TKM-Memori Anak Melayu Perantauan


Tamasya ke Masjid (TKM) sudah disirkulasikan ke para warga bahkan ada pula 
warga Malaysia yang tertarik dan membeli buku ini. Lepas satu minggu, saya 
bertemu dengan salah satu warga Malaysia yang telah melahap habis isi TKM. 
"Saya sudah baca semua, Pak!"
"Oh ya?" saya tersenyum sumringah. "Bagaimana?"pertanyaan saya hanya terhenti 
tanpa mampu meneruskan karena saya ragu harus bertanya soal apa.
Pak Cik ini kemudian bercerita tentang masa kecilnya di Malaysia. Tentu 
sepertinya tidak jauh beda dengan apa yang dialami anak-anak masa 70-an hingga 
80 -an dulu. Mungkin derasnya pengaruh media tidak sedahsyat sekarang. Sehingga 
kontaminasi arena permainan dan hiburan belum mampu menggeser sekitar pelataran 
masjid sebagai tempat paforit.

TKM seperti sebuah wasilah yang menyegarkan beliau yang sudah 7 bulan di 
perantauan untuk menginjakkan kaki di rumah-Nya dan yang menghantarkan kami 
berdua saling bertukar cerita tentang 'hangatnya' masa lalu. Mengasyikkan juga 
bercerita seputar masjid dan kehidupan. Masjid seperti poros kehidupan. Setiap 
hari, 5 kali sehari tapak-tapak kaki mendatangi rumah yang mulia ini. Bukan hal 
yang mudah memang terlebih saat kegalauan menyapa. Pasang surut hubungan 
seorang muslim dengan masjid adalah cerminan pasang surut hubungan muslim 
dengan Sang Khalik. Jika kita enggan bertamu ke rumah seseorang, maka kita 
mesti bertanya apakah hubungan kita baik dengannya?.

Cermin ini pula yang menggambarkan kondisi hubungan manusia saat ini. Problem 
terbesar seorang muslim di dunia saat ini adalah buruknya hubungan mereka 
dengan Sang Penciptanya. Rasulullah yang mulia memaklumatkan dengan peringatan 
keras tentang kewajiban berjamaah di masjid bagi para pria. Sayangnya saat ini 
dipahami sebagai sebuah perintah 'sekelas sunnah'. Artinya boleh ya, tidak juga 
tidak apa-apa. Padahal dahulu seorang buta pun yang masih sanggup mendengar 
suara azan (dulu tidak ada speaker) diwajibkan untuk berjamaah di masjid! 
(hatta..mereka yang sedang berperang).


"Tamasya" di Al-Quds?

Gegap-gempita piala dunia sudah biasa menyihir milyaran penghuni bumi. Kita 
merasa dipersatukan dengan sebuah 'millah' baru. Sebuah jargon pernah terucap 
tentang sepakbola di UK,"It's like religion!" tentu karena fanatisme yang kuat. 
Di Indonesia saling lempar batu sudah biasa soal bola. Di Afrika, Mesir dan 
Algeria bersitegang dan membawa ke rapat kabinet mereka masing-masing hanya 
soal bola. Dunia melupakan sejenak berita heboh Mavi Marmara yang berupaya 
menerobos blokade rezim terkutuk sepanjang masa. 

Sahabat, sambil menunggu final antara Holland dan Spain, sejenak cobalah lihat 
tanggal merah di kalender bulan ini. Di Gulf hari Jum'at 9 Juli, di Indonesia 
mungkin Sabtu 10 Juli. 27 Rajab, Isra dan Mi'raj. Semua negara muslim sepakat 
menjadikan hari ini sebagai hari libur. Tetapi saya sampai hari ini tak paham 
mengapa Isra dan Mi'raj dijadikan sebagai hari libur. Apa yang mesti 
diliburkan? Untuk menghormati apa? Seperti apa seharusnya memaknai kata 
'menghormati'? dan masih berderet sekian pertanyaan lagi. 



Seminggu lalu tetangga, depat flat saya tinggal pamit hendak mudik. Cuti 
tahunan, pulang ke Ardan (Jordan). 'Abu Ahmed' saya memanggilnya. Hingga hari 
ini mereka masih berstatus sebagai warga Palestina. "Abu Yahya, rumah saya 
hanya beberapa meter saja dari Al-Quds (masjid Al-Aqsha)!' Abu Ahmed bercerita 
saat pulang selepas subuh berjamaah." Namun semua tinggal kenangan", Abu Ahmed 
berusaha menyembunyikan perasaannya tentang kampung halamannya yang 'dijarah'. 
Sebagian yang terkena gusuran memilih hidup sebagai 'refugees forever'. Tanah 
tempat dilahirkan dan dibesarkan sudah tidak bisa diinjak lagi. Entah sampai 
kapan..bahkan nasib masjid yang disebut dalam Al-Qur'an di awal surat Al-Isra 
ini terancam ambruk karena penggalian situs kuil Solomon. Hanya kepada Allah 
kita bersandar. Mengharapkan gumpalan doa-doa ini didengar hingga pada suatu 
hari para pemimpin yang lahir dari 'rahim-rahim masjid' mempunyai keberanian 
untuk membebaskan Al-Quds kemudian kita
 bisa 'bertamasya' dengan solat berjamaah di sana. 

Menyesakkan memang, saat kelak (semoga saja tidak) Al-Quds runtuh dan ayat itu 
masih terus dibaca. Menyesakkan sekali..saat hadist-hadist rujukan disampaikan 
seputar peristiwa agung dan menjadi sebab turunnya perintah solat. 
"Solat..solat..solat..", adalah pesan terakhir Rasulullah ketika ajal 
menjemput. Solat pula yang pertama kali diperiksa kelak di yaumil hisab. Solat, 
yang membedakan seorang muslim dan kafir. Solat, yang menjadi syarat tegaknya 
keimanan dan saat bahasan solat dibuka, maka Al-Aqsha (yang akan hilang) pun 
tersebutkan. Menyesakkan..sesak..sesak..sesak! (upin-ipin mode on)



      

Kirim email ke