http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=2005


Robohnya Moralitas Publik


Thomas Koten 



Belakangan ini, media massa cetak dan elektronik mengangkat potret kehidupan 
rakyat yang kian nestapa akibat hempasan multikrisis dan krisis global. Ada 
pemutusan hubungan kerja, ada derita petani sawit, nasib buruh yang belum 
membaik, ribuan anak NTB alami gizi buruk, dua anak di Gorontalo meninggal 
akibat gizi buruk, dan lain-lain.

Di tengah cerita pedih tersebut, kepada publik malah disuguhi laporan media 
massa tentang sepinya kehadiran anggota DPR di Gedung DPR karena anggotanya 
mulai sibuk berkampanye. Sejumlah politisi di DPR juga sibuk dalam prokontra 
renovasi gedung DPR, sehingga menambah perihnya hati rakyat.

Berita lain, pimpinan parpol giat beriklan di televisi dan media massa cetak 
mengenai agenda, program, dan capaian yang akan mereka lakukan jika terpilih 
entah sebagai presiden atau anggota legislatif. Sejumlah politisi lainnya asyik 
berdebat mengenai substansi iklan politik. Para pemerhati dan publik politik 
terus gencar menyoroti politik uang yang menyelinap dalam kelambu partai, dan 
fenomena korupsi yang membuntuti kaum elite negeri. 

Belum lagi geliat perselingkuhan yang kerap terjadi antara politisi, penguasa, 
dan aparat penegak hukum, sehingga pemberantasan korupsi seperti, tebang pilih 
alias politisasi hukum dan kinerja mereka dirasakan lebih mengabdi pada 
oligarki (partai) atau penguasa daripada rakyat. Maka, rakyat pun dibiarkan 
menantang sendiri hempasan badai krisis. Sebab, sejauh kita pantau dari 
pemberitaan media massa, tidak tampak jelas ada tawaran alternatif kebijakan 
atau aksi nyata dari elite negeri, elite parpol, dan DPR untuk menuntaskan 
krisis dan menjawab krisis global. Lalu, siapa yang dapat mendampingi rakyat 
untuk membebaskan mereka dari kenestapaannya?

*

Awalnya, gerbong reformasi digerakkan dan pilar demokratisasi didesain untuk 
merobohkan otoriterisme kekuasaan dan kesemuan politik demokratis, formalisme 
hukum, serta membongkar kebobrokan moral yang dibalut KKN. Demokratisasi yang 
didesain pascareformasi diyakini sebagai obat mujarab untuk mencerdaskan publik 
yang sudah lama terbalut bebalisme yang dicerminkan dengan buta dan tulinya 
mata hati mereka yang bekerja di wilayah pelayanan publik negara, di wilayah 
politik, hukum, dan birokrasi.

Implikasinya, sistem politik multipartai dibangun, pers bebas dikembangkan demi 
menampung aspirasi, kritik, dan kontrol publik untuk menghapuskan otoriterisme 
kekuasaan, kesemuan politik, formalisme, mandulnya hukum, serta kebobrokan 
moral. Dengan demikian, diharapkan segera dibangun politik yang anggun, santun, 
etis dengan mengutamakan perhatian pada rakyat, kekuasaan yang berwibawa, hukum 
yang berkeadilan, nurani publik yang cerdas, dan moral bangsa yang bersih. 
Tetapi, semua masih menjadi isapan jempol belaka.

Yang terjadi hingga saat ini, setelah satu dasawarsa gerbong reformasi 
digerakkan dan demokratisasi didesain, semua wilayah itu masih saja mencuatkan 
fenomena narsis, despotis, dan formalis. Keagungan politik dan kewibawaan 
kekuasaan belum menunjukkan kesejatiannya. Politik dalam praktiknya masih 
bernuansa politik puritan yang didominasi libido kekuasaan dan nafsu meraup 
kekayaan negara. Politik sebagai daya kreasi kekuasaan untuk menjebol kebuntuan 
hidup bernegara dan kecerdasan untuk mengubah nasib rakyat yang menderita, 
melempeng jauh ke dalam perilaku nan egoistis. Politik sebagai perpaduan antara 
ilmu dan kekuatan batin untuk mengubah keadaan rakyat yang masih nestapa masih 
jauh panggang dari api, sehingga yang menyembul ke ranah publik adalah rakyat 
yang semakin teralienasi dan apatis terhadap jalannya politik yang digerakkan 
parpol.

Selain itu, hukum dalam praksis pencarian mata rantai keadilan, terjerembap 
menjadi sekadar ritualisme formalisme yang tidak memiliki roh keadilan dan 
kebenaran. Hukum diperalat dan para penegak hukum dininabobokan oleh para 
politisi dan penguasa untuk memperoleh legitimasi, melanggengkan kekuasaan, dan 
mempertahankan rezim. Hukum menjadi alat konfigurasi politik dan kekuasaan, 
sehingga perannya sebagai neraca dan pilar hidup yang dapat memberikan 
keadilan, kebenaran, dan kebahagiaan hidup warga tinggal menjadi neraca macan 
ompong.

Maka, semua yang terjadi di tataran elite bangsa ini, yang kemudian dicerap 
oleh masyarakat kelas bawah, tidak lain adalah menggejalanya perilaku psikopat, 
yang seakan membenarkan sentilan Hannah Arendt tentang apa yang disebutnya 
sebagai "kebebalan keburukan" (the banality of evil). Perilaku psikopat adalah 
perilaku egoistik-individualistik berlebihan yang hanya mementingkan kesenangan 
dan keuntungan diri tanpa mempedulikan norma-norma sosial. Hal ini menggejala 
di hampir seluruh lapisan sosial politik kenegaraan di dewan, di lingkungan 
politik parpol, birokrasi dan aparat penegak hukum, maka tidak berlebihan jika 
dilukiskan sebagai patologi sosial.

*

Elite politik, kaum penguasa, birokrat, dan aparat penegak hukum, yang disergap 
patologi sosial, telah membuat negara menjadi tidak seindah khayalan -image 
communitty- nya Benedict Anderson dalam mengafirmasi keperkasaan tak terjamah 
yang menyelaraskan bangsa. Masyarakat pun bukan saja teralienasi pada setiap 
gerak politik kekuasaan dan janji-janji penegakan hukum, tetapi mencuat dalam 
antisipasi ekstrem terhadap moral selaku pegangan konstruksi politik hukum. 
Nyaris tak ada lagi institusi yang kebal korupsi. 

Persoalannya, sampai kapan publik bangsa, khususnya kalangan elite dan 
birokrat, dibudaki hasrat menumpuk materi, memenuhi dorongan 
libidinitas-kebutuhan konsumsi ragawi-hedonistik yang melampaui standar 
ketercukupan untuk menjalani kehidupan yang membuat moral publik tergeletak tak 
berdaya?

Untuk mengangkat kembali moral bangsa yang roboh, tergeletak tak berdaya, 
diperlukan komitmen tinggi dan keterpaduan niat seluruh bangsa, khususnya 
lapisan elite. Memberantas korupsi bukan hanya proforma. Politik pun bukan 
hanya soal wacana, tetapi sungguh karya nyata, bahkan terutama impetus 
pengorbanan.

Mahkamah Agung, sebagai pilar penegak hukum, harus benar-benar tampil dengan 
kesaktian tanpa sanggup digembosi harta dan kekuasaan, dan tidak berkhianat 
demi menggapai kepentingan diri. Semua yang masuk dalam barisan penegak hukum 
harus teguh dan kukuh dalam mempertahankan aturan hukum, terutama kaum elite 
yang terjerat hukum. Lebih baik menghukum satu koruptor kelas kakap daripada 
memenjarakan 1.000 koruptor kelas teri. 

Di samping itu, reformasi birokrasi bukan hanya wacana yang hanya menyentuh 
lapisan kulit ari, tetapi harus menyerap masuk ke dalam sumsum pemerintahan. Di 
sini, diperlukan kreativitas pemerintah dalam mengambil langkah 
politis-progresif riil. Ini tentu harus dibantu oleh kritik dan kontrol publik 
agar mentalitas koruptif terkikis.

Semuanya mesti bermuara pada hormat terhadap negeri dan cinta Tanah Air yang 
oleh Machiavelli merupakan kesalehan puncak dengan kesediaan menempatkan 
kemaslahatan umum di atas kepentingan lainnya. Ini sebagai modal moral dan 
patrionalisme cermin jiwa penghuni republik.


Penulis adalah Direktur Social Development Center

Kirim email ke