Telah dimuat pada Harian Seputar Indonesia, 16 Juni 2008
 
 
Negara Kalah dan Politik Imparsialisme 
Oleh Victor Silaen
 
     Teori politik mengatakan: negara yang kian mengalami 
reformasi dan demokratisasi niscaya kian modern secara politik. Seiring waktu 
pengelolaan negara itu pun niscaya makin bertumpu pada rasionalitas dan 
sekularisme. Dengan rasionalitas berarti semua pertimbangan kalkulatif makin 
dikedepankan. Dengan sekularisme bukan berarti agama-agama dijauhkan dari 
kehidupan, melainkan dijaga jarak politiknya agar tidak leluasa mengintervensi 
urusan-urusan bernegara. Atau sebaliknya, agar jangan negara secara leluasa 
mengintervensi urusan-urusan agama dan keberagamaan. 
 
     Apakah Indonesia pasca-Soeharto sudah semakin 
demokratis? Tak usah diragukan. Buktinya, Indonesia telah dianugerahi The 
Democracy Award oleh President of International Association of Political 
Consultants (IAPC) Ben Goddard pada saat pembukaan Konferensi IAPC ke-40 di 
Nusa Dua, Bali, 12 November 2007. Saat itu tepuk gemuruh mengiringi Presiden 
Yudhoyono, yang mewakili rakyat Indonesia, naik ke atas panggung untuk menerima 
medali demokrasi itu. 
 
     Di bidang politik, pencapaian Indonesia memang luar 
biasa. Dalam waktu kurang dari sepuluh tahun pasca-lengsernya sang pemimpin 
yang kontra-demokrasi, Indonesia telah mampu mengukuhkan dirinya sebagai salah 
satu negara demokratis terbesar di dunia. Namun janganlah jumawa, karena semua 
itu lebih banyak berkaitan dengan aspek sistemik, struktural, dan prosedural 
belaka. Jadi, kita masih perlu mempertanyakan terus-menerus perihal sedalam apa 
budaya demokrasi telah dihayati dan diejawantahkan di tengah kehidupan 
bernegara dan bermasyarakat. Semakin bertumpukah para pemimpin negara dan elit 
politik pada rasionalitas dan sekularisme? Apakah mereka telah sungguh-sungguh 
menjadi negarawan yang memandang rakyatnya secara imparsial sebagai warga 
negara yang setara dan bukan sekumpulan umat beragama? Apakah mereka telah 
semakin mampu memilah-milah mana yang domain negara dan mana yang bukan? 
 
     Minggu 1 Juni kita berduka karena hari lahir 
Pancasila, ideologi yang telah memayungi kebhinekaan Indonesia selama ini, 
ternoda oleh sekelompok massa berlabel agama yang beraksi anarkis dikarenakan 
tuntutan mereka agar Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) dibubarkan tak kunjung 
dikabulkan negara. Senin 9 Juni kita kembali berduka karena Indonesia telah 
menjadi negara kalah, sebab pemerintah mengeluarkan sebuah keputusan yang 
merenggut kebebasan JAI dalam berkeyakinan dan mengamalkan keyakinannya. 
 
     Tak dapat dimungkiri bahwa keputusan tersebut ”lebih 
cepat” dikeluarkan karena dipicu Insiden Monas 1 Juni itu. Sebab, konsep 
keputusan itu sebenarnya masih ditimbang-timbang secara kalkulatif dari 
berbagai sisi. Tak heran jika sebelum 1 Juni, substansi konsep keputusan itu 
sudah diketahui para aktivis pro-kebebasan beragama. Dan ternyata, dibandingkan 
dengan substansi keputusan pemerintah 9 Juni itu, relatif tak berbeda. Jadi 
artinya, kalau saja tak terjadi Insiden Monas, sangat mungkin keputusan 
tersebut masih akan lama dikeluarkan. 
 
     Boleh jadi pemerintah juga didorong oleh rasa ”malu” 
karena Insiden Monas sampai mengundang tanggapan dunia internasional. Salah 
satunya adalah pernyataan resmi dari Kedubes AS di Jakarta, yang berbunyi: 
”Tindakan bengis semacam itu berdampak serius bagi kebebasan beragama dan 
berkumpul di Indonesia, serta meningkatkan kekhawatiran-kekhawatiran di bidang 
keamanan.” Kedubes AS menyambut baik pernyataan Presiden Yudhoyono yang meminta 
agar dilakukan tindakan hukum terhadap mereka yang bertanggung jawab atas 
kekerasan tersebut. “Kami mendesak Pemerintah Indonesia agar tetap menjunjung 
tinggi kebebasan beragama bagi seluruh warga negaranya sebagaimana diamanatkan 
konstitusi,” demikian diungkapkan Kedubes AS. 
 
     Sementara di dalam negeri, massa Front Pembela Islam 
(FPI) dan pelbagai pihak yang anti-JAI kian berani mendesak pemerintah agar 
segera mengeluarkan keputusan pembubaran JAI. Pada saat bersamaan, Panglima 
Komando Laskar Islam Munarman, yang diduga kuat sebagai penanggungjawab aksi 
anarkis 1 Juni itu, pun bersuara lantang agar pemerintah segera mengeluarkan 
keputusan pembubaran JAI sebagai “syarat” sebelum menangkap dirinya. 
 
     Polisi pun bertindak. Sejumlah aktivis FPI diciduk, 
termasuk pemimpinnya, Habib Rizieq. Namun yang tak masuk di akal, keberadaan 
Munarman tak mampu dideteksi polisi. Sangat mungkin inilah faktor yang 
mendorong pemerintah akhirnya mengambil langkah spekulatif mengeluarkan 
keputusan untuk JAI seraya berharap kalau-kalau dengan begitu akhirnya Munarman 
menyerahkan diri. Benarlah, hanya selang beberapa jam setelah pemerintah 
mengumumkan keputusannya, Munarman pun melenggang ke markas Polda Metro Jaya. 
  
 
     “Sandiwara apakah yang sedang dimainkan SBY?” 
Begitulah pesan singkat yang beredar di sejumlah kalangan. “Saya tak tahu,” 
begitulah balasan saya atas pesan singkat yang saya terima itu. Sejujurnya, 
saya memang tak berburuk sangka bahwa pemerintah sedang bersandiwara di balik 
kasus ini. Saya hanya menganalisa berdasarkan sejumlah fakta dan data selama 
ini, bahwa Indonesia hari ini telah menjadi negara kalah. 
 
     Alasannya, karena meski telah semakin demokratis, 
namun Indonesia masih tak mampu memilah-milah mana yang domain negara dan mana 
yang bukan. Indonesia ternyata belum dikelola dengan mengedepankan rasionalitas 
dan sekularisme. Buktinya: ranah agama pun diintervensinya. Memang, pemerintah 
berdalih bahwa mereka tidak mengintervensi ranah yang sakral itu. Pemerintah 
hanya mengurusi ranah yang profan, dengan cara meredam gejolak yang berpotensi 
menimbulkan konflik antarumat. 
 
     Benarkah demikian? Tetapi mengapa dalam keputusan itu 
disebut-sebut tentang “penafsiran tentang suatu agama” dan “kegiatan 
keagamaan”? Kitab apakah yang dijadikan rujukan pemerintah dalam hal ini? 
Bukankah seharusnya pemerintah hanya mengacu pada Pancasila dan UUD 45 yang 
secara hirarkis berkedudukan lebih tinggi dari perundang-undangan dan peraturan 
manapun? Apakah di dalam dasar negara dan konstitusi negara itu dapat ditemukan 
kalimat-kalimat yang secara tegas menyebutkan pemerintah berwenang mengurusi 
soal “penafsiran tentang suatu agama” dan “kegiatan keagamaan”? Apakah di 
jajaran pemerintah sendiri ada pejabat-pejabat yang bisa diposisikan sebagai 
ahli-ahli agama, sehingga mereka berwenang merekomendasikan sekelompok umat 
beragama sebagai “sesat”?
 
     Indonesia hari ini adalah Indonesia yang tak mampu 
menjaga kewibawaan hukumnya sendiri. Indonesia hari ini adalah negara yang 
terkalahkan oleh kemauan kelompok-kelompok tertentu di masyarakat, yang 
seharusnya dipandang sebagai warga negara yang setara dan bukan sebagai umat 
beragama -- apalagi yang mewakili seluruh komunitas umat beragama itu. 
 
     Dalam rangka mewujudkan keadilan bagi semua, 
seharusnya pemerintah membuat kebijakan dan keputusannya berdasarkan politik 
imparsialisme (O’Neill, 1991). Dengan itu berarti proses dan pergulatan politik 
yang melatarbelakangi pembuatan kebijakan dan keputusan itu haruslah menolak 
asas keberpihakan atau rujukan kepada prinsip-prinsip yang tidak bisa 
diadaptasi oleh semua pihak. Untuk itu mungkin perlu didengarkan 
argumentasi-argumentasi rasional dari perspektif dan paradigma yang lain. 
Mungkin lama dan melelahkan, namun dengan begitulah niscaya dapat direduksi 
pelbagai ketidakseimbangan dan prasangka yang mendelegitimasi pemerintah.  
 
     Pasca-keputusan JAI, ternyata masih banyak pihak yang 
menuntut agar JAI dibubarkan. Entahlah bagaimana pemerintah akan meresponinya. 
Jika nanti pemerintah lagi-lagi tidak melandasi kebijakannya dengan politik 
imparsialisme, maka Indonesia bukan saja telah menjadi negara kalah. Lebih dari 
itu Indonesia telah menjadi negara gagal, karena mengingkari komitmen awalnya 
untuk menjadikan negara ini “rumah bagi semua” – sesuai semboyan “bhineka 
tunggal ika”. 
 
* Dosen Fisipol UKI, pengamat sospol.


      

Kirim email ke