteri juga dengan para tetangga terkondisi pada kesibukan. Begitu 
asyik dengan dunia masing-masing hingga sepertinya semua berjalan 
sendiri-sendiri. Padahal kesuksesan manusia ternyata bukan hanya terletak pada 
tingginya IQ tapi pada bagaimana ia mengelola komunikasi dengan sekitarnya, 
orang pintar menyebutnya EQ. Maka, di Ramadhan yang memang spesial ini, semua 
bisa berubah (walaupun hanya sesaat).

Syahdan..ummat manusia terdahulu umurnya panjang-panjang. Nabi Adam umurnya 
lebih dari 900 tahun. Ummat Nabi Nuh, Hud-kaum 'Ad yang terkenal gagah, Nabi 
Shalih -yang mampu membuat istana di bukit-bukit batu yang dipahat, terkenal 
dengan umur yang panjang. Saya tidak sempat buka catatan namun kira-kira 
gambarannya umur umat manusia zaman dahulu hingga ratusan hingga ribuan tahun. 
Waktu terus berjalan. Di era abad 20 umur manusia makin pendek. Namun kita 
masih bisa menjumpai hingga 100 tahunan lebih. 
Paradoksnya, saat era modern yang konon kualitas hidup makin membaik, pilihan 
makanan yang bergizi dari alami hingga sintetis begitu mudah dijumpai, hiburan 
dengan hingar bingar pub dan diskotik yang 'mengasyikkan', hingga gaya hidup 
yang super jetset mampu membuat kita 'lupa diri' hingga menganggap dunia adalah 
segalanya. Namun dibalik semua keindahan itu umur manusia dipatok hingga 60 an 
saja. Usia Rendra, yang budayawan dan seniman saja cuma 74 tahun! seniman 
memang punya kesempatan panjang umur karena biasanya tahu bagaimana menikmati 
hidup dengan seni 'seadanya'. Dibanding Jacko sang superstar yang berlimpah 
segala hal namun tidak sampai 55 tahun!. Bagaimana dengan 'politisi'? 
pilihannya serupa tapi tak sama, menikmati masa pensiun di prodeo karena 
ketangkap KPK atau mati muda karena jantung koroner.

Jika menghitung-hitung umur manusia dan pengabdian kepada tuhan, manusia zaman 
modern paling sedikit pengabdiannya kepada Tuhan. Umur 60 tahun saja kok minta 
masuk surga?! Bagaimana dengan umat lainnya yang harus mengabdi kepada Sang 
Khalik hingga ratusan dan ribuan tahun? Waktu semakin pendek, amal pun menjadi 
pendek. Kehadiran Ramadhan adalah Gift! hadiah..inilah masa percepatan. 
waktunya sempit tapi nilai amalnya dikali berlipat-lipat. tidak perlu sampai 
ratusan tahun tapi cukup dengan satu bulan. Sang Khalik menurunkan Lailatul 
Qadr atau malam 1000 bulan. Sama dengan 83 tahun. Jika masa akhir balig adalah 
15 tahun, dan umur manusia sekarang rata-rata 60 tahun maka 45 dikali 83 tahun 
sama dengan 3735 tahun! 

Memanfaatkan Ramadhan untuk sia-sia belaka sungguh sangat merugi! Allah SWt 
begitu memberikan kemudahan bagi kita dengan Ramadhan. Cukup 45  kali kita 
konsisten di bulan Ramadhan itu sama dengan nilai ibadah kita 3735 tahun!!. 
itulah sebabnya para orang tua dahulu kita selalu menghitung umur mereka dengan 
bulan Ramadhan.
 "Doakan, Ramadhan tahun depan bisa bertemu!"
 begitu kira-kira mereka saling mendoakan dengan sesama kerabat. Jika ditanya 
umur, jawabnya gampang, 
"sudah 35 kali ramadhan terlewati, pokoknya pas puasa dah full dah!". Tidak 
heran jika, Ramadhan sebagai tempat pertautan mata rantai kenangan.Biasanya di 
kampung suka saling mengenang, "Dulu ramadhan tahun kemaren bang Udin masih 
terdengar azannya, sekarang sudah tidak". 
Saya pun begitu. Saat usia makin beranjak dan beban fikiran bertambah, hard 
disk isi kepala semakin penuh, imbasnya kenangan pun tergerus. Satu-satunya 
yang 'meng-angchor' pada memori saya terhadap almarhum kedua orangtua adalah 
saat-saat Ramadhan. 

Dahulu, ketika Ramadhan bapak saya yang pensiunan sersan macet  juara nomor 
satu bangunin orang sahur yang suara baritonnya mampu menembus hingga ke 
beberapa kampung. Full satu bulan tiada henti mengumandangkan "Marhaban ya 
Ramadhan" dengan birama 4/4. Semua menjadi kerinduan yang menghempas angin jika 
teringat itu semua. Dan ibu, ia adalah kristal yang gemerlapan. Tidurnya 
menjadi sangat singkat. Pukul 2 malam beliau bangun untuk shalat malam. Di 
samping ibu, dalam kondisi setengah tersadar saya masih bisa melihat derai air 
mata yang menganak sungai penuh khusyu berdoa untuk anak-anaknya. Kemudian 
menyiapkan sahur dengan menu yang selalu nikmat sekalipun alakadarnya. Maklum 
pensiunan sersan macet. Petang beliau pun berupaya menghidangkan menu berbuka 
yang tidak pernah kami merasa kecewa sekalipun dengan (sekali lagi) ala 
kadarnya. Maka, saat ramadhan tiba bayangan-bayangan itu berkelebat. Senyum, 
tatapan, suara bariton, gurauan, semuanya-semuanya. Tidak
 tertampung secangkir hati ini menanggung kerinduan pada keduanya. Nilai-nilai 
kebaikan harus diteruskan, maka langkah awal pengenalan puasa ramadhan untuk 
putra kedua saya dilakukan diam-diam lewat video CD edukatif. Pilihannya 
beragam dari kisah Moko hingga Upin dan Ipin. Anak pertama, kelas tiga SD sudah 
bisa full sejak tahun kemaren berpuasa. Yang kedua mudah-mudahan bisa mengikuti 
jejak kakaknya. Tidak memaksa hanya sekedar menumbuhkan semangat belajar.


Ramadhan dan Panen Raya Kurma

Ya, Ramadhan kali ini saya pun berupaya menulis. sebuah ritual penghormatan dan 
takzim pada bulan suci. Sepertinya halnya ritual  kesibukan di sentral market  
dalam menyambut bulan ramadhan dengan halwa, sweet/ manisan khas bulan ramadhan 
di jazirah para Nabi ini. Minuman limun aneka warna  beraroma bunga ros dan 
tamarin, alias kurma Indihe. Rasanya memang menyegarkan apalagi udara di 
jazirah yang panas dan pengap. Nafas terasa berat. Bagi para pekerja di plant 
petrokimia, ramadhan kali ini dan ke depan memang sebuah tantangan. Bermandi 
basah keringat. Namun tentu itu menjadi penambah bumbu kehidupan. 

Semalam saya begitu menikmati kesibukan di halaman mata. Diantara tumpukan khas 
penganan ramadhan, saya melihat buah kesukaan, At tiin yang disebut dalam surat 
At-Tin ikut meramaikan. Tidak lupa aprikot dan yang lebih spesial adalah aneka 
macam kurma. Ramadhan ini penuh berkah..di belahan arab. Masim panas adalah 
musim panen raya kurma maka dengan mudah dijumpai kurma dengan aneka macam 
merk. Dari yang baru dipetik(ratab)  hingga yang sudah dimodifikasi rasanya. 
Ada yang dipadu dengan coklat, kacang mete, ada juga yang sudah menjadi selai 
dan minuman berkhasiat untuk pengantin sunat. Kurma sepanjang sejarah memang 
erat dengan ramadhan termasuk hingga ke negeri timur sana, Indonesia. Kandungan 
kurma yang dipadati oleh potasium dan sodium memang baik untuk membuka irigasi 
saluran darah. Warna aslinya beberapa macam, ada yang hijau, kuning, hingga 
merah tua. Begitu longkrah! banyak tak terkira! orang Bogor bilang. Ramadhan Oh 
Ramadhan..Tak terkira syukur
 membasahi kalbu, Untukmu rinduku selalu


Di tepian Teluk Persia

        
         
        
        




        




        
        


        
        
        





      

Reply via email to