Missionaris- orientalis ibarat 'zombie', patah tumbuh hilang berganti menyerang 
Islam. Baru-baru ini muncul lagi seorang dengan nama samaran "Christoph 
Luxenberg." Katanya, Al-Qur'an dari bahasa Syro-aramaic


oleh  
Syamsuddin Arif  *)
(Bagian ketiga tulisan)


Missionaris- orientalis ibarat 'zombie', patah tumbuh hilang berganti menyerang 
Islam. Baru-baru ini muncul lagi seorang dengan nama samaran "Christoph 
Luxenberg." 
Ia mengklaim bahwa Al-Qur'an hanya bisa dimengerti kalau dibaca sesuai dengan 
bahasa asalnya, yaitu Syro-aramaic (bahasa Aramaic dalam dialek Syriac). 
Dalam bukunya yang berjudul "Cara membaca Al-Qur'an dengan bahasa 
Syro-aramaic, Sebuah sumbangsih upaya pemecahan kesulitan memahami bahasa 
Al-Qur'an" (Die syro-aramaeische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur 
Entschluesselung der Koransprache) itu, Luxenberg dengan nekat mengklaim  
bahwa; 
Pertama, bahasa Al-Qur'an sebenarnya bukan bahasa Arab. Karena itu, menurut 
dia, banyak kata-kata dan ungkapan yang sering dibaca keliru atau sulit 
difahami (in einem Ausmass verlesen und missdeutet wurde)  kecuali dengan 
merujuk pada bahasa Syro-aramaic yang konon merupakan lingua franca pada masa 
itu. 
Kedua, bukan hanya kosa-katanya berasal dari Syro-aramaic, bahkan isi ajarannya 
pun diambil dari tradisi kitab suci Yahudi dan Kristen-Syria (Peshitta); 
Ketiga, Al-Qur'an yang ada tidak otentik, perlu ditinjau kembali dan di-edit 
ulang (Zur Richtigstellung des an zahlreichen Stellen verlesenen Korantextes 
ist eine kritische Edition .... sicherlich wuenschenwert).
Di sini nampak bagaimana orientalis-missiona ris mengklaim tahu tentang 
Al-Qur'an dan 'ngotot', meskipun sudah jelas keliru dan sesat. Juga nampak 
bagaimana mereka membentuk suatu jaringan untuk saling menyokong dan mendukung 
satu sama lain.

Siapa gerangan "Christoph Luxenberg"? Setelah melakukan investigasi, penulis 
berhasil memperoleh data berikut ini. Nama sebenarnya adalah Ephraem Malki, 
warganegara Jerman asal Lebanon, penganut fanatik Kristen (Syriac Orthodox), 
memperoleh M.A. dan Dr.Phil dalam bidang Arabistik, dengan alamat terakhir,  
August-Klein- Strasse 11, 66123 Saarbruecken, telp. 390-58-28. 

Pada 28 Mei 2003 yang lalu dia sempat diundang memberi kuliah umum di 
Universitaet des Saarlandes tentang "Pengaruh bahasa Aramaic terhadap bahasa 
Al-Qur'an" (Der Einfluss des Aramaeischen auf die Sprache des Korans). 
Untuk meyakinkan para pembaca bukunya, Luxenberg menyebut sejumlah contoh. 
Menurut dia, kata 'qashwarah' dalam QS. 74:51 mestinya dibaca 'qashuurah'.
Lalu kata 'sayyi'aat' (QS. 4:18) mestinya dibaca 'saniyyaat', dari bahasa 
Syriac 'sanyata'. Juga kata 'aadhannaaka' (QS. 41:47) seharusnya dibaca 
'idh-dhaaka'. Kemudian kata ''utullin' (QS. 68:13) mestinya dibaca ''aalin', 
sedangkan kata 'zaniim' dalam ayat yang sama harusnya dibaca 'ratiim', sesuai 
dengan bahasa Syriac 'rtim'. 
Begitu pula kata 'muzjaatin' (QS. 12:88) mestinya dibaca 'murajjiyatin', dari 
bahasa Syriac 'm-raggayta'. Seterusnya kata 'yulhidu na' (QS. 16:103) harusnya 
dibaca 'yalghuzuuna' dari bahasa Syriac 'lgez'. 
Kemudian kata 'tahtiha' (QS. 19:24) mestinya dibaca sesuai dengan bahasa Syriac 
'nahiitihaa'.  Adapun kata 'saraban' (QS. 18:61) harusnya dibaca menurut bahasa 
Syriac 'syarya'.
Yang lebih parah lagi, ia mengutak-atik surah Al-'Alaq semata-mata dengan 
alasan bahwa isinya, seperti mana surat Al-Faatihah, diklaim diambil dari 
liturgi Kristen-Syria tentang jamuan makan malam terakhir Yesus: "Als solche 
hat sie [i.e. QS 96] den Charakter eines zur christlich-syrische n Liturgie 
einleitenden .... (proo?µ??? prooemium), das in der spaeteren islamischen 
Tradition von der (Fatiha) (syro-aramaeisch ... ptaha) (einleitendes Gebet) 
abgeloest wurde. Dass es sich bei dieser Liturgie um das Abendmahl handelt, 
darauf verweist der abschliessende syro-arameische Terminus." 
Perlu diketahui bahwa yang dilakukan Luxenberg sebenarnya bukan baru. Jauh 
sebelum dia, Mingana telah mengorek-orek isu ini, diikuti oleh Jeffery dan 
Spitaler.

Asumsi Keliru
Tidak sulit untuk membantah dan menolak Luxenberg, sebab seluruh uraiannya 
dibangun atas asumsi-asumsi yang keliru. 
Pertama, ia mengira Al-Qur'an dibaca berdasarkan tulisannya, sehingga ia boleh 
seenaknya berspekulasi tentang suatu bacaan. 
Kedua, ia menganggap tulisan adalah segalanya, menganggap manuskrip sebagai 
patokan, sehingga suatu bacaan harus disesuaikan dengan dan mengacu pada teks. 
Ketiga, ia menyamakan Al-Qur'an dengan Bibel, di mana pembaca boleh mengubah 
dan mengutak-atik teks yang dibacanya bila dirasa tidak masuk akal atau sulit 
untuk difahami. Ketiga asumsi ini dijadikan titik-tolak dan fondasi 
argumen-argumennya taken for granted, tanpa terlebih dahulu dibuktikan 
kebenarannya. 

Apakah benar bacaan Al-Qur'an bergantung pada rasm-nya? Apakah  benar teks 
adalah segalanya? Dan, apakah benar Al-Qur'an sama dengan Bibel? Luxenberg 
harus menjawab dulu pertanyaan-pertanya an ini secara ilmiah, sebelum 
membicarakan yang lain. Itu kalau ia mau meyakinkan pembacanya, yang belum 
tentu sependapat dengannya. 
Luxenberg bisa saja berkelit dengan mengatakan bahwa ia berhak berasumsi begitu 
tanpa perlu membuktikan kebenarannya. Tapi jika demikian, para pembacanya pun 
berhak menolak semua pendapat Luxenberg tanpa perlu menjelaskan kenapa. 

Selanjutnya, andaikata anggapan-anggapanny a itu benar sekalipun, orang masih 
bisa mempertanyakan metodologinya : Apakah pendekatan dan prosedur ditempuhnya 
cukup ilmiah dan obyektif untuk meligitimasi kesimpulan-kesimpul annya? 

Menurut seorang pakar Semitistik dan direktur Orientalisches Seminar di 
Universitas Frankfurt, Prof. Hans Daiber, dari sudut metodologi pun karya 
Luxenberg cukup bermasalah dan karena itu tidak bisa dipertanggungjawabk an. 
Dalam review-nya atas buku Luxenberg, Daiber mengemukakan tidak kurang dari 
lima poin :

Pertama, semua ahli filologi yang mengkaji manuskrip Arab maklum bahwa 
seringkali suatu kata yang ditulis gundul (tanpa baris/harakat) dapat dibaca 
macam-macam, sehingga tulisan yang sama bisa dibaca berbeda, umpamanya, 
'nabaat' ataupun 'banaat'. 
Ini bisa jadi tergantung konteksnya ataupun tergantung kehendak dan spekulasi 
sang pembaca. Dalam hal ini, Luxenberg memilih yang kedua. Lebih celaka lagi 
(ein gefaehrliches Spiel, kata Daiber) karena yang diutak-atik oleh Luxenberg 
bukan manuskrip gundul, melainkan kitab suci Al-Qur'an yang sudah jelas dan 
disepakati seluruh bacaannya, adalah tidak bijak kalau Luxenberg bersikeras mau 
merubah bacaan Al-Qur'an. Noeldeke pun tidak ngotot dan setuju kalau "der Koran 
ist nicht nur "syrisch-aramaeisch " zu lesen". 
Sama halnya dengan Franz Rosenthal yang dengan rendah-hati mengatakan: "It may 
have been so, but may be, it was entirely different." 

Kedua, Luxenberg bisa jadi keliru dalam berasumsi dan mengajukan pertanyaannya 
bahwa  mufassiruun tidak bisa memahami kata-kata tertentu atau tidak bisa 
menjelaskan maksud ayat-ayat tertentu karena Al-Qur'an berbahasa Syriac. Bisa 
jadi sejumlah kosa-kata yang terdapat dalam Al-Qur'an asli bahasa Arab tetapi 
belakangan mengalami  pergeseran makna sehingga para mufassir mengalami 
kesulitan dalam menerangkannya. 

Ketiga, andaikata pun memang sejumlah kosa-kata tersebut berasal dari bahasa 
Syriac, bukan tidak mungkin kata-kata asing tersebut telah di-Islam-kan, telah 
ditukar atau di-isi dengan makna baru (Zusaetliche Bedeutungen) yang lebih 
dalam, lebih tinggi dan lebih luas dari makna asalnya. 

Keempat, untuk mendukung analisis dan argumen-argumennya, mestinya Luxenberg 
merujuk pada kamus bahasa Syriac atau Aramaic yang ditulis pada abad ke-7 atau 
8 Masehi (zaman Islam), dan bukan menggunakan kamus bahasa Chaldean abad ke-20 
karangan Jacques E. Manna terbitan tahun 1900! 

Kelima, bisa jadi juga kosa-kata Al-Qur'an memang bahasa Arab asli, tidak 
seperti yang dituduhkan oleh Luxenberg. Kalaupun ada kemiripan, maka itu hanya 
kebetulan saja. Sama halnya dengan kata "kepala" dalam bahasa Melayu-Indonesia 
yang mirip dengan kata  (kefale) dalam bahasa Yunani Kuno (Ancient Greek). 
Kemiripan tidak mesti menunjukkan pengaruh atau pencurian. Sebagai contoh, 
Daiber menyebut antara lain kata-kata "fashshala", "jama'a", "yassara", 
"sayyara", "mughadhiban" , "dharaba" dan "zawwaja" yang diklaim oleh Luxenberg 
telah dibaca keliru.  
Penutup

"Kenali musuhmu!" (Know thy enemies!) merupakan motto sekaligus senjata 
orientalis dan missionaris Yahudi-Kristen dibalik semua kegiatan dan kegigihan 
mereka dalam mengkaji Islam dan seluk-beluknya dari segala aspek. 
Adalah "naive" kalau kita, umat Islam, bersangka baik terhadap orang yang 
"tidak akan pernah ridho" pada kita dan senantiasa memusuhi kita. 
Adalah tidak bijak kalau kita menelan mentah-mentah apa yang mereka  katakan 
dan mereka tulis. Lebih naive lagi, kalau kita membeo dan ikut-ikutan apalagi 
melakukan apa yang mereka suruh, seperti merendahkan Rasulullah shallallaahu 
'alaihi wa-sallam, menjelek-jelekkan para sahabat dan Taabi'iin, meremehkan 
para ulama salaf, meragukan otoritas dan otentisitas tradisi keilmuan Islam, 
lalu dengan arogan mau membuat edisi kritis Al-Qur'an, menolak hadiits secara 
total (inkarussunnah), membuat tafsir dan hukum tanpa metode yang bertanggung 
jawab dan jauh dari pedoman Al-Qur'an. (HABIS)


Syamsuddin Arief, PhD adalah lulusan ISTAC-IIUM Kuala Lumpur, peneliti INSISTS, 
dan tengah mengadakan penelitian di Johann Wolfgang Goethe-Universitdt, 
Frankfurt am Main , Jerman, untuk PhD keduanya. Tulisan ini pernah dimuat di 
Jurnal Kajian Pemikiran Islam AL-INSAN Vol. 1 Tahun I, Jakarta.
  






Shalom,
Tawangalun


Visit Your Group 


Y! Groups blog
the best source
for the latest
scoop on Groups.

Moderator Central
Yahoo! Groups
Join and receive
produce updates.

Best of Y! Groups
Check out the best
of what Yahoo!
Groups has to offer.
. 
 














      

Kirim email ke