http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009030205514576

      Senin, 2 Maret 2009
     
     
Politik Etnis Pemilu 2009 

      Robi Cahyadi Kurniawan

      Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Unila



      Politisasi etnis kembali mencuat tatkala beberapa waktu silam sekelompok 
masyarakat minoritas etnis Tionghoa mengklarifikasi pernyataan politik beberapa 
kalangan mengenai pilihan atau kecenderungan politik mereka menjelang Pemilu 
2009 khususnya Pilpres mendatang. Isu yang muncul, etnis Tionghoa mendukung 
penuh pencalonan SBY untuk kembali memperebutkan jabatan presiden.

      Melalui media massa, terlihat poin yang disampaikan perwakilan 
mengindikasikan etnis Tionghoa berupaya bersikap netral, dengan tidak 
memposisikan diri dan memihak pada capres manapun.

      Melalui kekuatan finansial dan ekonomi, keberadaan mereka sangat penting. 
Minoritas dalam jumlah ditutupi mayoritas dalam penguasaan aset ekonomi. 
Pengaruh kekuatan uang dan jaringan/klan yang mereka miliki masih kuat 
mendominasi kebijakan publik. Faktor inilah yang menjadi pemicu mengapa 
golongan etnis Tionghoa menjadi gula yang selalu jadi rebutan.

      Di lain pihak, isu tentang etnis Jawa dan luar Jawa kembali jadi 
perbincangan hangat menjelang pilpres, sehangat perbincangan mantan militer 
atau warga sipil yang lebih pantas menduduki jabatan prestisius tersebut.

      Secara teoretis, etnis dapat menjadi persoalan serius mendekati pemilu. 
Upaya mempolitisasi dengan maksud menyamakan persepsi anggota/perkumpulan etnis 
yang seragam dengan memakai baju etnisitas dan adat istiadat bisa menjadi 
sumber masalah.

      Kisruh pilkada sebagai contoh nyata perilaku ini. Contoh paling dekat 
adalah kekerasan yang terjadi di Sumatra Utara. Pembentukan Kabupaten Tapanuli 
Selatan berujung anarkistis jika dikaitkan dengan isu etnis yang juga 
melatarbelakangi pemisahan kabupaten tersebut dari induknya.

      Meredam Gejolak

      Pola pendekatan untuk memahami gejala etnisitas dalam konteks sosial 
politik dilakukan melalui cara tertentu. Primordialisme merupakan pendekatan 
dengan titik pandang secara khusus kepada pengelompokan etnis ke dalam 
faktor-faktor yang bersifat sosio-biologis seperti halnya kewilayahan, agama, 
adat, bahasa, dan organisasi sosial yang melekat pada diri seseorang atau 
kelompok sejak lahir.

      Merendahkan keberadaan etnis dengan mengusik parameter yang ada seperti 
kewilayahan (misalnya pemekaran wilayah) dan mengusik adat dengan menghilangkan 
ritual secara hukum formal karena sebab politis atau melarang organisasi sosial 
etnis dapat memicu bom waktu. Dalam hal ini etnis dengan atribut khas mereka 
perlu dihormati haknya sebagai bagian dari NKRI.

      Cara kedua yakni konstruktivisme. Pendekatan yang lebih berpandangan 
bahwa identitas etnis lahir dari sebuah proses dari dinamika sosial yang 
kompleks dan dalam jangka waktu yang panjang. Simbol-simbol dan berbagai 
atribut yang menjadi identitas etnis selalu berada dalam proses rekonstruksi, 
sesuai tuntutan perubahan lingkungan sosial.

      Proses rekonstruksi simbol sering disalahgunakan untuk kepentingan 
politis. Pihak yang berkepentingan adalah para pemangku adat atau pihak yang 
dihormati dalam etnis tersebut. Dinamika sosial terkadang dibentuk melalui 
wacana politik dengan bermaksud mencari keuntungan ekonomi atau politik.

      Opini dan frame berpikir dikondisikan untuk memilih pilihan yang sesuai 
dengan pihak yang berkuasa di etnis tersebut. Sebagai contoh, penyeragaman 
berfikir dan bertindak dalam memilih presiden dalam pemilu.

      Hanya segelintir etnis tertentu yang tidak terkontaminasi oleh 
rekonstruksi sosial yang terkoordinasi dan dilakukan dengan sistematis. Salah 
santu contohnya adalah kaum Samin, yang cenderung a politis bahkan berani 
melawan kebijakan pemerintah yang tidak sejalan dengan nilai luhur yang 
dijunjung dalam etnis mereka. Kaum Samin tidak terpengaruh oleh rekonstruksi 
simbol dan kekuatan uang. Di sinilah letak kekhasan etnis Samin.

      Manipulasi dan mobilisasi politik terhadap etnis tertentu dengan 
melibatkan parameter etnisitas seperti, bahasa, agama, ras, kebangsaan kerap 
terjadi. Pemahaman politik terlebih politik praktis yang kurang memadai dan 
dipadu oleh kekurangan dalam memperoleh informasi melalui sarana media yang 
layak membuat mobilisasi politik itu semakin nyata.

      Sebagian etnis minoritas lokal, seperti suku-suku Dayak di Kalimantan, 
suku Anak Dalam dan Kubu di pedalaman Riau dan Jambi, suku asli Papua rentan 
dijadikan komoditas politik. Meskipun sebagian dari mereka apolitis, namun 
manipulasi politik terjadi dengan membenturkan isu dengan keberadaan/eksistensi 
dan kehidupan ekonomi mereka. Tatkala konflik etnis sudah menjadi tradisi 
seperti etnis Madura dan Dayak di Kalimantan, sentimen agama di Poso, maka 
letupan-letupan kecil akan berakibat fatal jika tidak diredam dengan cepat.

      Politisasi etnis, meskipun dalam skala kecil misalnya di ranah lokal 
daerah dapat menciptakan biaya politik yang besar. Sudah banyak contoh yang 
dapat dijadikan referensi dan bahan renungan dari pelaksanaan pilkada.

      Guna meredam cost yang lebih besar lagi, sudah seyogianya para politisi 
menahan diri dan tak tergoda untuk menjadikan etnis sebagai alat politik dalam 
memburu kekuasaan. Indah rasanya bila pemilu legislatif dan pilpres mendatang 
dilalui dengan rasa aman.

      Wallahualam bissawab.
     

<<bening.gif>>

Kirim email ke