Oleh Aji Setiakarya



Dimuat di Harian Banten Raya Post (9 September 2009)







Jum’at (28/8), bertempat di Hotel Permata Cilegon, beberapa sekretaris
daerah Kota dan Kabupaten Se- Banten hadir dalam pertemuan bernama
Forum Sekda Se- Banten. Selain Sekda juga hadir beberapa kepala Badan
Perencanaan Daerah. Yang diperbincangkan adalah tentang komunikasi,
koordinasi dan tentu saja pembagian jatah fresh money yang tidak ideal.

Hampir semua pemerintah kabupaten dan kota, kecuali Tangerang Selatan
setuju jika koordinasi antara provinsi dan kabupaten tak harmonis.
Bukan persoalan Fresh Money saja yang sering tidak akurat tapi juga
persoalan koordinasi dan fungsi wewenang pemerintah provinsi yang tidak
efektif.



Kepala Bappeda Pandeglang, misalnya mengeluhkan sikap pemerintah
provinsi yang seringkali membangun proyek tanpa koordinasi dengan
daerah. Sementara saat proyek itu bermasalah yang menjadi soroatan
adalah pemerintah kabupaten. Karena itulah ia mengisaratkan agar
pemerintah provinsi duduk bersama menjelaskan fungsi dan wewenang
antara daerah dan provinsi. Kejengkelan yang sama juga tampak tersirat
di wajah Sekrtaris Daerah Cilegon Edi Ariadi dan Kepala Bappeda
Kabupaten Tangerang Benjamin Davnie. Pemerintah Cilegon, menurut Edi
tidak sungkan-sungkan menolak Blok Grant atas barang yang tidak sesuai
PAGU yang ada. Semenjak pemerintah provinsi mulai memberikan Blok
Grant, menurut Edi Pemerintah Cilegon menolak barang-barang yang tidak
sesuai dengan Pagu yang ada.

Ternyata pertemuan Jum’at (28/8) lalu itu ditindaklanjuti pertemuan
para walikota Se-Banten yang tergabung dalam Forum Komunikasi Walikota
dan Bupati Se- Banten di Ruang Pertemuan Mahagoni Imperial Aryaduta
Hotel dan Country Club Kabupaten Tangerang. Kecuali Si Bungsu Tangerang
Selatan perrtemuan itu menolak kebijakan Gubernur Banten Rt Atut
Chosiyah atas pengurangan alokasi bantuan keuangan (fresh money) untuk
kota dan kabupaten yang terus menyusut (Radar Banten, Minggu 6
September). Pernyataan Walikota dan Bupati ini menegaskan bahwa
koordinasi dan komuniaksi antara provinsi dan kabupaten terus terpuruk.
Bukan bukan hanya persoalan fresh money semata namun terkait wewenang
dan fungsi antara daerah dan provinsi yang belum kelar. Seperti yang
diungkapkan pada pertemuan para sekda sebelumnya







Otonomi Daerah



Kejadian hal seperti ini hampir terjadi setiap tahun saat akan
pemberian fresh money. Sikap para Sekretaris Daerah Pemkab dan Kota Se-
Banten itu adalah sikap yang tak elok yang seharusnya tidak terjadi.
Namun sikap mereka tentu saja dilatarbelakangi pengalaman buruk
terhadap ”penggede” provinsi yang dianggap oleh pejabat pemerintah
kabupaten yang mau mengatur sendiri. Bahkan berdasarkan keterangan dari
Pejabat di Kabupaten Pandeglang, Satuan Kerja Daerah Provinsi
seringkali menghandle pekerjaan yang harusnya bisa dilakukan oleh
pemerintah kabupaten.



Jika kita kembalikan kepada Undang-Undang Otonomi Daerah No 22 tahun
1999 sebenarnya sudah mengatur tata kelola dan kewenangannya antara
provinsi dan Kabupaten-Kota. Sesuai Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
Juncto Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Kewenangan Pemerintah Pusat
sedikit tapi mendasar dan strategis. Sedangkan kewenangan daerah lebih
besar. Daerah kabupaten/kota adalah penerima kewenangan terbesar.
Sedangkan daerah provinsi menerima kewenangan yang bersifat
koordinatif, pengawasan, dan pembinaan. Dasar pemikirannya adalah,
kabupaten/kota merupakan unit pemerintahan yang langsung melayani
masyarakat. Oleh karena itu, bobot kewenangan harus dititik beratkan
pada unit pemerintahan ini, bukan pada provinsi. Provinsi diberi
kewenangan koordinasi antar kabupaten/kota yang berada di bawah
koordinasinya.

Pembagian Tugas

Memang dalam Undang-Undang tidak dijelaskan secara detail aturan
bagaimana pengaturan pekerjaan antara provinsi dan kabupaten. Karena
itulah Gubernur yang diberikan kewenangan pembinaan sebagai wakil
pemerintah pusat bisa mendisksusikan dan merumuskan dengan para bupati
atau walikotanya. Fungsi Gubernur juga sangat banyak pada hal
koordinasi dan pembinaan daerah. Menodorong terselenggaranya
pemerintahan daerah yang bersih dan bertanggungjawab. Selain menjadi
penengah saat satu daerah berselisih dengan darah lainnya.



Namun yang terjadi ini sebaliknya, Gubernur melakukan disharmonisasi
(perselisihan ) dengan para walikotanya. Kebijakan Gubernur Banten Rt
Atut Chosiyah seringkali menimbulkan kontroversi walikota dan Bupati.
Pernyataan Taufik Nuriman dan Ismet Iskandar yang mengusulkan
Pemerintah Provinsi Banten menjadi kabupaten yang ke 9 adalah sindiran
telak untuk Gubernur Banten. Tampak terlihat komunikasi antara Gubenur
dengan Walikota/ Bupati Se-Banten terpuruk. Namun kita tidak bisa serta
merta menyalahkan Gubernur Banten. Bisa jadi Gubernur sudah berusaha
melakukan komunikasi dan mengajak berdiskusi namun para kepala daerah
ini ”keras kepala” tidak mau dibina.

Gubernur Banten, beserta jajarannya harus segera melakukan intropeksi.
Menjalin lagi komunikasi yang lebih baik lagi dengan para walikota dan
bupati untuk keberlangsungan roda pemerintahan dan kepentingan
masyarakat.

Apa jadinya jika Gubernur Banten tak mau menyerah dengan kebijakannya
sementara Walikota/Bupati yang tergabung akan memboikot dan menolak
segala bentuk program provinsi yang ada di kota atau kabupaten? Apakah
Banten akan menjadi Kabupaten ke-9?





Aji Setiakarya adalah Jurnalis

Bekerja di BantenTV


      

Reply via email to