Risiko Fatwa Agama untuk Politik Oleh: Akh. Muzakki *
Kegelisahan patut dibangkitkan. Sebab, ada kecenderungan publik, siapa pun mereka, dengan gampangnya meminta fatwa kepada MUI atas problem yang sedang dihadapi. Setelah ramai-ramai soal rokok, kini publik meminta fatwa haram golput kepada MUI. Tak tanggung-tanggung, figur sekelas Ketua MPR Hidayat Nurwahid meminta MUI untuk mengeluarkan fatwa haram atas praktik golput yang dipandang belakangan semakin menguat. Sebagai latar belakang lebih jauh, Hidayat Nurwahid memandang bahwa angka golput dalam sejumlah pilkada terbukti rata-rata lebih dari separo jumlah pemilih sah (Jawa Pos, 13/12/2008). Gagasan Hidayat itu kemudian diikuti oleh PPP dengan anggukan persetujuan yang sama atas perlunya fatwa haram golput (Jawa Pos, 15/12/2008). Dalam argumentasi kalangan yang profatwa haram atas golput di atas, terbaca bahwa agama yang direpresentasikan oleh lembaga fatwa didesak untuk menjadi pilar alternatif bagi demokrasi. Konkretnya, agama didorong dan dipaksa menjadi pilar keenam demokrasi. Fatwa Agama Dalam diskursus demokrasi, selama ini dikenal lima pilar sebagai penyangga tegaknya pemerintahan yang demokratis. Yakni, yudikatif, legislatif, partai politik, media massa, dan masyarakat sipil yang direpresentasikan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM). Kualitas demokrasi di sebuah tatanan masyarakat akan ditentukan oleh berdaya atau tidaknya lima pilar di atas. Jika terdapat kepincangan pada salah satunya, demokrasi juga akan berjalan secara timpang. Namun, dalam banyak kasus, di tengah bobroknya performa yudikatif, legislatif dan partai politik, posisi media massa dan masyarakat sipil yang direpresentasikan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) menjadi kekuatan dan benteng terakhir bagi penegakan demokrasi. Di Amerika Latin, sebagai contoh yang mirip dengan Indonesia, kekuatan masyarakat sipil yang didorong oleh media massa menjadi penjaga gawang terakhir bagi penciptaan moralitas politik yang demokratis (Bresser-Pereira, 2000:18). Sementara itu, keyakinan atau agama justru menempatkan dirinya dalam posisi sebagai inspirasi dan penyemai semangat kebajikan publik yang menjadi dasar pergerakan lima pilar di atas. Dalam posisinya yang demikian, agama justru memperkuat terciptanya bangunan lima pilar demokrasi di atas. Posisi agama semacam ini justru sangat luhur. Namun, dalam kecenderungan terakhir masyarakat kita, agama yang semestinya menjadi inspirasi bagi tegaknya masing-masing dari lima pilar demokrasi di atas justru dicoba untuk digeser lebih jauh. Agama digeser untuk tidak saja menjadi sumber inspirasi dan semangat kebajikan publik, tapi juga bagian dari rangkaian pilar itu sendiri melalui lembaga fatwa. Dengan begitu, agama melalui lembaga fatwa dicoba untuk menjadi pilar keenam bagi penguatan demokrasi. Bentuk konkretnya adalah melalui instrumentasi fatwa atas fenomena dan ekspresi politik. Problem Pilar Keenam Kalau memang benar demikian, agama melalui lembaga fatwa seperti pada kasus golput di atas akan didesak menjadi pilar keenam demokrasi. Maka, ada sejumlah problem yang menyelinap dan tak bisa dihindari. Pertama, mengingat fatwa tidak memiliki kekuatan hukum mengikat (legally binding) bagi seluruh masyarakat, lahirnya fatwa sangat mungkin dilawan dengan pengeluaran fatwa tandingan. Kalau hal seperti ini terjadi, agama bisa akan menjadi tontonan publik semata. Apalagi, masing-masing simpul kekuatan Islam memiliki lembaga fatwa. Pada satu sisi, publik akan merasa bahwa elite agama dan politik telah membuat agama centang perenang melalui ekspresi dan instrumentasi fatwa hukum agama yang dihasilkan secara bertolak belakang satu sama lain. Pada ujung yang lain, publik juga dibuat bingung oleh elite agama dan politik mereka atas ekspresi agama melalui instrumen fatwa yang bertolak belakang dan centang perenang dimaksud. Kedua, jika perang fatwa terjadi, agama akan terfragmentasi dengan sendirinya. Justru dalam konteks ini, posisi agama semakin tidak memiliki kekuatan apa-apa terhadap penyemaian kualitas demokrasi. Agama melalui produk fatwa yang centang perenang di atas akan semakin membuat kekuatan masyarakat terfragmentasi pula sebagai sebuah pilar penting, bahkan dalam sejumlah kasus menjadi pilar terakhir bagi penegakan demokrasi. Apalagi, jika sebuah fatwa agama dinilai oleh publik sarat kepentingan politik praktis, cibiran dan respons negatif publik tak bisa dihindari. Maka, konsekuensi lanjutannya, kontribusi agama semakin lemah bagi penciptaan demokrasi. Justru, agama terancam mandul dan lumpuh ketika fatwa sebagai perwujudan instrumentalnya tak efektif sama sekali sebagaimana maksud awalnya. Belajar dari Pengalaman Kita harus belajar dari pengalaman. Ketika fatwa haram terhadap tayangan infotainment yang berorientasi penggunjingan dikeluarkan oleh NU melalui forum Musyawarah Nasional Alim Ulama di Surabaya pada 3 Agustus 2006, banyak harapan tersembul dari masyarakat. Terteguhkannya kontrol terhadap semangat pendidikan pada program tayangan televisi adalah salah satu contohnya. Namun, praktiknya, fatwa tersebut tak berjalan efektif. Buktinya, terciptanya fatwa tersebut tak mengubah apa-apa atas infotainment itu. *. Akh. Muzakki, dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya, Kandidat PhD bidang Political History di The University of Queensland, Australia http://jawapos.com/ Salam Abdul Rohim http://groups.google.com/group/peduli-jateng?hl=id