http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=5682


2009-03-10 
Menyongsong Era Soeharto Babak II


George Junus Aditjondro 



Keluarga Cendana, sekarang, terang-terangan berdiri di belakang Gerindra, yang 
mencalonkan Letjen (Purn) Prabowo Subianto sebagai presiden RI yang ke-7. Ini 
diungkapkan, Jumat (6/3), di depan massa di muka rumah orangtua Soeharto di 
Kemusuk, Argomulyo, Sedayu, Kabupaten Bantul, DIY, oleh Probosutedjo, adik tiri 
Soeharto, yang sering menjadi juru bicara keluarga Cendana. 

Probosutejo sudah pernah mengeluarkan pernyataan serupa, yang kontan ditanggapi 
mantan Ketua MPR Amien Rais, waktu itu. Menurut Amien, dukungan Cendana malah 
merugikan Prabowo, karena akan mempersempit dukungan bagi dia (Okezone, 23/1). 

Mengapa? "Keluarga Cendana mewakili masa lalu. Padahal Prabowo, yang dikesankan 
dalam iklan TV, mau mengubah Indonesia, mau membuat terobosan-terobosan baru. 
Saya kira, reformasi sudah mengucapkan selamat tinggal kepada Orde Baru. 
Sekarang, malah ada tokoh yang mengajak Prabowo ke zaman baheula. Ini akan 
merugikan dia," kata mantan Ketua MPR, yang ikut memotori gerakan menjatuhkan 
Presiden Soeharto, sebelas tahun lalu. 

Pernyataan Probosutejo memang penuh kontroversi. Dalam kampanye di Kemusuk, ia 
menyatakan, dalam tiga tahun setelah Prabowo menjadi presiden, setiap rakyat 
akan memiliki tanah minimal dua hektare (Harian Yogya, 7/3). Padahal, keluarga 
besar Prabowo sendiri menguasai lebih dari tiga juta hektare tanah dari Aceh 
sampai Papua. 

Janji pembagian tanah seluas dua hektare buat setiap keluarga tani, mustahil 
dapat diwujudkan. Kecuali kalau Prabowo dan adiknya, Hashim Djojohadikusumo, 
bersedia membagi jutaan hektare tanah yang mereka kuasai dalam bentuk 
perkebunan kelapa sawit, teh, jagung, jarak, akasia, padi, dan aren, serta 
ratusan ribu hektare hutan pinus, kepada jutaan petani. 

Bagaikan zamrud di khatulistiwa, tanah-tanah pencetak dolar bagi kedua 
bersaudara Djojohadikusumo tersebar dari Aceh ke Papua. Di sekeliling Danau Lot 
Tawar di Aceh, mereka menguasai konsesi PT Tusam Hutani Lestari, seluas 96.000 
ha. Konsesi itu sumber kayu pinus bagi pabrik PT Kertas Kraft Aceh (KKA) di 
Lhokseumawe. Di Sumatera Barat dan Jambi, mereka menguasai perkebunan kelapa 
sawit seluas lebih dari 30.000 ha di bawah PT Tidar Kerinci Agung. 

Di Kaltim, mereka telah mengambil alih konsesi hutan PT Tanjung Redep HTI 
seluas 290.000 ha, yang dulu dikuasai Bob Hasan. Juga di Kaltim, mereka telah 
mengambilalih konsesi hutan seluas 350.000 ha dari Kiani Group yang dulu juga 
dikuasai Bob Hasan dan mengganti namanya menjadi PT Kertas Nusantara, berkongsi 
dengan Luhut B. Panjaitan, mantan Menteri Perdagangan pada era Habibie. Masih 
di provinsi yang sama, mereka menguasai konsesi hutan PT Kartika Utama seluas 
260.000 ha, PT Ikani Lestari seluas 260.000 ha, serta perkebunan PT Belantara 
Pusaka seluas 15.000 ha lebih. 

Bergeser ke Indonesia Timur, di Pulau Bima (NTB), mereka memiliki budi daya 
mutiara serta perkebunan jarak seluas seratus hektare untuk bahan bakar nabati. 
Sedangkan di Kabupaten Merauke, Papua, mereka berencana membuka Merauke 
Integrated Rice Estate (MIRE) seluas 585.000 ha. Di Papua, mereka juga 
mengeksplorasi blok gas Rombebai di Kabupaten Yapen dengan kandungan gas lebih 
dari 15 triliun kaki kubik. 


Konsesi Migas 

Semua ekspansi bisnis itu serta kampanye Gerindra dibiayai dari keuntungan 
Hashim dari bisnis migas. Pada masa kejayaan Soeharto, Hashim dan Arifin 
Panigoro diajak sang presiden bermuhibah ke negara-negara eks Uni Soviet yang 
kaya migas, seperti Kazakhstan dan Azerbaijan, dan membeli konsesi-konsesi 
migas di sana. 

Krisis moneter yang disusul jatuhnya Soeharto, membuat para keluarga dan kroni 
Istana harus segera melunasi utang mereka yang dikelola BPPN. Arifin melepas 
ladang migasnya di Asia Tengah, 2000, sedangkan Hashim baru enam tahun kemudian 
melepas ladang migasnya di Kazakhstan, yang dikuasainya melalui Nations Energy 
Co. yang bermarkas di Calgary, Kanada. Aset itu dijualnya kepada CITIC Group 
(RRT) seharga US$ 1,91 miliar, atau Rp 17,2 triliun (Trust, 12-18 November 
2007, hal. 11; Swasembada, 24 November.-3 Desember. 2008, hal. 113-114, 116; 
Globe Asia, Desember. 2008, hal. 49). 

Pelepasan ladang migas Kazakhstan tidak mengakhiri kiprah Hashim di bidang 
migas, sebab di Azerbaijan ia masih memiliki ladang migas yang juga 
dioperasikan oleh Nations Energy Co. Tahun lalu, ladang itu pun ia lepas, 
karena "harganya bagus", kata Hashim kepada Swasembada.

Hasil penjualan ladang migas di Kazakhstan saja lebih dari cukup untuk 
membiayai kampanye Gerindra. Saldo partai ini paling besar di antara 38 parpol 
peserta Pemilu 2009, yakni Rp 15 miliar (Seputar Indonesia, 7/3). 

Keluarga besar Djojohadikusumo ikut mendukung kampanye Gerindra. Selain Hashim, 
sebagai penyandang dana utama, jabatan Bendahara dipegang oleh keponakan 
Prabowo, Thomas Djiwandono. Putra sulung mantan Gubernur BI, Soedradjad 
Djiwandono, abang ipar Prabowo, juga menjabat sebagai Direktur Comexindo 
International (CI) milik Hashim. Dengan investasi sebesar US$ 6 juta, CI 
membawahi perkebunan karet, teh, dan jagung seluas total 1.200 ha di Jabar dan 
Minahasa (Sulut), sementara 21.000 ha sedang diurus di Kaltim. Juga ratusan 
ribu hektare perkebunan enau untuk produksi gula dan etanol sedang dirintis di 
Minahasa dan Papua (Swasembada, 24 November-3 Desember 2008). 

Jadi, pertanyaannya sekarang, seandainya Prabowo berhasil meraih kursi RI 1, 
bagaimana mencegah rezim mendatang tidak mengulangi kesalahan era Soeharto, 
waktu negara dikelola sebagai imperium bisnis keluarga besar presiden? 

Penulis adalah pengarang buku Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki 
Tiga: Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa (LKiS, Yogyakarta, 2006).


<<20goerge.gif>>

Reply via email to