Serba-serbi Demokrasi 

(Bagian Pertama dari Tiga Tulisan)

Daoed Joesoef
angan gegabah dengan demokrasi. Kalau tidak ditangani sesuai dengan hakikat 
alaminya, ia bisa menggali kuburnya sendiri, bahkan menyeret semua orang ke 
lubang itu, termasuk yang tidak tahu apa-apa. Kematian demokrasi dengan segala 
konsekuensinya itu disebabkan oleh dua hal pokok, yaitu dominasi pertarungan 
fisik dan peningkatan golput.
Demokrasi membuka kesempatan pertarungan ide melalui sistem pemilihan secara 
terbuka. Pertautan "ide" dengan "pemilihan" bertujuan memperjelas karakter 
rezim demokratis yang sulit dan niatnya membuat ide (pemikiran) yang abstrak 
menjadi realitas. Sulit bagi yang memerintah, kiranya tidak perlu diuraikan 
lagi. Tetapi, juga sulit bagi yang diperintah, karena dituntut punya kualitas 
yang begitu murni dan begitu beragam hingga dianggap oleh Rousseau hanya bisa 
dipenuhi oleh manusia-malaikat.
Maka kalaupun menjelang, selama, dan sesudah pemilu pertarungan sudah menjadi 
bersifat fisik, karena ia "dipaksakan" tanpa persiapan edukatif yang relevan. 
Bayangkan, rakyat kita yang sebagian terbesar berupa orang awam dalam 
berdemokrasi didorong untuk berpemilu dua kali setiap minggu, dalam rangka 
pilpres, pileg, dan pilkada. Too much too soon! Keawaman itu lalu dieksploitasi 
oleh para pendiri dan petinggi partai untuk menerapkan nepotisme politik, yang 
berarti menjadikan posisi di bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif serta 
pimpinan kepartaian menjadi tambang rezeki, semacam bisnis.
Mengingat uang pribadi/keluarga juga sudah banyak dipakai untuk menghidupi 
partai, maka posisi itu harus bisa dikuasai secara mati-matian. Lebih-lebih 
bagi para caleg yang sudah membayar upeti yang jumlahnya proporsional dengan 
nomor urut penetapan pencalonannya, maka kalah-menang pemilu sudah menjadi soal 
hidup-mati. Soalnya, bukan tak berani kalah, melainkan tak rela kalau "si 
Blorok" yang menghasilkan telur lepas dari tangan. "Disiplin partai" menuntut 
pengakuan dari anggota dan kadernya bahwa tidak ada yang baik dan benar selain 
partaiku! Hal ini mudah memicu pertikaian yang menjurus ke bentrokan fisik, 
yang sama-sama mengklaim "atas nama rakyat" atau "demi menegakkan demokrasi".

 

"Uang Kursi"
Menjadi golput memang merupakan sikap yang tidak terpuji dalam berdemokrasi. 
Namun, bagaimana warga tidak bersikap begitu kalau yang "harus" dia pilih 
adalah "yang terbaik di antara yang terburuk" - the best among the worst. Para 
pendiri dan petinggi partai dengan seenaknya menyodorkan istri, anak, 
keponakan, dan tetangga dekat mereka pada posisi strategis daftar calon anggota 
legislatif, termasuk orang-orang yang masih berurusan dengan perkara di 
pengadilan, serta yang sama sekali belum pernah bekerja di bidang apa pun alias 
pengangguran.
Bagaimana orang tidak menduga kalau di balik semua itu ada setoran "uang kursi" 
yang kelak ditutup dengan korupsi agar bisa "pulang pokok". Bukankah preseden 
mengenai hal itu sudah ada dalam perilaku sementara wakil rakyat di DPR yang 
sedang berfungsi. Kalaupun semasa prareformasi dahulu mereka berteriak-teriak 
antikorupsi, rupanya hanya karena belum berkesempatan untuk berbuat demikian. 
Bahkan, setelah ketahuan menyeleweng malah dilindungi oleh partai dengan alasan 
"praduga tak bersalah". Yang berusaha mau membeberkannya malah dikenakan sanksi 
kepartaian. Belum lagi dihitung penghamburan uang negara/rakyat yang mereka 
pakai untuk berpariwisata ke luar negeri dengan alasan "studi banding". Sudah 
miskin pengetahuan, miskin nurani pula.
Kelebihan demokrasi terhadap lain-lain formula pemerintahan, menurut Prof 
Burdeau, adalah apa yang ia pantangkan: kekuasaan otoritas yang tidak berasal 
dari rakyat. Maka definisinya yang paling sederhana dan juga yang paling valid 
- yaitu pemerintahan dari rakyat oleh rakyat - baru bermakna seutuhnya setelah 
diperhatikan apa yang menjadi pantangan itu.
Kaitan antara demokrasi dan ide kebebasan, secara rasional dan in fact, tidak 
terpisahkan. Maka demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan yang cenderung 
mengandung kebebasan dalam hubungan politik, yaitu dalam semua relasi 
"perintah" dan "kepatuhan",

 inherent dengan setiap komunitas yang diorganisasi secara politik. Otoritas 
memang ada di situ, tetapi ia dikelola demikian rupa, sehingga bersendikan 
persetujuan dari mereka yang tunduk kepadanya, ia tetap kompatibel dengan 
kebebasan. Dengan begitu terjunjung tinggi nilai moral demokrasi yang 
membolehkan para partisannya menegaskan superioritas demokrasi atas lain-lain 
formula pemerintahan, karena ia adalah satu-satunya yang mengetengahkan 
martabat dari manusia yang bebas sebagai patokan tatanan politik.
Namun, demi penghayatan signifikansi dari demokrasi tidak cukup kiranya dengan 
mengasosiasikan asas demokrasi pada ide kebebasan human. Masih diperlukan 
pengkaitannya dengan konsistensi dari kebebasan mengingat kemungkinan adanya 
interpretasi yang bisa komplementer atau berlawanan satu sama lain.

Otonomi
Ada konsepsi tentang kebebasan yang memahaminya sebagai ekuivalen dengan 
otonomi. Kebebasan-otonomi ini ditandai oleh tidak adanya paksaan, oleh rasa 
independensi baik dalam artian fisik maupun spiritual. Betapapun agungnya 
kebebasan ini ia adalah suatu kesempatan, sebab ia berupa suatu kemampuan yang 
memungkinkan manusia untuk mengatur dirinya sendiri. Sejauh orang-orang 
menyadari betapa rapuhnya otonomi tersebut mereka lalu memikirkan garansinya 
terhadap semua risiko yang mengancamnya, paling sedikit terhadap mereka yang 
berasal dari eksistensi otoritas politik itu sendiri atau dinasti politik.
Dengan begitu, timbullah suatu konsepsi lain tentang kebebasan, yang disebut 
kebebasan-partisipasi. Konsepsi ini mengasosiasikan pihak-pihak yang diperintah 
pada pelaksanaan kekuasaan untuk mencegahnya mendesakkan kepada mereka 
kebijakan- kebijakan yang sewenang-wenang. Jadi bila disimpulkan, kalau 
kebebasan politik berasal dari kebebasan-otonomi, kebebasan yang membebaskan 
lahir dari kebebasan partisipasi.
Melalui intervensi hak-hak politik inilah terjamin individu berpartisipasi 
dalam fungsi-fungsi pemerintahan. Demokrasi disebut rezim dari kebebasan 
politik, karena otoritasnya didasarkan atas kehendak dari orang-orang yang 
dibawahinya. Yang pasti adalah kebebasan bukanlah

 pre-existent data yang perlu dilindungi, tetapi suatu kemampuan yang harus 
dikuasai. Berarti, pengertian kebebasan diganti dengan "harapan akan kebebasan" 
- the expectation of a liberation.
Perspektif yang baru ini cepat menjadi pegangan dari rakyat Negara-Bangsa yang 
relatif baru merdeka, karena dalam perspektif ini semua tatanan sosial 
dipertanyakan dan bersamaan dengan itu makna demokrasi. Jadi, dari rezim 
politik yang bermaksud menjamin individu-individu bisa menikmati kebebasan yang 
dikuasainya, demokrasi menjadi suatu organisasi dari kekuasaan pemerintahan 
yang bertujuan memastikan mereka melaksanakan kebebasan yang belum mereka 
miliki. Demokrasi menjadi suatu cara pengelolaan suatu alam yang bebas.
Berarti, bila perspektif yang baru ini diterapkan begitu saja tanpa pendidikan 
yang relevan, demokrasi gampang membuahkan nepotisme politik yang meratakan 
jalan, berkat rintisan kekecewaan rakyat, bagi perluasan nihilisme dan 
pengukuhan sikap apatis. Kalau sudah sampai ke titik itu, suasana cukup matang 
bagi kedatangan otoriterisme kalaupun bukan diktator, dengan dalih menumpas 
anarkisme. Sebab biar bagaimanapun manusia modern tidak akan mampu menunaikan 
tanggung jawab kemasyarakatan tanpa satu organisasi dan tanpa satu otoritas.

Penulis adalah alumnus Université Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne




Last modified: 18/11/08
 
http://202.169.46.231/News/2008/11/18/Editor/edit01.htm



   Salam
Abdul Rohim
http://groups.google.com/group/peduli-jateng?hl=id


      

Kirim email ke