On Thu, 7 Aug 2003 17:07:52 +0700
[EMAIL PROTECTED] wrote:
 
> Mana yg lebih "kuat", kepemilikan perusahaan atau hak utk membuat
> peraturan ? Mana yg lebih penting pengaturan perusahaan (mikro) dg
> pengaturan negara (makro) dari sudut pandang pemerintah/negara ?
> Mana yg lebih disukai antara perusahaan yg selalu minta duit rakyat,
> dg perusahaan yg memberi barang dan jasa yg murah dan terjangkau oleh
> rakyat ?
> ----------
> Kuat secara de jure adalah yang makro, secara de-facto yang mikro.

Apa ini maksudnya ?

> Uang tidak mengenal batas geographis. 

Nah ini dia baru ngomong yg lebih realistis :-)
Apakah barang konsumsi, industri, informasi juga mengenal batas
geographis ?

> Bicara suka atau tidak suka mungkin lebih tepat untuk jangka pendek,  
> sementara jangka panjang lebih tepat baik tidak baik (dari sudut     
> pengembangan kompetensi  bangsa).

Apakah ada komitment dalam jangka waktu tertentu yg dibilang "tepat dan
baik" itu benar terjadi ?
Dulu banyak yg memberi "harapan" kepada rakyat, tp pada akhirnya rakyat
butuh yg "real" bukan cuma mimpi.
 
> Buat apa punya kontrol (mikro) perusahaan kalau perusahaannya bangkrut
> ? Apa untungnya bagi rakyat banyak kalau perusahaannya merugi terus ?
> --------
> Kontrol akan membuat perusahaan tidak bangkrut selama kontrol itu
> dijalankan dengan baik. 

Apa benar begitu ? Berapa lama memangnya menciptakan sistem kontrol itu
? KPKPN yg dimaksudkan utk monitor kekayaan negara agar ketahuan secara
dini kalau ada korupsi saja di bubarkan.

> Maka yang perlu diperbaiki adalah disini,
> bukan dengan cara gampang menjual, apalagi dengan harga murah.

Apa ukuran murah/mahal ? Dari sudut pandang mana dibilang murah/mahal ?
Jangan berhitung harga nomimal, hitung donk harga pasar.
Dijual murah saja yg berani beli hanya yg itu-2x saja, apalagi dijual
mahal ?

> Perusahaan tidak akan merugi terus kalau roda ekonomi perusahaan
> berputar. Bagaimana supaya berputar ? Dibutuhkan banyak hal, termasuk
> keberfihakan.

Omong kosong kalau yg disuruh berpihak hanya rakyat kecil, sementara
sebagian rakyat lain yg punya duit/kuasa justru boleh memilih :-) 
Kalau mau hidup "sementara sengsara", sama-2x donk.
 
> Itu kesalahan policy/kebijakan, saat itu kita menganut pola "membangun
> industri padat karya" bukan padat modal. Tidak ada hubungannya dengan
> soal pengelolaan perusahaan. (krn out context itulah saya tadi tidak
> menanggapi soal yg ini).
> PT DI juga begitukan ? Perusahaan ini mestinya "padat modal" akan
> tetapi dipaksakan jadi "padat karya", ya susah deh semua pihak :-(
> -------------------------
> Nah kalau policy yang salah, mari kita perbaiki  policynya. Kalau
> pengelolaan juga salah, mari kita benahi pengelolaannya. 

Ya coba aja ganti itu semua pengelola dan pembuat policy. Apa sudah ada
tendensi kearah itu ?

> Beri second chance untuk bangsa ini untuk maju. 

Emangnya belum pernah diberi kesempatan gitu ?

> Orang yang sudah nilep  BLBI saja diberi chnace ke dua ketiga dan    
> bahkan dibiarkan melenggang  kangkung.

Inilah "golongan berduit/berkuasa" yg saya sebut diatas, dan itu semua
karena KKN.

> Jangan cari jalan pintas yang sangat mudah, dengan melelang apa-apa
> yang sudah dibangun dengan susah payah.

Memangnya kalau dibiarkan 5 tahun lagi Indosat/Satelindo masih bisa
hidup ?
 
> Untuk Perancis, disana masih banyak swasta nasional yg punya duit utk
> beli perusahaan itu, disini siapa yg punya duit utk beli ? Konglomerat
> kitakah ?
> -------
> Ini dia nih salah satu problemnya. Kita tidak punya duit 3 trilyun
> untuk menyehatkan DI, tapi punya duit ratusan trilliun untuk
> "menyehatkan" bank-bank ??? 

Omnong kosong, duit yg diberikan ke Bank itu berupa obligasi rekap, cuma
berbentuk kertas doank, bukan real duit beneran. Yg diperlukan PT DI
duit beneran, bukan sekedar obligasi.

> Kita rela memberikan suntikan dana untuk kemudian dilarikan lagi     
> keluar oleh para konglomerat itu, tapi kita tidak rela memberikan    
> suntikan modal untuk penyehatan industri untuk membangun masa depan  
> kompetensi bangsa ini.

Modal darimana sih ? Mau dikasih kertas ?
 
> Nah ini dia nih,...Apakah kalau ada orang yang minta-minta sumbangan
> ke rumah kita kita harus jual rumah kita ?? 

Analoginya tidak tepat. Kita tidak menjual ke peminta sumbangan.

> Yang minta-minta inilah yang harus dibenahi, jangan timpakan salahnya
> kepada perusahaan saja.

Saya mungkin susah menjelaskan hal ini ke Anda, krn Anda belum pernah
"buka warung".

> Para pengambil keputusan di atas sana melihatnya adalah kalau
> perusahaan tertentu tidak bisa "diharap" lagi, si pembuat keputusan
> tadi tidak mau disalahkan. Yang disalahkan sang pengelola perusahaan,
> dan yang dikorbankan ujungnya adalah rakyat (baca : baik konsumen
> karena biaya tinggi, maupun karyawan, karena suatu saat perusahaan
> terpaksa ditutup karena tidak bisa menutupi biaya operasinya). Di satu
> sisi perusahaan dibebani tugas untuk mandiri dan profitable dalam
> waktu singkat, di lain sisi dibenani tugas pula untuk menampung tenaga
> kerja yang banyak, serta dibebani "permintaan-permintaan" tadi. Nggak
> ngikut, visi pengelola dan objective perusahaan akan kandas ditengah
> jalan, karena team akan diganti dengan orang yang nurut. Perduli setan
> perusahaan itu bisa survive (baca jangankan maju), toh kalau gagal,
> tinggal dicopot saja setelah terlebih dahulu disalahkan dan dihadapkan
> dengan karyawannya sendiri.

Itulah yg dirasakan BUMN kita, masak baru tahu ?
Jadi mungkinkah bisa maju ?
 
> heh bukan maksud saya mengatakan setiap kabupaten memerdekakan diri,
> akan tetapi kabupaten itu mestinya bisa punya kapasitas spt negara
> singapore :-)
> Bukankah Otonomi Daerah memberikan keleluasaan kepada Bupati utk
> melakukan apa-2x sendiri ?
> ------------
> Apakah otonomi daerah berjalan baik ? Masih perlu waktu bung. Otonomi
> daerah dijalankan separo hati oleh Pusat. Kebijakan sentralistik yang
> selama ini memusatkan semua potensi sumber daya manusia di Jawa
> (terutama Jakarta). "Otonomi" baru berjalan dua tahun (?)komentar yang
> muncul dari pusat sudah banyak, a.l. yang mengatakan daerah tidak
> mampu, arah mereka nggak jelas, dsb.dsb. Bahkan pilkada pun masih
> dicampuri banyak tangan-tangan dari pusat dengan segala agendanya.
> Apakah agenda ini untuk memajukan kapasitas daerah ? Ujung-ujung nya
> kita harap begitu. For now, I doubt it.

Bah tadi ngomong soal keberpihakan, ngomong soal second change, kok soal
OTODA first change saja nggak dikasih sih ?
 
> Baru dibangun ? Memangnya butuh berapa lama utk bisa survive ?
> Kalau saya berpendapat selama subsidi masih terus dilakukan maka
> mereka tidak pernah bisa survive, krn tidak pernah merasakan urgensi
> utk mempercepat pembangunan SDM, melakukan terobosan-2x krn sudah bisa
> hidup(termanjakan) dg subsidi.
> -------
> Berapa lama untuk bisa survive, sangat tergantung dengan banyak hal.
> Antara lain, pembebanan (ada apa nggak), keberfihakan (ada apa nggak),
> jenis industri, kapasitas perbankan untuk membantu financing, dsb.dsb.

Semuakan bisa dihitung dari awal, kenapa tidak dilakukan ?

> Merasakan urgensi membangun SDM ? Saya yakin ada beberapa pengelola
> BUMNIS yang demikian, ada juga yang tidak. Disinilah pentingnya fungsi
> komisaris(yang nota bene dari wakil pemerintah). Kalau progress report
> tahunan tidak baik, cepat-cepat ambil langkah dong. 

KKN bung KKN!

> Kalau rapor masih angka 6, minta dan bantu untuk meningkatkan menjadi
> 8, tapi kalau  rapor angka merah, yah ganti dengan yang lebih capable.
> Balik lagi,  salah satu kunci : Are we all stand on the right place ?
> Have we all  performed our duty ?

Jangan pernah mikir soal take it granted di negeri ini, itu cara barat.
Bisa melakukankan perbaikan secara konsisten saja sdh bagus kok.
 
> Subscontract donk, biar mereka dulu yg punya nama, kita yg produksi.
> Lihat tuh produknya Om Abbas yg bisa menembus pasar Timur Tengah.
> Produknya SPIJ diaccept tuh oleh Oil companies di Indonesia.
> ---------
> Setuju,ini satu jalan memang. Tapi belum tentu semua orang punya
> akses. Disinilah perlu dievaluasi. Seandainya bung Syafril jadi      
> komisaris KS misalnya, mungkin dalam rapat board ide-ide seperti ini  
> yang harus disuntikkan kepada Managementnya. Stimulate them, ingatkan,
> dan bantu kalau punya akses.

Wrong, salah besar!
Bukan komisaris yg perlu didengarkan melainkan "suara pasar", "suara
customer". Komisaris tahu apa sih ?
 
> Dan yg harus berkorban itu rakyat, subsidinyapun tidak sepenuhnya
> masuk ke bagian produksi melainkan "kantong lain" :-(
> KKN bung! KKN lah yg perlu dibereskan lbh dulu!
> ---------
> Ini lah sumber segala masalah. Maka itu ini kunci pertama, tapi tidak
> mudah merubahnya. 

Tidak ada yg mudah memang, tp sebenarnya yg namanya sulit krn kita belum
tahu, kalau sudah tahu ya jadi gampang.
Soal yg satu ini memang butuh kerja keras, konsisten, kaya invonasi,
diendorse oleh Pemimpin yg kuat, MPR/DPR yg kuat krn nampaknya KKN spt
sudah mendarah daging dibanyak anak bangsa ini :-(

-- 
syafril
-------
Syafril Hermansyah



--[YONSATU - ITB]----------------------------------------------------------
Online archive : <http://yonsatu.mahawarman.net>
Moderators     : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
Unsubscribe    : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
Vacation       : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>


Kirim email ke