----- Original Message ----- 
  From: Ulil Abshar-Abdalla 
  To: KNU-ASK ; Islam Liberal ; Pluralitas 
  Sent: Sunday, November 30, 2008 3:01 AM
  Subject: [pluralitas-icrp] Apakah istilah "Allah" hanya milik umat Islam saja?


  Apakah istilah "Allah" hanya milik umat Islam saja?

  SEORANG perempuan beragama Kristen saat ini sedang menggugat pemerintah 
Malaysia dengan alasan telah melanggar haknya atas kebebasan beragama (baca 
International Herald Tribune, 29/11/2008). Mei lalu, saat  balik dari kunjungan 
ke Jakarta, Jill Ireland, nama perempuan itu, membawa sejumlah keping DVD yang 
berisi bahan pengajaran Kristen dari Jakarta. Keping-keping itu disita oleh 
pihak imigrasi, dengan alasan yang agak janggal: sebab dalam sampulnya terdapat 
kata "Allah".  

  Sejak tahun lalu, pemerintah Malaysia melarang penerbitan Kristen untuk 
memakai kata "Allah", sebab kata itu adalah khusus milik umat Islam. Umat lain 
di luar Islam dilarang untuk menggunakan kata "Allah" sebagai sebutan untuk 
Tuhan mereka. Pemakaian kata itu oleh pihak non-Muslim dikhawatirkan bisa 
membingungkan dan "menipu" umat Islam (Catatan: "Sedih sekali ya, umat Islam 
kok mudah sekali tertipu dengan hal-hal sepele seperti itu?")

  Pertanyaan yang layak diajukan adalah: apakah kata "Allah" hanyalah milik 
umat Islam saja? Apakah umat lain tidak boleh menyebut Tuhan yang mereka sembah 
dengan kata "Allah"? Apakah pandangan semacam ini ada presedennya dalam sejarah 
Islam? Kenapa pendapat seperti itu muncul?

  Sebagai seorang Muslim, terus terang saya tak bisa menyembunyikan rasa geli, 
tetapi juga sekaligus jengkel, terhadap pandangan semacam ini. Sikap pemerintah 
Malaysia ini jelas bukan muncul dari kekosongan. Tentu ada sejumlah ulama dan 
kelompok Islam di sana yang menuntut pemerintah mereka untuk memberlakukan 
larangan tersebut. 

  Di Indonesia sendiri, hal serupa juga pernah terjadi. Beberapa tahun lalu, 
ada seorang pendeta Kristen di Jakarta yang ingin menghapus kata "Allah" dalam 
terjemahan Alkitab versi bahasa Indonesia. Menurut pendeta itu, istilah "Allah" 
bukanlah istilah yang berasal dari tradisi Yudeo-Kristen. Nama Tuhan yang tepat 
dalam tradisi itu adalah Yahweh bukan Allah. 

  Jika usulan untuk melarang penggunaan kata Allah berasal dari dalam kalangan 
Kristen, tentu saya, sebagai orang luar, tak berhak untuk turut campur. Tetapi 
jika pendapat ini datang dari dalam kalangan Islam sendiri, maka saya, sebagai 
seorang Muslim dan "orang dalam", tentu berhak mengemukakan pandangan 
mengenainya. 

  Pandangan bahwa istilah Allah hanyalah milik umat Islam saja, menurut saya, 
sama sekali tak pernah ada presedennya dalam sejarah Islam. Sejak masa 
pra-Islam, masyarakat Arab sendiri sudah memakai nama Allah sebagai sebutan 
untuk salah satu Tuhan yang mereka sembah. Dalam Quran sendiri, bahkan 
berkali-kali kita temui sejumlah ayat di mana disebutkan bahwa orang-orang 
Arab, bahkan sebelum kedatangan Islam, telah mengakui Allah sebagai Tuhan 
mereka (baca QS 29:61, 31:25, 39:37, 43:87). Dengan kata lain, kata Allah sudah 
ada jauh sebelum Islam sebagai agama yang dibawa Nabi Muhammad lahir di tanah 
Arab.

  Begitu juga, umat Kristen dan Yahudi yang tinggal di kawasan jazirah Arab dan 
sekitarnya memakai kata Allah sebagai sebutan untuk Tuhan. Para penulis Kristen 
dan Yahudi juga memakai kata yang sama sejak dulu hingga sekarang. Seorang 
filosof Yahudi yang hidup sezaman dengan Ibn Rushd di Spanyol, yaitu Musa ibn 
Maimun (atau dikenal di dunia Latin sebagai Maimonides [1135-1204]) menulis 
risalah terkenal, "Dalalat al-Ha'irin" (Petunjuk Bagi Orang-Orang Yang 
Bingung). Kalau kita baca buku itu, kita akan jumpai bahwa kata Allah selalu ia 
pakai untuk menyebut Tuhan.

  Semua Bibel versi Arab memakai kata Allah sebagai nama untuk Tuhan. Ayat 
pertama yang terkenal dalam Kitab Kejadian diterjemahkan dalam bahasa Arab 
sebagai berikut: "Fi al-bad'i khalaqa Allahu al-samawati wa al-ard" (baca 
"Al-Kitab al-Muqaddas" edisi The Bible Society in Lebanon). Dalam terjemahan 
versi Lembaga Alkitab Indonesia (LAI), ayat itu berbunyi: "Pada mulanya Allah 
menciptakan langit dan bumi". 

  Tak seorangpun sarjana Islam yang memakai bahasa Arab sebagai bahasa ibu 
mereka, entah pada masa klasik atau modern, yang mem-beslah atau keberatan 
terhadap praktek yang sudah berlangsung ratusan bahkan ribuan tahun itu. Tak 
seorang pun ulama Muslim yang hidup sezaman dengan Maimonides yang memprotes 
penggunaan kata Allah dalam buku dia di atas. 

  Polemik antara Islam dan Kristen sudah berlangsung sejak masa awal Islam, 
dan, sejauh pengetahuan saya, tak pernah kita jumpai seorang "mutakallim<" atau 
teolog Muslim yang terlibat perdebatan dengan teolog Kristen atau Yahudi karena 
memperebutkan kepemilikan atas kata Allah. (Survei terbaik tentang sejarah 
polemik Islam-Kristen sejak masa awal Islam hingga abad ke-4 H/10 M adalah buku 
karangan Abdul Majid  Al-Sharafi, "Al-Fikr al-Islami fi al-Radd 'Ala 
al-Nashara", 2007). 

  Dalam perspektif historis, pandangan sejumlah ulama Malaysia yang kemudian 
diresmikan oleh pemerintah negeri jiran itu, jelas sangat aneh dan janggal 
sebab sama sekali tak ada presedennya. Dipandang dari luar Islam, pendapat 
ulama Malaysia itu juga bisa menjadi bahan olok-olok bagi Islam. Sebab, 
pandangan semacam itu tiada lain kecuali memperlihatkan cara berpikir yang 
sempit di kalangan sebagian ulama. Jika para ulama di Malaysia itu mau merunut 
sejarah ke belakang, kata Allah itu pun juga bukan "asli" milik umat Islam. 
Kata itu sudah dipakai jauh sebelum Islam datang. Dengan kata lain, umat Islam 
saat itu juga meminjam kata tersebut dari orang lain.

  Yahudi, Kristen, dan Islam adalah tiga agama yang lahir dari rahim yang sama, 
yaitu dari tradisi Ibrahim. Islam banyak sekali mewarisi tradisi dan ajaran 
dari kedua agama itu. Karena asal-usul yang sama, dengan sendirinya sudah 
lumrah jika terjadi proses pinjam-meminjam antara ketiga agama itu. Selama 
berabad-abad, ketiga agama itu juga hidup berdampingan di jazirah Arab dan 
sekitarnya. Tak heran jika terjadi proses saling mempengaruhi antara ketiga 
tradisi agama Ibrahimiah tersebut. Tradisi Kristiani, misalnya, mempunyai 
pengaruh yang besar dalam proses pembentukan Islam, terutama dalam tradisi 
pietisme atau mistik (baca, misalnya, buku karangan Tarif Khalidi, "The Muslim 
Jesus: Saying and Stories in Islamic Literature", 2001).

  Quran sendiri banyak meminjam dari tradisi lain, termasuk dalam konteks 
istilah-istilah yang berkaitan dengan peribadatan. Hampir semua istilah-istilah 
ritual yang ada dalam Islam, seperti salat (sembahyang), saum (puasa), hajj, 
tawaf (mengelilingi ka'bah), ruku' (membungkuk pada saat salat) dsb., sudah 
dipakai jauh sebelum Islam oleh masyarakat Arab. 

  Dengan kata lain, proses pinjam-meminjam ini sudah berlangsung sejak awal 
kelahiran Islam. Pandangan ulama Malaysia itu seolah-olah mengandaikan bahwa 
semua hal yang ada dalam Islam, terutama istilah-istilah yang berkenaan dengan 
doktrin Islam, adalah "asli" milik umat Isalm, bukan pinjaman dari umat lain. 
Sebagaimana sudah saya tunjukkan, pandangan semacam itu salah sama sekali. 

  JIKA demikian, bagaimana kita menjelaskan pendapat yang janggal dari Malaysia 
itu? Saya kira, salah satu penjelasan yang sederhana adalah melihat masalah ini 
dari sudut dinamika internal dalam tubuh umat Islam sendiri sejak beberapa 
dekade terakhir. Sebagaimana kita lihat di berbagai belahan dunia Islam 
manapun, ada gejala luas yang ditandai oleh mengerasnya identitas dalam tubuh 
umat. Di mana-mana, kita melihat suatu dorongan yang kuat untuk menetapkan 
batas yang jelas antara Islam dan non-Islam. Kekaburan batas antara kedua hal 
itu dipandang sebagai ancaman terhadap identitas umat Islam.

  Penegasan bahwa kata "Allah" hanyalah milik umat Islam saja adalah  bagian 
dari manifestasi kecenderungan semacam itu. Pada momen-momen di mana suatu 
masyarakat sedang merasa diancam dari luar, biasanya dorongan untuk mencari 
identitas yang otentik makin kuat. Inilah tampaknya yang terjadi juga pada umat 
Islam sekarang di beberapa tempat. Kalau kita telaah psikologi umat Islam saat 
ini, tampak sekali adanya perasaan terancam dari pihak luar. Teori konspirasi 
yang melihat dunia sebagai arena yang dimanipulasi oleh "kllik" tertentu yang 
hendak menghancurkan Islam mudah sekali dipercaya oleh umat. Teori semacam ini 
mudah mendapatkan pasar persis karena bisa memberikan justifikasi pada perasaan 
terancam itu. 

  Keinginan untuk memiliki identitas yang otentik dan "beda" jelas alamiah 
belaka dalam semua masyarakat. Akan tetapi, terjemahan keinginan itu dalam 
dunia sehar-hari bisa mengambil berbagai bentuk. Ada bentuk yang sehat dan 
wajar, tetapi juga ada bentuk yang sama sekali tak masuk akal bahkan lucu dan 
menggelikan. Pandangan ulama Malaysia yang kemudian didukung oleh pemerintah 
negeri itu untuk melarang umat Kristen memakai istilah "Allah" adalah salah 
satu contoh yang tak masuk akal itu. Sebagaimana saya sebutkan di muka, secara 
historis, pandangan semacam ini sama sekali tak ada presedennya. Selain itu, 
proses saling meminjam antara Islam, Kristen dan Yahudi sudah berlangsung dari 
dulu. 

  Bayangkan saja, jika suatu saat ada kelompok Yahudi yang berpikiran sama 
seperti ulama Malaysia itu, lalu menuntut agar umat Islam tidak ikut-ikutan 
merujuk kepada nabi-nabi Israel sebelum Muhammad --  apakah tidak runyam 
jadinya. Orang Yahudi bisa saja mengatakan bahwa sebagian besar nabi yang 
disebut dalam Quran adalah milik bangsa Yahudi, dan karena itu umat Islam tak 
boleh ikut-ikutan menyebut mereka dalam buku-buku Islam. Sudah tentu, kita tak 
menghendaki situasi yang "lucu" dan ekstrem seperti itu benar-benar terjadi. 

  Selama ini umat Islam mengeluh karena umat lain memiliki pandangan yang 
negatif tentang Islam, dan karena itu mereka berusaha sekuat mungkin agar citra 
negatif tentang agama mereka itu dihilangkan. Masalahnya adalah bahwa sebagian 
umat Islam sendiri melakukan sejumlah tindakan yang justru membuat citra Islam 
itu menjadi buruk. Menurut saya, pendapat ulama dan sikap pemerintah Malaysia 
itu adalah salah satu contoh tindakan semacam itu. Jika umat Islam menginginkan 
agar umat lain memiliki pandangan yang positif tentang agama mereka, maka 
langkah terbaik adalah memulai dari "dalam" tubuh umat Islam sendiri. Yaitu 
dengan menghindari tindakan yang tak masuk akal. 

  Tak ada gunanya umat Islam melakukan usaha untuk mengoreksi citra Islam, 
sementara umat Islam sendiri memproduksi terus-menerus hal-hal yang janggal dan 
tak masuk akal. 

  Ulil Abshar Abdalla

  Caveat:  Mohon maaf kepada teman-teman dan pembaca Malaysia, jika tulisan 
saya ini terlalu kritis pada pemerintah Malaysia dalam isu yang spesifik ini. 
Saya sama sekali tidak berpandangan bahwa sikap pemerintah Malaysia itu 
mewakili sikap seluruh umat Islam di sana. Saya tahu, banyak kalangan Islam di 
sana yang tak setuju dengan sikap ulama dan pemerintah Malaysia ini.

  [Non-text portions of this message have been removed]



   

Kirim email ke