Kemunafikan Sebagian Besar Anggota Parlemen Belanda
 
Untuk kesekian puluh kalinya delegasi parlemen Belanda mengunjungi Indonesia.
Selain mengunjungi proyek-proyek yang didanai oleh Belanda, mereka selalu 
“memantau” dan “mengawasi” kondisi HAM dan perkembangan demokrasi di Indonesia, 
terutama sejak 10 tahun belakangan ini.
Tak jarang parlemen Belanda melontarkan berbagai kritik tajam terhadap 
pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Fokus mereka selama ini adalah Aceh, 
Maluku dan Papua. Dahulu sebelum merdeka, juga Timor Timur. (Lihat di bawah ini 
berita dari Radio Nederland 7 Mei 2001).
Kali ini delegasi parlemen Belanda juga akan “memantau” kondisi HAM di 
Indonesia, dan akan bertemu dengan berbagai kalangan, a.l. dengan komunitas 
Maluku, janda almarhum Munir, dll.
Memang sangat mulia kegiatan tersebut, yaitu ikut memperhatikan masalah 
pelanggaran HAM yang terjadi di negara lain.
Namun sayangnya, “pengawasan” terhadap masalah pelanggaran HAM hanyalah yang 
terjadi di kalangan bangsa Indonesia sendiri, dan mayoritas di parlemen Belanda 
tidak mau tahu mengenai berbagai kejahatan perang, kejahatan atas kemanusiaan  
dan pelanggaran HAM berat lain yang dilakukan oleh tentara Belanda di Indonesia 
antara tahun 1945 – 1950, dalam upaya menjajah kembali Indonesia.
Melalui salah seorang anggota delegasi parlemen Belanda dari Fraksi Partai 
Sosialis, Harry van Bommel, yang ditemui oleh Ketua Komite Utang Kehormatan 
Belanda (KUKB) Batara R Hutagalung pada hari Minggu, 12 Oktober 2008, diusulkan 
agar delegasi parlemen Belanda juga berkunjung ke Rawagede, di mana  pada 9 
Desember 1947 tentara Belanda membantai 431 penduduk desa. 
Ternyata mayoritas delegasi parlemen Belanda menolak untuk berkunjung ke 
Rawagede, yang jaraknya hanya sekitar satu setengah jam perjalanan dari 
Jakarta. Mereka mengunjungi daerah-daerah yang jaraknya ribuan kilometer dari 
Jakarta, dan bahkan belasan ribu kilometer dari Belanda untuk memantau 
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh oang Indonesia terhadap orang Indonesia, 
namun tidak besedia mengunjungi daerah yang hanya berjarak sekitar 80 kilometer 
dari Jakarta, di mana terjadi pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda 
terhadap penduduk sipil Indonesia.
Bahkan mayoritas delegasi juga menolak untuk secara resmi bertemu dengan Ketua 
Komite Utang Kehormatan Belanda. Selama ini, delegasi-delegasi parlemen Belanda 
menemui dan membantu LSM-LSM di Indonesia yang mengungkap berbagai pelanggaran 
HAM yang dilakukan oleh orang Indonesia terhadap sesama orang Indonesia, namun 
mereka tidak bersedia bertemu, apalagi LSM yang mengungkap pelanggaran HAM yang 
dilakukan oleh orang Belnda terhadap orang Indonesia!
Pembantaian yang dilakukan oleh tentara Belanda pada 9 Desember 1947, terjadi 
sehari setelah perundingan perdamaian di atas kapal perang Amerika USS 
“Renville” dimulai, Pembunuhan massal terhadap penduduk sipil tanpa proses, 
tuntutan, pembelaan dan putusan pengadilan,  bukan hanya merupakan suatu 
kejahatan perang (war crimes), melainkan juga kejahatan atas kemanusiaan 
(crimes against humanity), karena merupakan pembantaian teroganisir terhadap 
penduduk sipil, non-combatant, dan melanggar konvensi Jenewa.
Kejahatan-kejahatan  tersebut juga merupakan kategori kejahatan tertinggi di 
International Criminal Court (Pengadilan Kejahatan Internasional) yang 
berkedudukan di Den Haag, Belanda.
Pada 9 September 2008, hampir 61 tahun setelah peristiwa pembantaian tersebut, 
pengacara di Belanda, Gerrit Pulles, yang diberi mandat (dengan cap jempol 
karena semua buta huruf) untuk mewakili 9 orang janda korbang yang masih hidup, 
dan orang terakhir yang selamat dari pembantaian, Saih (84 tahun), secara resmi 
menuntut pemerintah Belanda untuk bertanggungjawab atas pembantaian tersebut 
dan memberikan kompensasi kepada para janda korban dan korban terakhir yang 
selamat.
KUKB telah menangani kasus Rawagede sejak tahun 2005 –sebelumnya ditangani oleh 
Komite Nasional Pembela Martabat Bangsa Indonesia (KNPMBI), yang pada 5 Mei 
2005 mendirikan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)- dan kini telah membuat 
Rawagede menjadi desa di Indonesia yang paling dikenal di Belanda. Berbagai hal 
mengenai peristiwa pembantaian di Rawagede mulai terungkap. (lihat weblog: 
http://indonesiadutch.blogspot.com, dan http://batarahutagalung.blogspot.com) 
Harry van Bommel juga mendukung, bahwa Rawagede merupakan ujung tombak tuntutan 
kepada pemerintah belanda untuk bertanggungjawab atas agresi militer Belanda di 
Indonesia antara tahun 1945 – 1950, setelah bangsa Indonesia menyatakan 
kemerdekaannya pada 17.8.1945, yang telah menewaskan ratusan ribu rakyat 
Indonesia.
Perdana Menteri Belanda, Jan Peter Balkenende sangat gigih memperjuangkan 
keadilan bagi seorang wartawan Belanda, Sander Robert Thoenes, yang tewas di 
Becora, Dili, Timor Timur pada 21 September 1999. (Lihat petisi KUKB kepada PM 
Belanda Balkenende, 15 Agustus 2008. Terjemahan petisi dalam bahasa Inggris 
dapat dilihat di http://indonesiadutch.blogspot.com. Petisi-online dapat 
dilihat di http://www.petitiononline.com/brh41244/petition.html)
Dalam pertemuan dengan Presiden Yudhoyono di Jakarta pada 8 April 2006, selain 
menyinggung soal kelanjutan kasus Munir, PM Belanda Balkenende menanyakan soal 
penanganan kasus Sander Thoenes. 
Sebelum itu, pada 2 September 2002 di sela-sela KTT Pembangunan Berlanjut (the 
World Summit on Sustainable Development, 26 August - 4 September 2002) di 
Johannesburg, Afrika Selatan, PM Belanda Balkenende menemui Presiden RI 
Megawati Soekarnoputri sehubungan dengan tewasnya Sander Thoenes, dan kepada 
Radio Nederland (Warta Berita Radio Nederland Wereldomroep, 3 Septemer 2002), 
PM Belanda Balkenende menyatakan bahwa dia: “telah menekankan kepada Presiden 
Megawati bahwa kasus ini sangat peka di Belanda. Selain itu baik parlemen 
maupun masyarakat sangat khawatir akan jalannya persidangan yang dilangsungkan 
di Indonesia.” 
Disebutkan juga, Belanda tidak mempercayai pengadilan di Indonesia dan 
menyerukan agar didirikan tribunal internasional untuk kejahatan perang yang 
dilakukan oleh tentara Indonesia di Timor Timur. 
Di lain pihak, bagaimana dengan pengadilan Belanda yang tahun 1952 membebaskan 
Westerling –yang bertanggungjawab atas pembunuhan puluhan ribu orang- dari 
seluruh tuduhan? Selain itu, tidak satupun pelaku pembantaian massal dan pelaku 
pelanggaran HAM berat lainnya selama agresi militer Belanda di Indonesia yang 
dimajukan ke pengadilan.
Balkenende nampaknya “lupa”, bahwa pemerintah-pemerintah Belanda selama 32 
tahun mendukung pemerintah Orde Baru di Indonesia, dan menutup mata terhadap 
pelanggaran HAM yang terjadi di masa itu. 
Inilah bukti bahwa pemerintah dan sebagian kalangan di Belanda buta sebelah 
mata terhadap hal-hal yang sehubungan dengan kejahatan perang dan pelanggaran 
HAM.
 
Sangat banyak kalangan di Belanda yang kini mendukung upaya KUKB untuk membuka 
kembali lembaran sejarah. Terutama dari kalangan perguruan tinggi dan sejumlah 
besar sejarawan dan peneliti Belanda.
Pemerintah Belanda, kalangan konservatif dan terutama para veteran Belanda 
tetap menolak mengakui kemerdekaan RI adalah 17.8.1945. Bagi mereka kemerdekaan 
RI adalah 27 Desember 1949, yang merupakan “hadiah” dari Belanda.
Mereka mengingkari, bahwa selama ratusan tahun, Belanda dibiayai oleh 
perdagangan budak, monopoli perdagangan candu (opium) dan kekayaan yang 
dirampok dari jajahannya, yaitu Indonesia.
 
Sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, Komite Utang Kehormatan Belanda dan 
Mr. Harry van Bommel malam ini, Selasa 14 Oktober 2008, akan mengadakan Jumpa 
Pers bersama.
 
 
Jakarta, 14 Oktober 2008
 
Batara R Hutagalung
Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB)
=================================================
 
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/05/07/0012.html
[INDONESIA-NEWS] Warta Berita - Radio Nederland, 07 Mei 2001
From: [EMAIL PROTECTED]
Date: Mon May 07 2001 - 11:24:20 EDT 



WARTA BERITA RADIO NEDERLAND WERELDOMROEP 
Edisi: Bahasa Indonesia 
Ikhtisar berita disusun berdasarkan berita-berita yang disiarkan oleh 
Radio Nederland Wereldomroep selama 24 jam terakhir. 
--------------------------------------------------------------------- 
Edisi ini diterbitkan pada: 
Senin 07 Mei 2001 14:50 UTC 
** TOPIK GEMA WARTA: DELEGASI PARLEMEN BELANDA SERUKAN PENGAMAT INTERNASIONAL 
UNTUK WILAYAH RAWAN INDONESIA 
Sejumlah anggota parlemen Belanda dari beberapa partai politik mengakhiri 
kunjungan sepuluh hari di Indonesia. Mereka mengunjungi beberapa wilayah di 
Indonesia yaitu Atjeh, Irian Jaya dan Ambon. 
Mereka mengadakan pembicaraan dengan LSM-LSM. Kepada Mohammad Rabbae salah 
seorang anggota delegasi dari Partai Kiri Hijau kami tanyakan mengenai kesannya 
tentang Indonesia secara keseluruhan. 
Sebuah negara yang sangat besar dan indah, namun memiliki permasalahan sosial 
dan politik yang sangat kompleks. Demikian kesan umum Mohammad Rabbae, anggota 
parlemen Belanda yang berasal dari Partai Kiri Hijau. Begitu banyak suku dan 
bahasa dengan sejumlah kawasan yang dilanda konflik. Sistim politiknya yang 
dilanda krisis. 
Pendek kata sebuah situasi yang sangat kompleks dengan wilayah-wilayah yang 
rawan kerusuhan. 
Misi delegasi Belanda ini terutama memusatkan pada kondisi HAM. Mereka 
berbicara dengan sejumlah organisasi non-pemerintah. Rabbae merasakan suasana 
sangat tegang di Aceh. Dan ketika mengunjungi Ambon, mereka harus menjelaskan 
terlebih dahulu kepada kelompok-kelompok di sana bahwa mereka datang tidak 
mengatasnamakan aspirasi Republik Maluku Selatan, RMS. 
Tegangnya Situasi Aceh dirasakan sendiri oleh Mohammad Rabbae yang keturunan 
Maroko ini. Sampai-sampai dia terpaksa membatalkan rencana mengunjungi mesjid 
yang terletak 300 meter dari hotel tempat delegasi menginap. Delegasi LSM-LSM 
yang juga menginap di hotel itu menyarankan supaya dia membatalkan rencana 
mengunjungi masjid itu. Para anggota LSM menilai bahwa Rabbae bisa disandera 
dan tidak jelas 
apa yang akan terjadi dengannya. Itu adalah salah satu contoh betapa tegangnya 
situasi di Aceh saat ini dan hukum yang tidak dipatuhi serta ancaman keamanan. 
Karena datang dari Belanda, delegasi anggota parlemen ini langsung 
diasosiasikan sebagai pendukung RMS. Pemikiran itu menghambat komunikasi dengan 
kelompok-kelompok yang mereka temui di Maluku. Kepada pihak yang menentang RMS 
di Maluku, mereka harus menjelaskan bahwa memang di Belanda ada gerakan yang 
mendukung RMS, tetapi tidak sedikit pula kelompok yang tidak mendukung RMS. 
Mohammad Rabbae menjelaskan bahwa kedatangan kelompok mereka adalah untuk misi 
perdamaian antara pihak-pihak Islam dan Kristen Ambon yang bersengketa. 
Untuk saat ini yang paling utama adalah memperbaiki kondisi hak-hak asasi 
manusia demi kepentingan warga sipil. Kelompok-kelompok yang bertikai harus 
mengadakan pendekatan dan berdialog. Harus dihindari aspek-aspek yang justru 
akan menimbulkan perpecahan, termasuk pembahasan tentang mendirikan RMS, yang 
memang masih hidup di kalangan Belanda dan Maluku. 
Menanggapi kondisi buruk di tiga kawasan tegang di Indonesia, Rabbae menilai 
bahwa Belanda dan Eropa harus turut serta dalam mencapai perdamaian di 
Indonesia. Ia juga mendukung pengiriman tim pengamat sipil PBB ke 
kawasan-kawasan tersebut. 
Belanda Eropa tidak bisa tinggal diam menyaksikan konflik di Aceh saat ini. 
Pelanggaran hak asasi manusia terjadi setiap hari, rakyat diculik, dibunuh. 
Termasuk orang yang berupaya menengahi konflik yang terjadi antara kelompok 
muslim dan pihak kristen. Pemerintahan daerah saat ini sudah kehilangan wibawa. 
Rakyat menjadi korban pemerasan baik oleh kelompok milisia mau pun oleh 
tentara. 
Delegasi parlemen Belanda juga mengadakan pembicaraan dengan pejabat Departemen 
Pertahanan di Jakarta mengenai hak-hak asasi manusia, karena berdasarkan 
pembicaraan sebelumnya dengan beberapa LSM, diperoleh kesan bahwa pihak tentara 
juga bersalah atas sejumlah pelangaran HAM dalam bentuk penyanderaan serta 
pembunuhan. Pihak tentara tidak menyangkal insiden-insiden pelangaran HAM oleh 
militer ini, dan mereka berupaya memperbaiki kesalahan itu untuk memperoleh 
kembali kepercayaan masyarakat. 
Mohammad Rabbae berpendapat Eropa dan Belanda harus ikut campur secara positif 
di tengah situasi hak-hak asasi manusia yang nyaris tidak ada harapan ini. 
Belanda misalnya harus memberikan dukungan konkrit kepada LSM-LSM yang peduli 
HAM dan berupaya mencari jalan damai antar kawasan serta dengan pemerintah di 
Jakarta. 
Di sini Rabbae mendukung penempatan tim pengamat internasional ke Aceh dan di 
Maluku untuk dapat memantau dengan cepat apa yang terjadi di kawasan. Untuk 
menyidik pihak mana yang bersalah dalam tindak penyanderaan, pembunuhan dan 
memicu suasana tidak aman. Dengan demikian kalangan internasional dapat 
memberikan sikap terhadap pemerintah Indonesia untuk mengembalikan situasi aman 
dan kondusif di 
Indonesia. 
--------------------------------------------------------------------- 
Radio Nederland Wereldomroep, Postbus 222, 1200 JG Hilversum 
http://www.ranesi.nl/ 
http://www.rnw.nl/ 
Keterangan lebih lanjut mengenai siaran radio kami dapat Anda peroleh melalui 
[EMAIL PROTECTED] 
Copyright Radio Nederland Wereldomroep. 
--------------------------------------------------------------------- 
 
 
 


      

Kirim email ke