Berita tentang Dede Oetomo di Sekolah Mandala, jl. Putro Agung II no.6 
Surabaya. 
------------------------------------------------------------------------
Ketika Dede Oetomo masuk sekolah.


Saat homoseksual kembali diributkan karena seorang pembunuh
bernama Ryan, Dede Oetomo berangkat ke sekolah. Bukan untuk belajar
membaca, tapi untuk berdiskusi dengan para guru dan orang tua murid
di Mandala. Tempat yang mencakup TK, SD dan SMP ini adalah sebuah
sekolah kecil di Surabaya. Letaknya-pun tidak di jalan besar seperti
kebanyakan sekolah-sekolah lainnya. Tapi, di kampung, dengan
beberapa perempuan tua yang suka leyeh-leyeh di pelataran.

Sekolah ini memang tidak mencoba untuk menjadi sekolah mewah.
Sebagai penasehat sekolah, saya sendiri sudah bosan dengan
penampilan dan jubah mahal, tapi isi melompong.

Dengan isi manusia seperti Dede Oetomo inilah, saya dapat berbangga.
Walau niat ini tadinya ditentang. Salah satu orang tua sempat
protes: "Bukankah Dede itu gay?". Tanpa ingin tahu apa yang akan
Dede utarakan, tanpa pernah bertemu dengan Dede, orang ini sudah
menolak. Alasannya, kekuatiran bahwa ke-gay-an Dede dapat
ditularkan. Dia memutuskan untuk tidak hadir ketika Dede mampir di
sekolah ini pada hari Minggu, 27 Juli untuk berdiskusi
tentang "Pengasuhan Anak dan Kenyataan Sosial Mengenai Seksualitas".

Mengapa Dede menghubungkan pengasuhan anak dengan kenyataan
seksualitas? Karena seksualitas adalah aspek inti dari manusia,
yang mencakup hal-hal yang luas, antara lain identitas, orientasi
seksual, kemesraan, dan reproduksi. Hal-hal yang menyangkut
seksualitas tak mungkin ditutupi.

Namun, kata Dede, yang sering terjadi adalah penabuan diskusi
seksualitas sehingga mayoritas anak-anak dan remaja mendapat
informasi tentang seksualitas dari teman, film erotik, buku atau
pacar. Dari orang tua tidak ada, alias nol persen.
Padahal studi tentang kawula muda di 4 kota besar di Indonesia
mengungkap bahwa hubungan seksual pertama dilakukan cukup dini -16%
dari responden melakukan hubungan seksual pertama pada usia 13–15
tahun, 44% pada usia 16–18 tahun, 32% pada usia 19–21 tahun, dan 8%
pada usia 22–24 tahun. Dari para remaja ini, 66% mengatakan bahwa
teman mereka pernah hamil.

Anehnya, mereka yang telah aktif secara seksual terkadang tidak
punya pengetahuan yang memadai tentang seks. Hanya 52% mempunyai
gambaran yang benar tentang bagaimana kehamilan terjadi. Bahkan
beberapa remaja yang hamil di luar nikah sempat heran mengapa mereka
dapat hamil padahal belum nikah. Di benak mereka, hanya pernikahan
resmi saja yang dapat menyebabkan kehamilan. Jadi, mereka kawin
berkali-kali tanpa takut hamil.

Menurut Dede, orang tua seharusnya terbuka tentang seksualitas,
termasuk keanekaragaman seks, sehingga bila anak bertanya mereka
tidak merasa diremehkan atau dibohongi. Sambung Dede: "Ide-ide orang
muda tentang seksualitas dipengaruhi tidak saja oleh apa yang
dikatakan, melainkan juga oleh apa yang tidak dikatakan, bagaimana
mengatakannya, dan sikap tak terucap yang diungkapkan dengan sadar
atau tidak". Bila orang tua terburu-buru membungkam dan bahkan
menyemprot anak yang bertanya, seksualitas menjadi hal yang harus
disembunyikan bagi si anak. Akhirnya, mereka lebih suka main petak
umpet, dan kecelakaan lebih mudah terjadi.

Tentu saja ide "keterbukaan" ini menjadi bahan perbincangan antara
Dede dan beberapa orang tua murid. Salah satunya menanyakan tentang
bocah lelaki yang suka merias diri, dan kemudian menjadi waria. Bagi
Dede, semua anak mempunyai keistimewaan, siapapun anak tersebut. Apa
salahnya menjadi waria yang sukses? Boy George adalah salah satu
contoh dari sekian banyak.

Memang masih ada kecenderungan untuk memojokkan golongan minoritas.
Karena itulah, orientasi seksual Ryan, pembunuh yang memutilasi
korbannya, menjadi pembahasan seru. Bahkan, beberapa orientasi
seksual terkadang dianggap seperti penyakit yang bisa menular.

Hari itu, tentu saja tidak ada yang tertular ke-gay-an Dede.
Keponakan saya yang masih duduk di bangku SMP dan telah saya ajak
beberapa kali untuk bertemu Dede dan ke kantor GAYa Nusantara-pun
tidak pernah ditulari para LGBT yang amat ramah dengannya.

Yang didapat oleh keponakan saya dari perkenalan dengan Dede Oetomo
dan para LGBT ini justru pelajaran yang sangat berharga: bagaimana
mereka yang masih sering dipojokkan oleh masyarakat dapat menerima
diri mereka. Bagaimana orang-orang ini dapat bangga akan diri mereka
yang sempat ditolak.

Dari sini, keponakan saya dapat lebih percaya diri, dan tidak
memandang perbedaan dirinya dengan teman sebayanya sebagai kelainan,
kekurangan, ataupun kecacatan. Karena menolak golongan minoritas
adalah ketidak mampuan untuk menerima sesuatu yang dianggap lain
dari kebanyakan, termasuk menghargai perbedaan diri kita sendiri.
Padahal setiap orang selalu mempunyai rasa berbeda bahkan kurang
dari yang lain dalam suatu masa. Membuka diri akan perbedaan
seseorang adalah salah satu hal yang dapat dipelajari dari bincang-
bincang dengan Dede Oetomo.

Lalu, bagi orang-orang yang menolak Dede dan tidak datang ke diskusi
ini? Rasanya, salah satu kesempatan emas telah dilewatkan oleh
mereka-mereka ini. Karena dengan menolak Dede, mereka tanpa sadar
juga telah menolak salah satu sisi dalam diri mereka.

Penulis: Dr. Soe Tjen Marching, penasihat sekolah Mandala di Surabaya.




      
___________________________________________________________________________
Yahoo! sekarang memiliki alamat Email baru.
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail. 
Cepat sebelum diambil orang lain!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/

Kirim email ke