http://batampos.co.id/opini/opini/pil_pahit_skb_4_menteri_di_kalangan_pekerja_/
Pil Pahit SKB 4 Menteri di Kalangan Pekerja Kamis, 20 November 2008 Oleh: Edwin Harjono Salah seorang pekerja di Kota Batam Krisis ekonomi global yang dimulai dari Negara adidaya Amerika Serikat begitu hebat pengaruhnya, jauh menusuk hingga kesendi-sendi ekonomi kita, dan Batam sebagai kawasan industry yang banyak menghasilkan perangkat lunak elektronik yang didominasi pelaku usaha dari Singapura dengan pangsa pasar terbesarnya ke Amerika dan Eropa, tidak dapat luput dari persoalan krisis ini. Belum lagi selesai persoalan kenaikan tarif dasar listrik , kini ditambah adanya krisis ekonomi global makin membuat sulit kalangan dunia usaha. Demikian halnya dengan para pekerja yang juga saat ini sedang mengalami persoalan dengan dikeluarkannya SKB 4 Menteri tentang 'Pemeliharaan momentum pertumbuhan ekonomi nasional dalam mengantisipasi perkembangan perekonomian global' yang dikeluarkan pada tanggal 22 Oktober 2008. SKB ini lahir sebagai jawaban atas situasi ekonomi , dimana pemerintah disatu sisi berkewajiban menjaga angka pertumbuhan ekonomi agar tidak terseret jauh ke dalam krisis global, disisi lain juga mencegah bertambahnya angka pengangguran. Tanggapan atas SKB di atas dari kalangan pengusaha dan pekerja tentu berbeda, dari kacamata pekerja bahwa Pemerintah lebih cenderung berpihak pada pengusaha dengan mengorbankan para pekerja, dari kalangan pengusaha jelas merasa diuntungkan atas keberpihakan pemerintah tersebut. Namun persoalannya bukan pada pihak memihak, pertanyaannya seberapa besar perlunya mengeluarkan SKB tersebut dan efektivitasnya untuk bisa dijalankan di lapangan. Sebenarnya cukup beralasan bila para pekerja menolak SKB 4 Menteri di atas, khususnya dalam hal penetapan Upah Minimum yang tidak melebihi angka pertumbuhan ekonomi nasional. Beberapa hal yang cukup mendasar yang bisa diambil sebagai inti permasalahan dari penolakan para pekerja atas SKB itu adalah bahwa pertama dari sisi hokum SKB tersebut bertentangan dengan aturan di atasnya, UUD 1945 pasal 28D ayat (2), UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenaga Kerjaan, Permenaker No. 1 tahun 1999 jo Kepmenaker No. 226/Men/2000 tentang Upah Minimum dan Permenaker No. 17/Men/VIII/2005 tentang Komponen dan Tahapan Pencapaian KHL, bahwa Upah Minimum Kota/Propinsi ditetapkan oleh Gubernur berdasarkan rekomendasi dari Bupati atau Walikota, bukan atas dasar penetapan secara Bipartit sebagaimana yang disampaikan dalam SKB 4 Menteri tersebut. Kedua, bahwa selama ini pekerja lebih banyak dikorbankan untuk kepentingan pengusaha, asas keseimbangan tidak ada, pemerintah memposisikan dirinya sebagai wasit yang tidak bisa bijak dalam penyelesaian masalah pengupahan ini. SKB 4 Menteri merupakan satu bukti bahwa pekerja yang dikorbankan. Jika benar pemerintah tidak punya niatan mengorbankan kaum pekerja maka tidak perlu dikeluarkan SKB tersebut. Ketika kondisi ekonomi sedang baikpun, kenaikan upah minimum tidak pernah menyentuh angka KHL. Jadi yang diperlukan sebenarnya adalah langkah nyata dari pemerintah dengan menurunkan harga kebutuhan pokok. Membuat batasan terhadap margin keuntungan dan sanksi tegas terhadap pelaku ekonomi yang dikelola oleh beberapa gelintir orang yang mengolah kebutuhan hidup orang banyak. Jika hal ini dapat dilakukan dengan cepat dan nyata maka tidak akan ada gejolak dan tuntutan dari pekerja atas upahnya yang masih jauh dari kebutuhan untuk hidup layak itu. Karena persoalan yang mendasar ini pemerintah tidak mampu melakukan maka jalan termudah adalah mengeluarkan sebuah kebijakan yang tidak bijak tersebut akhirnya. Kita lihat saja dalam minggu-minggu ini, jika pemerintah pusat jadi menurunkan harga BBM, sejauh mana pemerintah daerah ini mampu menurunkan semua harga yang sudah terlanjur melambung itu, apakah turunnya bisa secepat ketika harga BBM naik atau malah tidak turun sama sekali dan pemerintah diam saja. Ujian pertama bagi Batam sebagai kawasan perdagangan bebas kali ini adalah bakal adanya aksi penolakan dari para pekerja atas SKB 4 Menteri, belum lagi pengupahan sector pariwisata yang masih belum tuntas dan makin menimbulkan keanehan karena nilai 903 ribu rupiah di PTUN- kan sementara UMK saat ini sudah sebesar 960 ribu rupiah bisa dijalankan oleh kalangan perhotelan, tentu ada benang merah yang perlu dicari tahu penyebabnya, barangkali perlu introspeksi diri dari masing-masing pihak yang terlibat dalam hal ini. Jalur hokum sebaiknya juga ditempuh oleh kalangan pekerja selain aksi demo atas upaya PHRI "menghilangkan" UMS Pariwisata ini, dan tindakan hokum ini akan lebih elegan di mata publik terhadap gerakan pekerja. Waktu terus bergulir, akhir tahun kian dekat dan pembahasan UMK masih berjalan dan belum ada yang tahu akan berakhir seperti apa, yang jelas masyarakat pekerja akan melakukan ritual rutinnya dengan aksi turun ke jalan agar UMK tidak diputus seperti yang diinginkan oleh 4 Menteri . Berani apa tidak Walikota dan Gubernur kita melawan bosnya yang di Jakarta itu? Kita tunggu hasilnya. ***