----- Original Message ----- 
  From: Anwari Doel Arnowo 
  To: [EMAIL PROTECTED] 
  Sent: Saturday, November 01, 2008 12:08 AM
  Subject: [RumahKita] Pakaian Muslim, Perlukah??


  Pepatah petitih: ... JANGANLAH HANYA MELIHAT KULIT LUARNYA SAJA ..
  BRAVO BUAT PAK KOMARUDDIN HIDAYAT,
  Anwari Doel Arnowo 1 Nopember 2008 - 12:07 AM

  Kiai Hasyim Asy'ari dan Bung Hatta 
  Friday, 31 October 2008 

  SAMBIL menunggu jam penerbangan Yogyakarta- Jakarta, tanpa disengaja 
  saya berjumpa teman dan guru saya, KH Dr Agil Siraj, yang pernah 
  tinggal dan menuntut ilmu di Arab Saudi selama 13 tahun. 

  Saat berbincangbincang mengamati perkembangan dakwah Islam di 
  Indonesia belakangan, secara ringan dia mengungkapkan komentarnya 
  yang membuat saya terhenyak. "Mestinya kita belajar dari Bung Hatta 
  dan Kiai Hasyim Asy'ari,"katanya. "Apa maksud Ustaz?" tanya saya. 
  Coba lihat, Bunga Hatta lama tinggal di Eropa, tetapi tetap menjadi 
  orang Indonesia. 

  Menjaga dan memperjuangkan kepribadian Indonesia. Begitu pun Kiai 
  Hasyim Asy'ari, kakeknya Gus Dur. Bertahun-tahun belajar dan tinggal 
  di Arab Saudi,tetapi tetap menjadi orang Indonesia. Berpakaian dan 
  berperilaku sebagai muslim Indonesia.Keduanya sangat mencintai 
  Indonesia. Berjuang dan berkorban demi kejayaan Indonesia. Sampai di 
  situ saya semakin dibuat merenung, ingin mendengarkan komentar lebih 
  lanjut dari teman asal Cirebon dan meraih doktor dari Universitas 
  Ummul Qura ini. 

  Meski Bung Hatta lama di Barat, mendalami ilmu dari Barat, tapi 
  beliau berani berkonfrontasi dengan Barat ketika kekuatan Barat 
  merugikan bangsanya sendiri. Begitu pun Kiai Hasyim. Dalam banyak 
  hal yang sangat mendasar bahkan beliau mengkritik tradisi dan 
  pemikiran Islam yang tumbuh di Arab Saudi, yang dikenal literalistik 
  dan kurang menghargai tradisi. 

  Meski tampak sepele, ternyata Ustaz Agil juga mengamati masuknya 
  pengaruh pakaian Arab ke Indonesia. Kiai Hasyim dan kiai-kiai lain 
  yang lama belajar di Arab Saudi dan Timur Tengah tidak mempromosikan 
  pakaian gamis model Arab. Beliau hanya mengenakan pakaian gamis 
  sewaktu salat saja. Tetapi ketika ke luar rumah, semuanya berpakaian 
  Indonesia. 

  "Saya sendiri yang lama tinggal di Arab Saudi kadang jadi heran, 
  mengapa pakaian gamis model Arab semakin populer di Indonesia, 
  dipakai di mana-mana, bahkan untuk berdemonstrasi di jalanan dan di 
  lapangan Monas," kata Ustaz Siraj dedengkot NU ini. Dalam hati saya 
  bertanya, apakah pendapat semacam ini hanya dimiliki Ustaz Agil 
  Siraj ataukah juga ulamaulama NU yang lain? 

  Apakah semakin meluasnya pakaian model Arab menunjukkan naiknya 
  semangat Islam Indonesia yang datang dari Arab? "Ada orang Indonesia 
  yang kebarat-baratan, ada pula yang kearab-araban. Mengapa kita 
  tidak bercermin dan belajar dari Bung Hatta dan Kiai Hasyim," 
  gugatnya lagi. Para kiai saya dulu,lanjutnya, kalau mengajar membaca 
  Alquran pada santrinya sangat tegas dan keras.Kalau salah tajwidnya, 
  yaitu cara benar membaca Alquran, beliau marah. 

  Bahkan ada yang sampai memukul dengan lidi, sehingga para santri 
  harus serius belajar karena takut kena marah dan kena pukul. Tapi 
  yang sangat mengagumkan, begitu bergaul dengan masyarakat dan 
  menyampaikan dakwah, para kiai dulu sangat lembut dan santun. Dengan 
  sabar mereka membimbing umat ke jalan yang benar dan tidak pernah 
  menggunakan kekerasan. 

  Tak ada teriak-teriak sambil mengacung-acungkan pentungan. "Mereka 
  belajar dari cara dakwah Wali Songo yang memang sangat cocok untuk 
  masyarakat Indonesia," lanjut Ustaz Agil. Karena sikapnya yang 
  bijak, sabar dan lembut itu, maka Islam menjadi agama yang dipeluk 
  mayoritas bangsa ini dan secara perlahan tradisi yang tidak sejalan 
  dengan ajaran Islam diluruskan, bukan dengan jalan kekerasan dan 
  permusuhan. Ketika asyik bincang-bincang, terdengar panggilan untuk 
  naik pesawat. 

  Sepanjang perjalanan saya renungkan kembali apa yang disampaikan 
  Ustaz Agil, termasuk kritiknya yang cukup tajam terhadap fenomena 
  pesantren, kiai, dan politik. Menurutnya, dulu para kiai dan 
  pesantren sangat independen secara ekonomi dan politik sehingga 
  wibawanya disegani oleh pemerintah dan masyarakat. Pesantren dulu 
  ibarat sumur, orang berdatangan untuk menimba air, minta berkah, dan 
  wejangan pada kiai, termasuk para pejabat negara. 

  Bahkan ketika orangtua melahirkan bayi, mereka datang untuk meminta 
  nama bagi anaknya.Ketika sebuah keluarga akan membagi harta waris, 
  mereka minta fatwa pada kiai. Kiai dulu tidak pernah minta bantuan 
  ke pemerintah atau siapa pun. Sebaliknya, justru bantuan yang 
  berdatangan tanpa diminta dan diundang. 

  Sekarang suasana sudah berubah. Sudah muncul kekuatan baru yang 
  namanya negara dengan jaringan birokrasinya, dari tingkat presiden 
  sampai lurah, bahkan RT/RW. Sangat disayangkan, pemerintah dan 
  politisi ikut merusak kultur pesantren yang semula mandiri menjadi 
  kian melemah dan tergantung pada negara. Para politisi datang 
  menawarkan berbagai bantuan dengan imbalan agar mereka memberikan 
  dukungan politik setiap pemilu atau pemilihan kepala daerah. 

  Repotnya lagi, kalangan kiai dan pesantren juga sulit menolak karena 
  mereka memerlukan dana, baik untuk pesantren maupun untuk diri dan 
  keluarganya.Bahkan ada kiai yang senang memintaminta bantuan kepada 
  pejabat pemerintah. Mestinya, baik para politisi, pemerintah, maupun 
  dunia pesantren saling menjaga integritas dirinya,bukan saling 
  menjatuhkan dan menggerogoti wibawanya. 

  Kalau sudah saling menjatuhkan, yang rugi adalah negara, umat, dan 
  bangsa. Negara yang maju dan kuat adalah negara yang masyarakatnya 
  mandiri, dibentuk melalui pendidikan yang baik, dan lapangan kerja 
  yang tersedia. Masyarakat yang bodoh dan miskin pada akhirnya akan 
  menjadi beban negara,bahkan potensial menjadi musuh negara. 

  Bayangkan, bagaimana kita akan memasuki kompetisi tingkat global 
  kalau energi negara dan masyarakat habis terkuras untuk berantem, 
  bukannya saling mendukung untuk membangun bangsa. Itulah yang pernah 
  terjadi di Aceh dan di beberapa tempat lain. Aset dan energi bangsa, 
  baik berupa uang, sumber daya alam, budaya, agama maupun militer, 
  mestinya diarahkan untuk hal-hal produktif demi memajukan bangsa. 
  Bangsa ini tengah mengalami situasi mismanagementalias salah urus. 

  Para politisi lebih sibuk mengurus dirinya katimbang rakyatnya.Dua 
  tokoh yang dikemukakan Ustaz Agil, yaitu sosok Kiai Hasyim Asy'ari 
  dan Bung Hatta, adalah dua figur bapak bangsa yang pantas dan bahkan 
  harus diteladani. Bertemu dalam keduanya kedalaman dan keluasan 
  ilmu, integritas yang kokoh, patriotisme tinggi, dan sangat santun 
  dalam berpolitik.(*) 

  PROF DR KOMARUDDIN HIDAYAT 
  REKTOR UIN SYARIF HIDAYATULLAH 



   

Kirim email ke