Kekeliruan Memahami RUU Pornografi: Tanggapan untuk Sirikit Syah

Oleh: Soe Tjen Marching.
----------------------------------------------------------

Ketika perbudakan di benua Amerika dan Eropa mengalami protes bertubi-tubi, 
lagu Amazing Grace dan novel Uncle Tom's Cabin karya Harriet Beecher Stowe 
berkumandang dimana-mana. Para pedagang budakpun mengeluh: tidak ada keadilan 
bagi kita - suara publik telah tercemar oleh kepopuleran para anti perbudakan. 
Bahkan mereka sempat menuduh pemerintah tidak adil dan rasis karena telah 
membela orang kulit hitam. Rasa ketidak adilan inilah yang akhirnya menjadi 
salah satu pelopor terbentuknya Ku Klux Klan di Pulaski - Teneessee pada bulan 
Mei 1866.

Tentu saja pendukung RUU-APP tidak sama dengan pedagang budak atau Ku Klux 
Klan. Namun, yang saya ingin utarakan adalah betapa bahayanya terkadang tuduhan 
ketidak-adilan, tanpa disertai keberpihakan pada minoritas.

Inilah kesalahan artikel Sirikit Syah ketika bertanya: "Di mana suara mereka 
yang pro-RUU? Apakah memang tak ada yang pro; atau ada tapi kurang pandai 
mengekspresikan pendapat; atau media dengan sengaja tidak memberi mereka 
kesempatan?" (dimuat di Gagasan Hukum pada tanggal 30 Oktober). Karena bukan 
kekalahan suaralah yang seharusnya menjadi perhatiannya, namun bagaimana 
peraturan itu sendiri telah menjadi bentuk represi yang patut ditentang. Karena 
Undang-undang yang baru disyahkan ini semakin mengkambing hitamkan para gay, 
lesbian dan transeksual yang sudah terkucil.

Lalu, ia menulis bahwa argumen anti-RUU ini "tidak valid lagi dengan perubahan 
draf RUU 2008 dibanding draf 2006", karena telah ada perlindungan pada 
masyarakat dan kesenian tradisional dan penghargaan terhadap multikulturalisme. 
Namun, Sirikit, inti dari UU APP ini sudah begitu membatasi gerakan kita 
sebagai manusia. Karena dalam UU ini, pornografi didefinisikan sebagai materi 
yang dibuat oleh manusia yang "dapat membangkitkan hasrat seksual".

Sungguh, Sirikit, saya bersyukur bahwa orang tua saya mempunyai gairah seks.. 
Jika tidak, saya tidak akan nongol. Kedua manusia ini (bapak dan ibu saya) 
berhasil membangkitkan hasrat seksual masing-masing. Dan inilah kekacauan UU 
APP ini – dalam satu pihak ia menyatakan akan melindungi, namun isi UU APP itu 
sendiri malah penuh dengan penindasan.

Gairah seksual ada dimana-mana, Sirikit. Saat saya menulis dan memandang 
komputerpun, imajinasi saya dapat melayang kemana-mana. Bahkan ke tubuh suami 
saya, kepada hasrat saya untuk bersetubuh dengannya. Saya tidak butuh 
gambar-gambar porno ataupun video merangsang. Imajinasi saya sudah cukup kuat 
untuk hal ini.

Bila suami saya ada di samping saya dan ia juga menginginkannya, betapa 
indahnya hal ini. Kalau dia tak ada di samping saya, tentu saja saya tidak lalu 
memperkosa ayam tetangga. Lalu apa salahnya imajinasi ini? Sama sekali tidak 
ada salahnya, yang menjadi masalah adalah bila seseorang lalu memaksa orang 
lain untuk meladeni
hasratnya. Bukan gairah seks itu yang salah, namun pemaksaan dan pelecehanlah 
yang harus ditanggulangi. Rasa penghargaan pada manusia dan mahluk lainlah yang 
diperlukan.

Pada saat ini hukum harus bertindak: melindungi yang lemah. Karena dalam 
kebebasan gerak, yang kuat dapat lebih bebas dan mempunyai kesempatan untuk 
meraja lela. Hukum dibuat tidak untuk membatasi atau menekan, namun untuk 
melindungi. Bila hukum dibuat hanya untuk menindas dan membatasi, ia menjadi 
sama dengan kekuatan yang ingin meraja lela. Dan inilah yang terjadi pada 
beberapa daerah yang telah menerapkan hukum pornografi yang membabi buta: 
penangkapan Lilies Lindawati di Tangerang yang akhirnya terbukti tidak bersalah 
atau penggerebekan pasangan-pasangan yang tak melakukan kejahatan apapun.. 
Lilies akhirnya dibebaskan tanpa kompensasi, dan pasangan yang berdomisili di 
Malang (yang namanya tak akan saya sebutkan) diharuskan membayar denda hanya 
karena mereka duduk berdua di luar pada malam hari. Peraturan seperti inilah 
yang harus dihapus. Dan hukum tidak dapat mengontrol imajinasi. Karena, 
Sirikit, sesuatu
yang ditutupi itu justru dapat membangkitkan rasa ingin-tahu yang berlebih. 
Karena itulah, para penari striptease itu biasanya tidak langsung membuka blak 
baju mereka. Tapi, permainan membuka tutuplah yang membuat imajinasi penonton 
begitu subur. Pernahkan anda mendengar beberapa komentar yang menyatakan bahwa 
tubuh yang terbuka tak lagi mengandung misteri.

Islam sebagai sasaran bulan-bulanan dalam hal ini, Sirikit? Mengapa anda harus 
merasa demikian? Justru beberapa teman saya yang menentang UU APP ini adalah 
orang Islam. Nama-nama seperti Dewi Candraningrum, Guntur Mohamad Romli dan 
Musdah Mulia hanyalah sebagian yang mampu menganalisa adanya pertentangan 
antara UU-APP dan Islam. Bahkan, salah satu feminis yang saya kagumi adalah 
Irshad Manji, seorang Islam yang taat beribadah. Jadi, tidak ada pertentangan 
antara Islam dengan gerakan anti UU-APP ini, Sirikit, bila anda mau menganalisa 
Islam dengan lebih kritis.

Dan saya setuju dengan pernyataan anda bahwa "Kita adalah masyarakat demokratis 
yang hidup di negara hukum." Lalu, bukankah hukum demokratis itu diwujudkan 
dengan melindungi golongan yang lemah, dan bukannya menjadi momok bagi 
kehidupan mereka? Bila golongan minoritas luput dilindungi oleh Undang-undang 
ini, bukankah sudah seharusnya hukum negara demokratis itu menghapuskannya 
bukan malah menge-syahkannya.

(Soe Tjen Marching: akademik & komponis, bukunya The Discrepancy between the 
Public and Private Selves of Indonesian Women telah diterbitkan oleh The Edwin 
Mellen Press).


      
___________________________________________________________________________
Yahoo! sekarang memiliki alamat Email baru.
Dapatkan nama yang selalu Anda inginkan di domain baru @ymail dan @rocketmail. 
Cepat sebelum diambil orang lain!
http://mail.promotions.yahoo.com/newdomains/id/

Kirim email ke