Bung Doedoeng dkk,
Ketika SD kita belajar pribahasa, salah satunya "Gajah di pelupuk mata tak
tampak, kuman di seberang lautan tampak".

Memang, dengan mudah kita mengatakan bahwa terjadi korupsi besar-besaran
baik di Arab Saudi bahkan Iran, seolah kita melupakan bahwa di negeri kita
tercinta Indonesia bebas dari korupsi. 

Coba kita tengok ke belakang, terutama dalam kurun 32 tahun terakhir-telah
menjadi kebiasaan atau budaya yang menyenangkan bagi banyak orang. Kalau
kita mau cepat "memberantas korupsi", mungkin perlu diadakan pengadilan
kilat seperti revolusi Iran beberapa waktu lalu. Kalau perlu dihukum mati
seperti saat itu yang sampai memakan korban 5000 penjahat politik, baru
kemudian membangun bahkan cara seperti itu kini di China sedang diterapkan.
Lihat saja jadinya Iran sekarang sudah cukup bersih. 

Pernyataan keras seperti itu disampaikan oleh Prof. Dr. Muhammad Budyatna,
Guru Besar FISIP Universitas Indonesia yang sehari-harinya dikenal kalem,
dan tidak berpotongan vokalis, seperti laiknya mantan dosen Fakultas Teknik
UI seperti Dr. Sri Bintang Pamungkas, atau staf pengajar lainnya di FISIP UI
Drs. Arbi Sanit, dsb.

Bahkan tanpa bermaksud menganjurkan pertumpahan darah, Prof. Budyatna
mengajukan analogi pemberantasan korupsi di Iran sebagai ilustrasi betapa
sulitnya membersihkan pemerintahan Indonesia dari penyakit korupsi, kolusi
dan nepotisme yang sudah menggurita terutama dalam sekitar 20 tahun
belakangan ini. 

Jadi bahwa kita menuding pihak lain (Arab Saudi, Iran dsb) lebih parah dari
negeri kita rasanya kita patut introspeksi.

Agama mana pun khususnya Islam, saya yakin mengutuk tindakan korupsi dalam
bentuk apa pun. Bahkan dalam salah satu hadis meski hanya dinyatakan
"kutukan Allah terhadap penyuap dan pemberi suap", tetapi dalam kamus bahasa
Arab modern, risywah tidak hanya berarti "penyuapan" (bribery), tetapi juga
korupsi dan ketidakjujuran (dishonesty).

Disamping itu para ulama kontemporer menyepakati, risywah, berarti tidak
hanya korupsi "konvensional", tetapi juga mencakup bentuk korupsi lainnya,
yang bukannya tidak sering merupakan pencurian, bahkan perampokan.

Dalam ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang
bertentangan dengan prinsip keadilan (al-`adalah), akuntabilitas
(al-amanah), dan tanggung jawab. Sehingga korupsi dengan segala dampak
negatif yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan
masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan di muka
bumi, yang-sekali lagi-juga amat dikutuk Allah SWT.

Jika Islam amat membenci korupsi, mengapa tindakan-tindakan seperti itu
merajalela dalam masyarakat Indonesia yang mayoritas penduduk Muslimnya di
muka bumi. 

Coba kit abaca hasil berbagai survei yang dilakukan lembaga asing, seperti
Global Corruption Index atau Transparency International Index, juga yang ada
didalam negeri beberapa tahun terakhir yang menunjukkan, Indonesia termasuk
rangking teratas dalam peringkat korupsinya. Bahkan, tindak pidana korupsi
tidak lagi terpusat di Jakarta (Cendana..?), tetapi menyebar ke seluruh
daerah seiring dengan semangat Otonomi Daerah, yang ternyata menjadi
penumpang gelap dalam proses otonomisasi dan desentralisasi. Begitu kian
akutnya korupsi sehingga para pemerhati semisal Djohan Effendi (Kompas,
1/9/2003), T Gayus Lumbun (Kompas, 2/9/2003), dan Budi Darma (Kompas,
3/9/2003) memperlihatkan pesimisme mendalam tentang sulitnya pemberantasan
korupsi.

Lebih parah lagi, diperlihatkan International Country Risk Guide Index
(ICRGI)sejak tahun 1992-2000, indeks korupsi di Indonesia terus meningkat
dari 7 menjadi mendekati 9(tahun 2000). Kecenderungan yang sama terjadi di
Rusia, yang mayoritas penduduknya Kristen, dengan indeks hampir 9 (tahun
2000). Sementara itu negara-negara mayoritas berpenduduk Muslim lain seperti
Pakistan, Banglades, dan Nigeria juga memiliki indeks korupsi amat tinggi,
rata-rata di atas 7. Begitu juga negara-negara berpenduduk mayoritas
Kristiani, seperti Argentina, Meksiko, Filipina, atau Kolombia yang indeks
korupsinya juga di atas 7. Bahkan, Thailand yang mayoritas penduduknya
Buddha, indeks korupsinya juga hampir mencapai 8. Kumaha eui....

Sebaliknya Negara-negara lain yang juga mayoritas beragama Islam seperti
Iran & Arab Saudi (yang sedang kita diskusikan), Syria, atau Malaysia dengan
angka korupsi justru jauh lebih rendah dibanding Indonesia atau Pakistan. 
Saya pernah berkunjung ke museum Iran, yang sebelumnya adalah istana Syah
Iran Pahlevi yang memiliki areal sangat luas dengan lapangan terbang Pribadi
di dalamnya. Di depan museum tinggal patung sepatu boot terbuat dari
perunggu yang setinggi kita berdiri (bahkan lebih tinggi lagi), sedang
bagian paha ke atas dipotong setelah pada waktu Revolusi Iran.

Kalaulah Negara-negara Islam tersebut korup, tetapi mereka tidak merugikan
Negara lain secara langsung. Hal ini jelas sangat berbeda dengan apa yang
dilakukan Yahudi dengan melalui blue print "Draft Protocols of Zion" dengan
acuan bagi rencana kerja mereka membentuk "Tata Dunia Baru" (New world
order). Lihatlah dengan seksama pada lembar uang kertas satu dollar AS
tertulis "E Pluribus unum" (one world government-satu pemerintahan bumi),
sehingga tidak berlebihan jika Mahathir Muhammad mengatakan bahwa Yahudi
telah menguasai dunia. Protocol tersebut di atas, didengungkan sejak 1 Mei
1776 yang bertepatan dengan "Declaration of Independece" Amerika Serikat,
bahkan belakangan diperingati sebagai "Hari Buruh Internasional".  

Jadi menurut hemat saya, gambaran kasar tersebut memberi indikasi bahwa
tinggi-rendahnya korupsi tidak banyak berkait dengan agama, tetapi lebih
terkait dengan tatanan hukum yang jelas dan tegas yang diiringi penegakan
hukum berat terhadap para koruptor. Harus diakui, agama lebih merupakan
imbauan moral; meski agama juga memberi ancaman bagi pelaku yang melakukan
tindak jinayah (kriminal) seperti korupsi, hukuman itu umumnya hanya berlaku
di akhirat kelak.

Dalam Islam ada hukum syari`ah jinayah yang jika diambil alih menjadi hukum
positif nasional dapat menetapkan hukuman berat seperti potong tangan bagi
"pencuri" harta publik (koruptor) yang dapat diganti melalui wewenang
peradilan (ta'zir) dengan hukuman penjara seberat-beratnya yang berarti
menghilangkan "kemampuan" dan "kesempatan" untuk mencuri. Tetapi, dalam
negara majemuk seperti Indonesia yang bukan negara Islam, penerapan syariah
jinayah akan menimbulkan masalah-masalah tertentu.

Pada akhirnya, jika kita terlalu mengharapkan ajaran dan nilai agama dapat
melenyapkan korupsi mungkin itu harapan berlebihan. Mengingat, pengamalan
ajaran agama yang lebih merupakan moral appeal sering amat dipengaruhi
berbagai macam faktor dan realitas yang hidup dalam masyarakat. Bahkan,
harus diakui, ada ironi-ironi tertentu dalam realitas kehidupan beragama itu
sendiri.

Sebagaimana contoh pada bulan suci Ramadhan, semangat keber-agama-an
terlihat meningkat di Indonesia dalam dua dasawarsa terakhir, tetapi pada
saat yang sama berbagai bentuk korupsi dan penyakit-penyakit sosial lain
juga semakin mewabah. Lemahnya penegakan hukum, mewabahnya gaya hidup
hedonistis, tidak adanya political will dan keteladanan dari pejabat-pejabat
publik untuk memberantas korupsi, meski pada waktu kampanye memberikan janji
muluk-muluk tentang itu, ternyata korupsi kian merajalela. Karena itu,
dengan berbagai faktor terakhir yang mengakibatkan mewabahnya korupsi dan
penyimpangan-penyimpangan lain, maka rasanya tidak adil jika kita secara
simplistis mengkambinghitamkan agama.

Salam
Asodik

-----Original Message-----
From: [EMAIL PROTECTED] [mailto:[EMAIL PROTECTED] 
Sent: Wednesday, November 12, 2003 11:53 AM
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject: [yonsatu] Re: Iran (Re: Re: Sekularisme)

AWW.

Sempat baca kalau kebetulan ada di rumah atau kantor "senior"
yang berlangganan, atau di beberapa hotel tertentu. Kalau
langganan jelas belum kuat, gaji PNS tahu sendiri lah, kecuali
kalau korup (nau'dzubillahimindzalik).
"Barat"?, secara umum mereka yang memiliki world view
"westernisasi" dan memandang bahwa "timur" sebagai negara
terbelakang atau dunia ketiga. Kebetulan negara dunia ketiga
tersebut, mayoritas berpenduduk muslim. Dalam konteks ini,
Jepang pun menjadi "Barat". Mohon maaf kalau saya salah
mengidentifikasi.
BTW, Pak Djoni Saleh mohon share ke kita mengenai "Barat" dan
"Timur". Ditunggu dech.
Wassalam. DZArifin.



>
> Pemerintah Barat!?!?
> Emang suka baca AWSJ enggak?
>
> Itu majalah Asia (atau Timur deh, kalau kepingin pakai mata
> angin). Nggak ada hubungannya sama pemerintah mana-mana,
> apalagi pemerintah Barat (whatever "Barat" means).
>
> Tapi jangan-jangan ada hubungannya kalau sama Yahudi sih, ha
> ha ha... (Orang muslim Arab, kalau tersudut, kambing
> hitamnya kan pasti Yahudi. Ada copet di Masjidil Haram,
> askarnya nggak mampu nangkap, bilang aja itu copet Yahudi.
> Maka kata Mahathir, Yahudi menguasai dunia karena kaum
> muslimin umumnya bodoh, dan belum-belum sudah minder sama
> Yahudi).
>
> Wasalam.



___________________________________________________________
indomail - Your everyday mail - http://indomail.indo.net.id



--[YONSATU - ITB]----------------------------------------------------------
Online archive : <http://yonsatu.mahawarman.net>
Moderators     : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
Unsubscribe    : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
Vacation       : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>


--[YONSATU - ITB]----------------------------------------------------------
Online archive : <http://yonsatu.mahawarman.net>
Moderators     : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
Unsubscribe    : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>
Vacation       : <mailto:[EMAIL PROTECTED]>


Kirim email ke