Kalau Pemkot Tangerang akan menggusur lokalisasi Ciben untuk ditata menjadi 
lahan hijau terbuka, gak masalah toh. Asal penggusuran itu tidak menimbulkan 
dampak sosial yang tidak berarti. Saya percaya bahwa pemkot Tangerang menggusur 
bukan karena dasar rasial, tapi untuk menata bantaran sungai yang dihuni warga 
keturunan Ciben menjadi lahan terbuka hijau yang tujuannya jelas untuk jangka 
panjang agar bantaran sungai tetap terjaga kelestariannya. Menurut saya tidak 
menjadi masalah digusur tapi harus proporsional, artinya ada uang ganti rugi 
yang layak dan wajar atau ada tempat atau lokasi pengganti bagi warga keturunan 
Ciben. Jangan asal main gusur tanpa penggantian yang wajar, jika tidak berarti 
Pemkot Tangerang kurang ajar!!!

 



________________________________
Dari: anton john hartomo <antonhart...@yahoo.com>
Kepada: wongbanten@yahoogroups.com
Terkirim: Sel, 4 Mei, 2010 02:28:00
Judul: [WongBanten] Fw rehat sosial : satu lagi rona era arogansi ?

  



Subject: satu lagi rona era arogansi ?
>To: it...@yahoogroups. com
>Cc: p...@yahoogroups. com, jakarta-batavia@ yahoogroups. com
>Date: Tuesday, May 4, 2010, 2:22 AM
>
>
> 
>
>
>kok bau pola satpol-pp masih menyengat di seantero penjuru ya ?
>
>
>
>
>
>
>2010-04-30
>Keadilan untuk Warga Cina Benteng
>
>
>Dewi G SP
>
>
>Chot Nio (kiri), perempuan berusia 78 tahun, salah satu warga Tangerang
>keturunan Cina Benteng atau dikenal dengan "Ciben". Hidupnya susah, selain 
>sudah
>tidak mampu bekerja lagi, suaminya juga sudah meninggal dan anak-anaknya juga
>hidup kesulitan sehingga tidak bisa membantu orangtuanya. Dia tinggal sendiri 
>di
>rumah gubuknya di Jalan Imam Bonjol Gang Basin Petak Sawah Kota Tangerang. 
>Untuk
>hidup sehari-hari, Chot Nio dibantu para tetangganya.
>
>Nama komunitas Cina Benteng semakin menyeruak ke permukaan setelah Pemerintah
>Kota Tangerang, 13 April 2010 lalu berencana menggusur wilayah yang dihuni
>puluhan tahun oleh komunitas ini. Alih-alih, rencana tersebut dimaksudkan 
>adanya
>penataan lokasi itu menjadi ruang terbuka hijau. Lantas siapa sesungguhnya 
>warga
>komunitas Cina Benteng itu? Cina Benteng adalah panggilan yang mengacu kepada
>masyarakat keturunan Tionghoa yang tinggal di daerah Tangerang, Provinsi 
>Banten.
>
>
>Nama Cina Benteng berasal dari kata Benteng, nama lama Kota Tangerang. Saat itu
>terdapat sebuah benteng Belanda di Kota Tangerang, tepatnya di pinggir Sungai
>Cisadane. Benteng tersebut difungsikan sebagai pos pengamanan Belanda mencegah
>serangan Kesultanan Banten. Benteng itu pun menjadi benteng terdepan Belanda
>dalam pertahanannya di Pulau Jawa.
>Komunitas Cina Benteng dikenal unik, mereka berkulit sedikit lebih gelap.
>Berbeda dengan warga keturunan Tionghoa pada umumnya. Mereka lebih mirip dengan
>orang-orang Vietnam Utara.
>
>Akulturasi
>Kesenian mereka hasil akulturasi Betawi-Tionghoa. Cokek di antaranya, yaitu
>tarian berpasangan lelaki dan perempuan dengan iringan musik gambang kromong.
>Agama yang dianut, antara lain Konghucu, Buddha, Katolik, Islam, dan Protestan.
>Peneliti Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu 
>Pengetahuan
>Indonesia Thung Ju Lan mengatakan, kelompok ini dikenal dengan Cina Peranakan.
>Mereka sudah tidak bisa lagi berbahasa Mandarin, sebab logat mereka
>terakulturasi bahasa Betawi dan Sunda."Saat ini, kondisi sosial dan 
>perekonomian
>mereka bisa dibilang marginal 'miskin' jika dibanding Cina totok pada umumnya,"
>katanya kepada SP, di Depok, Jawa Barat, Kamis (29/4).
>
>
>Tradisi dalam doa atau sembahyang mereka pun punya keunikan dan tradisi yang
>belum tentu sama dengan komunitas Tionghoa pada umumnya. Apakah lantas
>penggusuran akan menghilangkan identitas mereka? Thung berharap sebagai warga
>negara, hak asasi mereka atas tanah, kehidupan sosial, dan ekonomi patut 
>menjadi
>tanggung jawab pemerintah. Terlepas dari ada atau tidaknya agenda tersembunyi
>dari penggusuran itu, pemberdayaan bagi mereka harus diupayakan oleh para
>penggiat sosial. [berbagai sumber/R-15] 
> 
>
> 
> 
> 
>
>
>2010-05-01
>Cina Benteng Bagian dari Sejarah Indonesia
>
>
>SP/RSemiono
>
>
>Sejumlah warga Neglasari memblokir jalam masuk ke kawasan permukiman mereka 
>saat
>menolak penggusuran atas rumah mereka di bantaran Sungai Cisadane oleh
>Pemerintah Kota Tangerang, Selasa (12/4).
>
>"Lebih ironis lagi, pemerintah akan menggusur, padahal selama ini keberadaan
>mereka diakui lewat legalisasi dari pemerintah sendiri
>
>Komunitas Cina Benteng sudah mendiami Kelurahan Mekarsari, Kecamatan Neglasari,
>Tangerang secara turun-temurun selama lebih dari 30 tahun. Karena itu,
>keberadaan mereka tak bisa dilepaskan lagi dari sejarah Indonesia. Itu artinya,
>penggusuran komunitas itu, sama saja dengan mengancam identitas kultural
>komunitas Cina Benteng. Karena itu, para peneliti, sosiolog, dan budayawan
>mengecam rencana represif Pemerintah Kota (Pemkot) Tangerang, yang akan
>menggusur komunitas tersebut.
>
>
>Pemkot dinilai semata-mata memandang konteks penataan ruang, tanpa melihat
>konteks kemanusiaan di daerah itu. Penggusuran itu sama saja dengan kekerasan
>negara terhadap hak ekonomi, sosial, dan kultural warganegara. Hal itu dibahas
>dalam diskusi bertema "Kekerasan Negara terhadap Hak Kultural Warga", di
>Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Kamis (29/11). Jika penggusuran
>direalisasikan, pemerintah bisa dikategorikan bertindak ahistoris.
>
>
>Cina Benteng adalah panggilan yang mengacu kepada masyarakat keturunan Tionghoa
>yang tinggal di daerah Tangerang, Provinsi Banten. Nama Cina Benteng berasal
>dari kata Benteng, nama lama Kota Tangerang. Saat itu terdapat sebuah benteng
>Belanda di Kota Tangerang, tepatnya di pinggir sungai Cisadane. Benteng 
>tersebut
>difungsikan sebagai pos pengamanan Belanda mencegah serangan Kesultanan Banten.
>Benteng itu pun menjadi benteng terdepan Belanda dalam pertahanannya di Pulau
>Jawa. Komunitas Cina Benteng terbagi menjadi dua golongan berdasarkan
>keberangkatan mereka dari Tiongkok (SP, 30/4/2010).
>
>Ahistoris
>Peneliti Labsosio Departemen Sosiologi FISIP UI, Lugina Setyawati menilai,
>rencana penggusuran paksa itu bisa disebut ahistoris, sebab pemerintah tidak
>memperhitungkan keberadaan komunitas itu, yang telah menetap di sana
>turun-temurun selama lebih dari 30 tahun. "Abrasi sungai jangan dilihat dari
>siapa yang tinggal di pinggiran sungai, tapi penyebab lainnya. Sebab, menurut
>warga Benteng, dulu jarak rumah ke tepi sungai sangat jauh, berbeda dengan saat
>ini. Sungai bagi mereka pun sebagai kehidupan," tandasnya.
>
>
>Lebih ironis lagi, pemerintah akan menggusur, padahal selama ini keberadaan
>mereka diakui lewat legalisasi dari pemerintah sendiri. Mereka secara sah
>mengantongi KTP, ikut serta pilkada, memiliki pemimpin struktural RT/RW dan
>infrastruktur jalan. Jika digusur, tentunya pemerintah melabelkan mereka 
>sebagai
>warga negara terabaikan." Malahan saat ini, penggusuran yang diatur dalam Perda
>sudah mengalahkan UU di atasnya, bahkan UUD 1945 sekalipun. Padahal, dalam UU
>Agraria jelas diatur pengakuan hak masyarakat adat. Dalam UU Hak Asasi Manusia
>juga disebut. Maka tidak heran 4-5 penggusuran terjadi setiap hari di berbagai
>daerah," paparnya.
>
>
>Peneliti Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan 
>Indonesia
>Thung Ju Lan juga berpendapat senada. Menurutnya, pemerintah belum berpikir
>solutif. Sebab, kasus-kasus tanah di Indonesia kerap terjadi pada tanah girik
>tak bersertifikat. Masyarakat adat Kalimantan juga mengalami kondisi serupa.
>"Padahal, tanah-tanah itu punya sejarah panjang. Kenapa tidak dilakukan saja
>pemutihan dan pembuatan sertifikat secara gratis," tegasnya. Komunitas Benteng
>memang tergolong marginal secara ekonomi. Penggusuran akan menambah rentetan
>penderitaan mereka atas dicabutnya hak ekonomi dan sosial budaya. Rencana
>penggusuran Cina Benteng, yang terdiri dari 350 keluarga pada tanggal 13 April
>lalu ditunda, kemudian diundur tanggal 27 April 2010. Tapi, rencana tersebut
>juga urung dilakukan. Lugina menilai, warga di Neglasari bisa melakukan class
>action kepada pemkot. Sebab, siapa pun yang ber-KTP di situ, punya hak tinggal
>di situ. [R-1 
>  
> 



Kirim email ke