http://www.sinarharapan.co.id/berita/0901/16/opi01.html
Apakah Pantas Memilih Kembali Yudhoyono? Oleh Toto Sugiarto Menjelang rotasi kepemimpinan nasional, diperlukan evaluasi terhadap incumbent. Urgensi melakukan hal tersebut terutama karena munculnya fenomena yang menggambarkan kehidupan bernegara yang tercerabut dari realitas. Teriakan petani yang kesulitan mendapatkan pupuk, korban Lapindo yang terenggut hak miliknya, pengaturan dan distribusi energi yang menyulitkan rakyat, dan kaum buruh yang merasa tidak diperhatikan merupakan realitas yang bertolak belakang dengan citra keberhasilan yang digembar-gemborkan pemerintah dalam iklan-iklannya. Jika dilihat dari membaiknya keuangan pemerintah, kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dapat dikatakan berhasil. Namun, hal tersebut tidak menggambarkan keberhasilan perekonomian. Membaiknya cashflow pemerintah bukan merupakan hasil dari kehebatan langkah-langkah pemerintah, melainkan lebih merupakan hasil pemindahan beban dari pemerintah kepada rakyat berupa pengurangan subsidi. Tercerabutnya gambaran kehidupan bernegara dari realitas memunculkan berbagai pertanyaan. Apakah kita pantas memilih kembali Yudhoyono? Ataukah perlu perubahan? Jawaban atas berbagai pertanyaan tersebut hendaknya diberikan setelah kita mencermati rekam jejak Presiden Yudhoyono. Setidaknya, analisis perlu ditekankan pada empat hal, (1) apakah pemerintahan Yudhoyono sungguh-sungguh mengutamakan kepentingan rakyat, (2) mendukung penegakan hukum, (3) mampu mengimplementasikan setiap kebijakan dalam bentuk program aksi, dan (4) apakah Yudhoyono pro-demokrasi. Apakah Presiden Yudhoyono mengutamakan kepentingan rakyat? Setidaknya terdapat tiga kebijakan yang dapat menjawab pertanyaan tersebut, yaitu kebijakan mengurangi subsidi BBM, penanganan semburan lumpur Lapindo, dan SKB 4 Menteri terkait dengan perburuhan. Pengurangan subsidi BBM yang terus-menerus dilakukan, dirasakan amat berat oleh rakyat kecil. Pemerintah berdalih, langkah tersebut tak terhindarkan demi menyelamatkan keuangan pemerintah setelah meroketnya harga minyak dunia. Revitalisasi Pertanian Sayang, setelah harga minyak dunia anjlok sekarang ini, penyesuaian yang dilakukan tidak signifikan dan lebih bermotif politis. Akibatnya, penurunan harga BBM tidak berdampak pada penurunan harga-harga termasuk biaya transportasi. Celakanya, keuangan pemerintah yang membaik berkat pencabutan subsidi rakyat digunakan secara tidak tepat. Pada bulan November 2006, misalnya, rakyat kecewa terhadap langkah Presiden menandatangani PP Nomor 37 Tahun 2006. Dengan PP ini pendapatan para wakil rakyat naik berlipat-lipat di tengah pendapatan rakyat yang turun berlipat-lipat. Di sini terlihat bahwa kebijakan Presiden Yudhoyono tidak mengutamakan kepentingan rakyat. Tidak diutamakannya kepentingan rakyat juga terlihat dalam kasus lumpur Lapindo. Dalam kasus ini, Presiden Yudhoyono terlihat tidak serius menindak perusahaan yang, karena kesengajaan melakukan kesalahan prosedur pengeboran, telah menimbulkan penderitaan rakyat. Dengan PP Nomor 14 Tahun 2007, rakyat yang merupakan korban dipaksa menerima 20 persen pembayaran. Sisanya, bermasalah. Perkembangan terakhir, Minarak Lapindo Jaya kembali diuntungkan dengan keputusan yang membolehkan pelunasan 80 persen dilakukan secara mencicil. PP No 14/2007 merupakan perwujudan konspirasi penguasa-pengusaha. Konspirasi penguasa-pengusaha juga terlihat dari keluarnya SKB 4 Menteri sebagai respons terhadap krisis ekonomi global. Alih-alih melindungi buruh dengan menentukan kenaikan gaji minimal sesuai inflasi, SKB tersebut secara implisit malah membatasi kenaikan gaji buruh tidak boleh lebih dari pertumbuhan ekonomi. Revisi terakhir yang dilakukan pun terkesan hanya untuk meredam gejolak. Kehendak baik tidak terasa dalam revisi tersebut. Langkah pemerintah tersebut dapat dinilai sebagai pemberangusan hak-hak sosial buruh untuk mendapatkan upah yang adil dan wajar. Saat kebutuhan hidup terus meningkat, seharusnya pemerintah mengupayakan kenaikan upah, bukan malah menempatkannya pada kondisi pemakluman terhadap penurunan upah. Apakah Presiden Yudhoyono sungguh-sungguh mendukung penegakan hukum? Sebagian kalangan memberikan apresiasi terhadap sikap Presiden Yudhoyono yang menyatakan tidak akan mengintervensi proses yang dilakukan KPK atas Aulia Pohan. Namun, di sisi lain pemerintahan Yudhoyono terlihat tidak bersih. Beberapa kasus yang diungkap KPK, disebut-sebut melibatkan pembantu Yudhoyono. Dengan realitas ini, sikap ragu-ragu terhadap kesungguhan Yudhoyono mendukung penegakan hukum kiranya perlu dikedepankan. Apakah Presiden Yudhoyono mampu membuat kebijakan sampai pada tataran program aksi? Terdapat program yang paling mudah untuk dijadikan penilaian, yaitu revitalisasi pertanian. Program tersebut berhenti pada tataran ide. Di kehidupan nyata, petani kian diimpit aneka kebijakan yang tidak berpihak kepada mereka. Petani kita selalu berjuang sendirian. Saat musim tanam, mereka kekurangan air karena buruknya sistem irigasi. Saat hama mulai menyerang, mereka kebingungan karena harga pestisida yang tiba-tiba melambung. Bahkan, pupuk selain harganya meroket, sering kali sulit didapatkan. Kondisi ini sering kali disebabkan maraknya penyelewengan distribusi pupuk. Sebagai Bintang Iklan Kondisi ini tidak lepas dari langkah-langkah Yudhoyono yang cenderung hanya mengonstruksi citra. Hal senada dilakukan para pembantunya. Akhir-akhir ini, Kabinet Yudhoyono lebih cocok sebagai bintang iklan. Mereka tidak merasa perlu melaksanakan program aksi yang secara sungguh-sungguh menyelami dan menyelesaikan masalah. Apakah Presiden Yudhoyono merupakan pemimpin yang pro-demokrasi? Jawabannya kita tengok setahun lalu. Presiden Yudhoyono pernah melemparkan gagasan mengenai kemungkinan mekanisme pemilihan gubernur tidak lagi dilakukan oleh rakyat, tapi ditunjuk presiden (Kompas, 7 Desember 2007). Gagasan tersebut jika dilaksanakan akan membuahkan kemunduran demokrasi. Tilikan rekam jejak sang pemimpin amat diperlukan mengingat sekarang muncul cara berpolitik baru, yaitu beriklan. Keburukan yang fatal dari iklan politik adalah hanya mengemukakan hal-hal baik dan menutupi hal-hal buruk. Rakyat tak lebih sebagai konsumen yang dirayu untuk "membeli". Sayangnya, keputusan "membeli" berdasarkan iklan sama saja "membeli kucing dalam karung". Iklan Presiden Yudhoyono dan jajaran menteri mencerminkan hal itu. Dengan jelas kita lihat puja-puji keberhasilan bertebaran dalam iklan tersebut. Padahal, sering kali isi iklan tersebut tidak sesuai dengan realitas. Karena itu, publik perlu diberikan informasi penyeimbang iklan politik sebagai bahan evaluasi dan referensi dalam memilih. Keburukan pemerintah yang tertutupi oleh iklan politik dan program-program santa klaus seperti BLT, raskin, PNPM Mandiri, Jamkesmas dan berbagai program "kembang gula" lainnya perlu diungkap ke permukaan. Dengan demikian, masyarakat dapat menimbang-nimbang pemimpin yang akan dipilih. Jika diperlukan, keburukan yang terungkap ke permukaan akan menjadi alasan utama bagi kelahiran "yang baru". Dengan demikian, kita dapat berharap rakyat mampu melakukan pilihan apakah Republik ini perlu perubahan pemimpin. Penulis adalah Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate