Sebagai manusia kita semua adalah
sama-sama ciptaan Allah, sama-sama beriman, sama-sama mendambakan atau
mencita-citakan hidup bahagia, damai sejahtera. Perbedaan-perbedaan yang ada di
antara kita, entah SARA, usia, panggilan, jabatan/kedudukan, tugas, dst..
bersifat fungsional sesuai dengan kesempatan dan kemungkinan yang dianugerahkan
kepada kita dan bersifat sementara. Maka hendaknya kita tidak membesar-besarkan
atau mengagung-agungkan yang sementara dan berbeda satu sama lain, melainkan
apa yang sama di antara kita. Dengan kata lain kita dipanggil untuk meneladan
Yesus “yang walaupun dalam rupa Allah,
tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus
dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diriNya sendiri, dan mengambil rupa
seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia”.

 

Rendah hati dan taat bagaikan
mata uang bermuka dua, dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan, orang
yang rendah hati berarti taat, sebaliknya orang yang mentaati aneka perintah,
nasihat, saran, aturan atau tatanan hidup bersama akan semakin rendah hati.
Maka marilah di dalam hidup bersama kita saling rendah hati dan mentaati. 
“Tujuan kita adalah menjadi semakin tersedia
bagi kepentingan umum –terlebih terdorong untuk selalu magis, menjadi semakin 
lebih baik, demi kemuliaan Allah yang lebih
besar” (KJ SJ 35, Dekrit 2.16). Kita dipanggil meneladan Yesus, Penyelamat
Dunia, yang mendunia dan menyelamatkan seluruh dunia. “Kegembiraan dan harapan, 
duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang,
terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan
harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga”  (Vatikan II, GS no 1).

 

Yang umum dan lebih banyak dalam
hidup bersama di dunia ini adalah rakyat, orang kebanyakan, mereka yang hidup
social-ekonominya pas-pasan atau berkekurangan alias miskin. Maka dengan ini
kami berharap dan mengajak siapapun atau mereka yang berada di ‘badan publik’
atau ‘bisnis’, yang berpengaruh dan minoritas dalam jumlah, hendaknya berpihak
pada ‘komunitas’/rakyat atau anggota., bukan hidup dan berjuang demi
kepentingan atau keuntungan diri sendiri. Untuk itu hendaknya sungguh hidup dan
bekerja dengan rendah hati, merakyat, ‘turun kebawah’ hidup bersama dengan
rakyat. Anda atau mereka yang berada di ‘badan publik’ atau ‘bisnis’ memiliki
kuasa, maka hendaknya menghayati kuasa bukan sebagai keuatan paksa melainkan
sebagai efektivitas. “Kuasa sebagai
efektvitas merupakan konsep yang lebih luas. Pengertian ini mencakup kapasitas
atau kemampuan untuk menyelesaikan segala sesuatu dengan mempengaruhi orang
lain atau memiliki akses pada sumber daya”  (Dr.Anthony D’Souza SJ: “Proactive 
Visionary”,
terjemahan Trisewu, Jakarta 2007, hal 3). Aneka kuasa, kesempatan dan
kemungkinan yang dimiliki hendaknya difungsikan untuk memberdayakan orang lain
atau rakyat atau anggota. Untuk itu pertama-tama harus mengenal orang lain, 
rakyat
atau anggota dengan baik, kiranya cara satu-satunya adalah dengan hidup bersama
dengan orang lain, rakyat atau anggota, menjadi sama dengan mereka serta tidak
mempertahankan pangkat, kedudukan, jabatan atau fungsi. Hendaknya boros waktu
dan tenaga untuk ‘curhat’ dengan orang lain, rakyat atau anggota. Marilah kita
renungkan seruan nabi Yeheskiel ini: ”Kalau
orang fasik bertobat dari kefasikan yang dilakukannya dan ia melakukan keadilan
dan kebenaran, ia akan menyelamatkan nyawanya. Ia insaf dan bertobat dari
segala durhaka yang dibuatnya, ia pasti hidup, ia tidak akan mati” (Yeh 
18:27-28)    


Jakarta, 28 September 2008

Kirim email ke