http://www.wahidinstitute.org/indonesia/content/view/801/52/

Perda Bernuansa Agama dan Masa Depan Demokrasi Indonesia, Sebuah Sketsa



Oleh Ahmad Suaedy
Hadirnya berbagai Peraturan Daerah (Perda) bernuansa agama sejak
demokratisasi dan desentralisasi Indonesia paka Orde Baru telah membetot
perhatian banyak kalangan. Sebagian besar mengkhawatirkan bahwa fenomena ini
akan menjadi titik balik bagi demokratisasi, yaitu munculnya benih-benih
diskriminasi dan pengabaian kesataraan semua warga negara di depan hukum
dalam Indonesia yang menganut negara hukum, bahkan hendak mengubah Indonesia
menjadi negara yang berdasarkan agama (Islam).

Kekhawatiran demikian sangat beralasan mengingat didirikannya negara
Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945--dengan segala amandemennnya,
justeru dimaksudkan sebagai dasar bagi negara demokrasi yang menjunjung
tinggi kesamaan warga negara di depan hukum. Di beberapa daerah, praktik
dari Perda dan aturan-aturan tersebut telah memberikan efek diskriminasi
bagi pelayanan publik yang sangat nyata (Subair Umam dkk, 2007).

Namun bagi para pendukungnya, proses ini adalah bagian dari perjuangan
mereka yang belum selesai bagi didirikannya Indonesia itu sendiri. Kegagalan
di tingkat nasional untuk mengubah Indonesia menjadi negara agama (Islam)
mendorong mereka untuk mengubah startegi dengan "desa mengepung kota", yaitu
memunculkan berbagai aturan yang bernuansa agama di derah-daerah untuk
mengubah pondasi negara Indonesia menjadi negara berdasarkan agama Islam
(Haedar Nasir, 2007).

Namun secara historis, fenomena masuknya berbagai unsur hukum agama
(khususnya Islam) ke dalam sistem hukum nasional sesungguhnya telah terjadi
sejak negara Indonesia itu sendiri berdiri. Pengamatan Ratno Lukito (2003),
menunjukkan bahwa, meskipun pada dasarnya hukum adat dan hukum Islam
memiliki kesempatan yang sama untuk mewarnai perkembangan hukum nasional
tetapi hukum Islam selalu lebih memenangkan kompetisi dari persiangan
keduanya. Dengan kata lain, dalam sejarah perkembangan hukum Indonesia,
hukum Islam lebih mewarnai hukum nasional ketimbang hukum adat, seperti
hukum perkawinan dan waris, dan bahkan hukum ekonomi seperti lahirnya Bank
Muamalat dan UU Zakat di tahun 1990an (Robert Hefner, 2003).

Sebagai isu publik, ada kecenderungan bahwa penerapan Syariah Islam makin
tidak populer. Ini diindikasikan bahwa beberapa kepala daerah seperti di
Cianjur, Jawa Barat dan Bulukumba di Sulawesi Selatan, serta pemilihan
Gubernur Sulawesi Selatan itu sendiri, calon-calon yang mengusung penerapan
Syariah Islam kalah dalam pemilihan langsung (pilkada). Tetapi penerapan itu
justeru berjalan dengan cara semacam mainstreaming dan creeping. Departemen
Agama dan Departemen Hukum dan HAM, misalnya, sedang menyiapkan setidaknya
tiga RUU (Rancangan Undang-undangan) tentang apa yang disebut "Syari'ah
Islam Terapan," yaitu tentang Pernikahan, Kewarisan, dan Wakaf yang
ketiganya problematik dari segi hubungan antar warganegara yang berbeda
agama. Berbagai unsur Syari'ah juga muncul dalam beberapa rancangan
undang-undang dan peraturan, baik di pusat maupun di daerah tanpa muncul di
debat publik.

Para pendukung penerapan Syariah Islam tidak lagi menfokuskan pada
perjuangan di ranah publik melainkan di ranah praktis strategis, maka yang
sedang terjadi adalah perebutan berbagai jabatan strategis oleh para
pendukung penerapan Syariah Islam. Partai-partai politik yang berbasis
ideologi Islam pun seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan
Bintang (PBB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) cenderung
menyembunyikan agenda penerapan Syariah sebagai debat dan diskusi publik.
Bahkan akhir-akhir ini PKS cenderung hendak merangkul sebanyak mungkin
masyarakat pemilih dengan mengedepankan isu pluralisme dan kebhinekaan.

Tetapi dalam praktiknya, para eksponen partai-partai itu, baik di masyarakat
maupun di birokrasi bekerja secara sistematis untuk memasukkan unsur-unsur
Syari'ah Islam ke dalam hukum atau perundang-undangan dan berbagai peraturan
pemerintah, baik secara undang-undangan dan aturan tersendiri maupun menjadi
bagian dari perundang-undangan dan aturan secara umum.

Tiga partai yang disebut di atas adalah the inner ruling parties, di samping
Partai Demokrat (PD) yang didirikan oleh SBY (Susilo Bambang Yudoyono), yang
sedang berkuasa sekarang ini. Karena itu mereka memiliki kesempatan yang
cukup besar untuk merencanakan dan melakukan mainstreaming agenda-agenda
tersebut tanpa harus membawa isu-isu ke ranah dan debat publik.
Kecenderungan pengabaian dan kelemahan pengetahuan tentang Islam oleh SBY
dan PD, maka peran partai-partai itu cenderung menguat memanfaatkan status
dan kedekatan dengan kekuasaan. Berbagai prediksi meningkatnya perolehan
suara partai-partai tersebut, khususnya PKS, dengan sendirinya akan
memperkuat arus mainstreaming dan creeping tersebut.

Secara kuantitatif, Robin Bush (2007) telah menghitung maraknya Perda yang
bernuansa agama (khususnya Islam) akhir-akhir ini, , mislanya, berjumlah
sekitar 78 Perda, di 52 Kabupaten dan Kota, tidak termasuk SK Bupati,
Walikota dan Gubernur dan draf yang belum diputuskan oleh DPRD. Maka, jika
pertumbuhan itu terus berlanjut, mau tidak mau memang mungkin akan
memengaruhi arah perkembangan hukum nasional. Keputusan Mahkamah Agung yang
menolak Judicial Review atas Perda Tangerang (Nurun Nisa dkk, 2007) tentang
anti prostitusi yang diskriminatif terhadap perempuan dengan alasan bukan
ruang lingkup MA, telah menimbulkan kehawatiran lebih besar tentang
perkembangan tersebut.

Beberapa dimensi munculnya Perda-perda bernuansa agama
Tilikan yang cukup hati-hati akan sampai pada pemikiran bahwa, sesungguhnya
tidak ada single factor dalam fenomena ini, melainkan harus dilihat dari
beberapa sudut pandang dengan memilah-milah sejumlah faktor yang
memengaruhinya. Bush, misalnya, menunjuk ada beberapa faktor tumbuh suburnya
Perda-perda bernuansa agama tersebut. Faktor-faktor tersebut adalah (a)
faktor sejarah dan budaya lokal. Menurut Bush, tumbunya berbagai perda
bernuansa agama (Islam) ada hubungannya dengan daerah-daerah yang memiliki
sejarah dengan DI/TII.

(b) Daerah-daerah yang memiliki potensi korupsi tinggi, sehingga bisa
diprediksikan bahwa perda atau kebijakan tersebut sebagai bagian dari upaya
menutupi korupsi yang dilakukan oleh para politisi, baik di eksekutif maupun
legislatif. (c) Pengaruh lokal politik. Ini terjadi misalnya ketika seorang
politisi ingin menyalonkan diri sebagai kepala daerah atau seorang incumbent
hendak mencalonkan diri lagi menjadi calon kepala daerah periode berikutnya.
Maka salah satu alat untuk menarik para pemilih adalah dengan cara
menawarkan diterapkan perda-perda bernuansa agama.

(d) Kelemahan kalangan politisi tentang kemampuan untuk menyusun sebuah
peraturan dan tiadanya visi untuk menyejahterakan masyarakat, sementara di
lain pihak adanya kesempatan politik yang luas dan kekuasaan yang cukup
untuk membuat berbagai peraturan. Tiadanya kemampuan untuk menggali isu-isu
strategis untuk menyejahterakan rakyat dan lemahnya kemampuan untuk menyusun
sebuah peraturan tentang pemerintah yang baik (good governance), lalu
menjadikan referensi agama sebagai sesuatu yang penting untuk dijadikan
aturan.

Sementara itu, menurut Arskal Salim yang dikutip dalam Bush, menunjukkan
setidaknya ada tiga kategori perda bernuansa agama ini. a) Perda-perda yang
berkaitan dengan isu keprihatinan publik (public order) atau pengaturan
moral masyarakat seperti perda tentang anti perjudian, anti prostitusi dan
anti minuman keras. Sesungguhnya isu demikian bukan hanya menjadi
keprihatinan dan komitmen orang beragama tertentu melainkan hampir semua
orang dengan motivasi masing-masing.

b) Aturan-aturan yang berkaitan dengan keterampilan beragama dan kewajiban
ritual keagamaan. Aturan ini seperti aturan tentang kewajiban bisa baca
Al-Qur'an, membayar zakat dan sebagainya. Aturan ini spesifik ditujukan
untuk orang-orang Islam. Sedangkan (c) adalah aturan yang berkaitan dengan
simbol-simbol keagamaan seperti kewajiban memakai jilbab bagi perempuan dan
baju koko bagi laki-laki di hari Jumat. Aturan terakhir ini, pada praktiknya
sering menimbulkan diskriminatif baik dalam pelayanan publik oleh pemerintah
maupun di kalangan masyarakat sendiri. Bukan hanya kepada orang non-Muslim
melainkan bahkan diskriminatif terhadap kalangan Islam sendiri.

Beberapa Pertimbangan untuk merespon
Dengan berbagai kenyataan di atas, penulis berpikir bahwa respon terhadap
fenomena maraknya Perda dan berbagai aturan yang bernuansa agama, khususnya
Islam, tidak bisa direspon hanya dari satu sudut pandang dan strategi
tunggal semata. Peraturan-peraturan tersebut tampaknya harus dilihat kasus
per kasus dengan segala latar belakang dan konteks politiknya masing-masing.
Respon yang terlampau general dan gebyah uyah terhadapnya akan berisiko
tertinggalnya berbagai hal penting dan tidak tuntas. Langkah demikian juga
akan melahirkan kritik dan mungkin advokasi yang proporsional.

Pertama-tama, perlu terlebih dahulu diberi ukuran paradigmatik dan substansi
tentang perda-perda atau aturan-aturan tersebut dengan argumen yang
memadahi. Misalnya, dasar negara Pancasila dan UUD 1945 dengan segala
amandemannya adalah ukuran utama, sedangkan prinsip-prinsip hak asasi
manusia harus pula ikut mendukungnya. Dalam aturan-aturan yang dikategorikan
sebagai public order atau keprihatinan umum seperti perjudian, prostitusi
dan minuman keras sangat sulit untuk direspon ke tingkat substansi dan
paradigamtik seperti itu, karena ia menjadi keprihatinan dan komitmen
bersama masyarakat.

Yang harus dilakukan terhadap aturan semacam ini adalah pemantauan atas
tujuan dan langkah-langkah penerapannya, misalnya pelarangan yang tanpa
jalan keluar sehingga menimbulkan pengangguran massal dan penderitaan. Juga
cara-cara penegakannya (enforcement), misalnya menggunakan cara-cara
kekerasan dan kriminalisasi yang berlebihan serta diskriminatif. Dengan
demikian advokasi yang dilakukan pun akan lebih memenuhi sasaran. Tanpa ada
ukuran yang nyata dan respon yang terukur seperti itu dikuatirkan akan
terjadi perdebatan yang tanpa ujung pangkal.

Ukuran berikutnya adalah prosedur pembuatan dan landasan atau konsideran
dari aturan-aturan tersebut. Salah satu ukuran penting dalam hal ini adalah
UU no. 10 tahun 2004 tentang prosedur pembuatan perundang-undangan, termasuk
di dalamnya Perda dan aturan lainnya. Konsistensi konsideran yang mendasari
aturan-aturan tersebut penting untuk diuji dengan landasan hukum yang
berlaku di Indonesia. Ini penting mengingat, ada beberapa Perda yang diduga
kuat hanya merupakan fotocopy dari daerah lain sehingga mengabaikan
partisipasi masyarakat yang penuh sebagaimana diatur dalam UU tersebut dan
niat baik tentang usaha menyelesaikan masalah sosial di daerah itu.

Di samping itu, juga ada beberapa aturan seperti SK Bupati dan Walikota yang
mendasarkan, misalnya, pada Fatwa MUI atau pendapat sekelompok orang dengan
mengabaikan landasan hukum yang ada. Dengan ukuran demikian, usaha untuk
melakukan advokasi akan terfokus pada kesalahan dan penyimpangan aturan itu
tanpa harus mengangkatnya terlalu tinggi pada level konstitusi, misalnya.

Ukuran berikutnya adalah konteks politik lokal. Jika memang terbukti bahwa
Perda atau aturan sejenis benar- benar hanya komoditi politik seorang
politisi untuk tujuan meraih jabatan tertentu, advokasi bisa difokuskan pada
komoditifikasi politik tersebut. Di Sulawesi Selatan dan Cianjur, misalnya,
terbukti bahwa "dagangan" Syari'ah Islam tidak memberikan dampak signifikan
bagi terpilihnya seorang pasangan Gubernur dan Bupati. Daerah yang terkenal
"maniak" Syari'ah Islam  itu justeru memilih pasangan Gubernur-Wakil
Gubernur yang mengusung visi pluralisme dan toleransi dan Bupati yang tidak
mengusung isu itu.

Terkadang masalah politik memang menjadi masalah besar dan ini menuntut
keberanian dan visioner dari para pemegang pemerintahan di pusat. Tetapi
kenyatannya itu tidak dilakukan. Secara teoritik, SK-SK Bupati, Wakilkota
dan Gubernur yang secara hukum tidak prosedural, misalnyadengan mendasarkan
pada fatwa MUI, dan juga Perda-perda yang menyimpang seharusnya cukup
dibatalkan oleh Mendagri. Tetapi karena kandungan politiknya tinggi maka
pemerintah lebih memilih diam, kuatir dengan reaksi polittik yang akan
menjatuhkan kepercayaan masyarakat.

Diperlukan tekanan politik yang besar kepada pemerintah untuk melakukannya.
Namun hasil riset yang dilakukan the Wahid Institute (2008) keseluruhan dari
fenomena itu menunjukkan lemahnya civil society untuk menekan para politisi
dan pemerintah untuk lebih memberikan perhatian kepada isu-isu publik
seperti kemiskinan, keadilan dan korupsi ketimbang isu-isu semu dan
memuaskan sentimen kelompok semata.

Karena itu di samping memang diperlukan adanya reformasi terhadap hukum
Islam itu sendiri (Abdullah An-Na'im, 2007), gerakan civil society untuk
mengusung isu-isu substansial berdasarkan, meminjam istilah Na'im, public
reason justeru untuk mengaktualkan substansi dari nilai-nilai Islam itu
sendiri. Kelompok seperti ini sesungguhnya sudah lama terbentuk dan  bekerja
di banyak sektor dan merata di hampir kelompok masyarakat, baik yang sejak
awal mengusung nilai Islam secara langsung untuk mendukung demokrasi maupun
yang berangkat dari tantangan sosial umumnya. Namun kelompok ini sering
terbentur pada terbatasnya kemampuan untuk memonbilisasi massa secara
langsung dan terkonsentrasinya sumber-sumber daya kekuasaan di tangan
pemerintah dan parlemen (Suaedy, 2007).***

*Penulis adalah Direktur Eksekutif the WAHID Institute.
** Kertas kerja ini disampaikan dalam Asia Calling Forum "Islam dan
Demokrasi di Asia Selatan" Jakarta, 13-15 Agustus 2008.

Beberapa Bacaan Pokok:

Abdullahi Ahmed An-Na'im, 2007, Islam Dan Negara Sekuler, Menegosiasikan
Masa Depan Syari'ah, Mizan: Bandung.
Gamal Ferdhi dkk., 2006, "Depancasialisasi Lewat Perda SI," Suplemen the
Wahid Institute dalam Majalah GATRA, 29 April 2006.
http://www.wahidinstitute.org/indonesia/images/stories/SUPLEMENGATRA/gatraedisi-vii.pdf
.
Haedar Nahir, 2007, Gerskan Islam Syariat, Reproduksi Salafiyah Ideologis di
Indonesia," PSAP, Jakarta.
Nurun Nisa dkk, 2007, "Bersama Menolak Perda Diskriminatif, " dalam NAWALA
the Wahid Institute,
http://www.wahidinstitute.org/indonesia/images/stories/Nawala/nawala-v.pdf.
-----, 2007,  "Perda SI: Aspirasi atau Komoditi," dalam NAWALA the Wahid
Institute,
http://www.wahidinstitute.org/indonesia/images/stories/Nawala/nawala-i.pdf.
Retno Lukito, 2003, "Law and Politics in Post-Independence Indonesia: A case
Study of Religious and Adat Courts" dalam Salim, Arskal dan Azra, 2003,
Shari'a and Politics in Modern Indonesia, ISEAS: Simgapore, hlm. 17-32.
Robert W. Hefner, 2003, "Islamizing Capitalaism, On the foundaing of
Indonesia's First Islamic Bank" dalam Salim, Arskal dan Azra, Shari'a and
Politics in Modern Indonesia, ISEAS: Simgapore, hlm. 148-167.
Robin L. Bush, 2007, "Regional 'Shari'ah' Regulation in Indonesia: Anomaly
or Symptom?" Makalah dipresenatsikan pada forum Indonesia Update September
2007 di ANU, Camberra (makalah tidak diterbitkan).
Rumadi dkk., "Regulasi Bernuansa Agama dan Arah Demokrasi," Laporan
Penelitian the Wahid Institute, 2008, (tidak diterbitkan).
2007, "Gerakan Islam Kontemporer di Indonesia", makalah yang disajikan pada
Kelas Islamologi Jumat Sore "Islam dan Pluralisme" di kantor Wahid
Institute, 4 Mei 2007 (tidak diterbitkan).
Subair Umam dkk., 2007, "Pluralisme, Politik, dan Gerakan Formalisasi Agama:
Catatan Kritis atas Formalisasi agama di Maros dan Pangkep," dalam Ahmad
Suaedy dkk. Politisasi Agama dan Konflik Komunal, The Wahid Institute,
Jakarta.

Reply via email to