Kampung dan Mimpi-Mimpi Ruwaiscatatan buruhmigrant
"Tak sampai satu hari" rasanya waktu 3 tahun terlewati di Ruwais. Awal-awal 
jumpa di kota asri yang pendiam ini saya sempat meneriakan protes karena ia 
selalu bungkam sekalipun panas menyengat dan dingin  yang mencubit-cubit daun 
telinga. Bukan semata karena panas dan dingin tetapi kota ini sudah menerima 
takdirnya sebagai kota kelas 2. Selama ini ia hanya ditempatkan sebagai  
persinggahan sementara untuk sejenak melelapkan mata di kala malam dan kemudian 
siangnya ditinggalkan untuk pergi bekerja. Nyaris kota kecil, mungil dan 
pendiam ini tidak akan pernah singgah di hati. Ia bukan siapa-siapa karena 
memang ini bukan tanah leluhur kita membangun peradaban. 

Kampung Ruwais dan Merintis Peradaban
Ini hanya kisah kecil saya kawan. Kami sekeluarga tinggal di kampung  paling 
barat pulau Jawa untuk kemudian hijrah ke kota paling barat di UAE. Mulanya, 3 
tahun lalu kami memang memandang asing kota ini. Seperti sebuah asrama besar 
yang ritme kehidupannya diatur oleh liburan panjang sekolah saat musim panas 
tiba. Sekeluarga mudik untuk bertemu mertua, kakak-adik, teman-sahabat serta 
handaitaulan lainnya. Aktifitas yang dilewati dalam keseharian tidak ada yang 
istimewa selain mengantar dan menjemput anak di sekolah, kerja dan mengumpulkan 
lembur sebanyak-banyaknya kemudian mengkonversinya dengan dinar. Eiitt..tentu 
setelah dipotong zakat dan misi sosial lainnya. Sekali lagi itu ritme kehidupan 
saya. Tolong dibaca; Jika ada kesamaan tempat, pola dan ritme itu hanya 
kebetulan semata dan ini bukan rekayasa serta tidak ada maksud menghasut, 
mencela apalagi menistakan. 

Kemarin beberapa hari yang lalu, tepatnya 25 Agustus 2009 pas kebetulan 4 
Ramadhan 1429 H lahirlah puteri ketiga saya yang diberi nama Faisha Tasnim 
Cholik. Pukul 11:30 siang pertama kali ia menghirup oksigen di Tepian Teluk 
Persia. Sengatan panas udara di gulf seperti tak seberapa dengan sengatan 
kebahagiaan yang saya rasakan. Anak yang terlahir selain amanah ia pun rizki, 
anugerah dari Sang Khalik. Ramadhan kali ini memang begitu spesial buat saya 
dan insya Allah ramadhan tahun-tahun mendatang akan menjadi pengingat nikmat 
ini. Seperti saat hari ini ketika kami berlima mempersiapkan buka puasa. Yahya, 
putra pertama membantu uminya untuk menunggui penggorengan yang sedang 
menggoreng bakwan tidak lama ia mengajukan diri untuk membantu memotong-motong 
buah untuk dibuat stup. Sachio, putra kedua setia menjaga adiknya Faisha 
Tasnim. Saat azan magrib berkumandang, kami sudah berkumpul di sebuah meja. 
Keceriaan tampak pada Sachio yang untuk kesekian kalinya
 walau masih duduk di grade 1 (kelas 1 SD) puasa penuh hingga sampai ke magrib. 
Nikmatnya hidangan rawon, bakwan, asin cumi, stup buah, dan capcai melupakan 
saya pada kampung di belahan bumi jawa sana. 

Kampung Ruwais, inilah episode saya sesungguhnya. sebuah realitas yang harus 
diterima oleh alam bawah sadar. Bahwa kampung adalah tempat dimana ia 
menyediakan oksigen untuk kami hirup, air untuk diminum dan tanah untuk 
dipijak. Memang tanah di sini bukan untuk ditanami tapi paling tidak kita masih 
menapak di planet bumi. Menjadi lengkap ia dikatakan kampung bagi kami 
sekeluarga manakala putri ketiga kami lahir di sini. Rasanya tidak mungkin akte 
kelahirannya dirubah padahal ari-arinya tertanam di kota ini. Saat besar nanti 
putri saya tentu akan mengenang Ruwais sebagai kampung tempat ia dilahirkan. 
Maka, sudah menjadi bagian dari hukum kehidupan untuk merintis peradaban dengan 
 ikut menjaga dan memakmurkan kampung.

Mimpi-Mimpi Ruwais
Para pendahulu, generasi awal yang singgah dan menjejakkan kakinya di kota 
Ruwais ibarat pembuka jalur. Mereka telah berjasa dengan merintis suasana 
masyarakat yang guyuib dan penuh kekerabatan. Tak bisa disebut satu-persatu 
sementara sebagian sudah pergi ke belahan bumi lain. Pagi menjelang dan malam 
pun pergi, begtulah kehidupan berganti. Para pendatang baru makin banyak 
berdatangan. Mereka hadir dengan penuh warna dan cita rasa berbeda. Lain 
generasi memang akan selalu beda. Saya rasa kita, para warga Indonesia sepakat 
bahwa kehadiran kita di sini, di kota Ruwais karena kita mempunyai mimpi. 
Sebuah mimpi kehidupan yang jauh lebih baik lagi. 

Tadi sore, saya membaca email ada yang bermimpi menjadi seorang penulis. 
Kemarin saya masih ingat seorang teman yang bermimpi menjadi petani dan 
peternak yang berhasil di kampungnya. Beberapa waktu yang lalu, beberapa kawan 
mengundang untuk mengembangkan kemampuan dalam bidang musik, sebelum 
itu..digagas sebuah kumpulan pecinta fotografi agar menjadi fotografer handal. 
Mundur lagi ke belakang ketika beberapa kawan begitu antusias menjadi bloger 
dan sudah semakin produktif hingga saat ini dalam melahirkan tulisan dan buah 
fikiran. Lihatlah ..! mimpi-mimpi kita sahabat! ia perlahan 
menggelinding..terus saling merekat setiap jalan yang dilalui makin lama 
membesar dan membesar. dan masih banyak mimpi-mimpi yang terus membumbung, 
mengawang diangkasa. Ya..itulah mimpi-mimpi Ruwais!.

Kota ini berperan besar dalam menghadirkan mimpi-mimpi kita ke depan. Maka 
jangan tempatkan ia sebagai hanya sekadar persinggahan sementara. Di kota ini 
kita menyelami kehidupan, mengeruk dirhamnya, membungkus ilmunya, mencatat 
jurnal perjalanannya, menata kehidupannya, dan mewujudkan mimpi-mimpi kita ke 
depan. Saya pun mempunyai mimpi untuk kota ini. Agar kelak ia menjadi kota 
pusat ilmu pengetahuan dan laboratorium kehidupan bagi kita dan anak-anak kita. 
Di dalamnya hadir manusia-manusia unggul dalam ilmu dan amal, mulia akhlaknya 
dan bersahaja. Agar semua terwujud maka syarat utama adalah cinta. Bisakah kita 
mencintai kota mungil yang berperan besar dalam mewujudkan mimpi-mimpi kita 
ini? dan bagaimana dengan mimpimu teman?

Ramadhan 1429 HDari Tepian Teluk Persia,




      

Kirim email ke