Dimuat pada Harian Seputar Indonesia, Kamis 26 Maret 2009 Buddha-Bar dan Primadonaisasi Agama Oleh Victor Silaen Hingga kini pimpinan dan umat Budha belum berhenti memprotes keberadaan sebuah restoran di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, yang bernama Buddha-Bar. Sebenarnya bukan restoran itu sendiri yang ditentang, melainkan namanya yang dianggap tidak menghormati perasaan seluruh komunitas agama Budha di Indonesia. Minggu 15 Maret lalu, siang, saya bercakap-cakap dengan Aggy Tjetje, Ketua Umum DPP Majelis Agama Buddha Mahayana Indonesia sekaligus Rektor Institut Agama Buddha Nasional dan beberapa biksu di Vihara Avalokiteshvara di bilangan Mangga Besar, Jakarta Pusat. Di tengah percakapan yang menyoroti isu hangat ini, ada yang berkata begini: “Masak ada pejabat Pemprov DKI yang mengatakan bahwa kata ‘bar’ dalam label restoran itu bermakna ‘tiang’. Lho, kalaupun itu benar, tetap saja jangan pakai nama Budha dong. Jadi mau Tiang Budha kek, Bengkel Budha kek, tetap saja itu menyinggung perasaan kami. Coba kalau namanya Kristen-Bar, apa umat Kristen tidak tersinggung? Kalau Islam-Bar, apa umat Islam tidak tersinggung? Pokoknya, kami menuntut agar nama Budha dihapus dalam label restoran itu.” Saya maklum. Saya pun akan marah kalau restoran itu bernama “Christian-Bar”. Tapi herannya, mengapa restoran sekaligus tempat menghibur diri ini aman-aman saja di negara asalnya, Perancis? Menurut saya pertanyaan ini harus dijawab dengan dua poin. Pertama, itu urusan Perancis. Artinya, apa yang baik di luar negeri tidak dengan sendirinya harus dianggap baik juga di sini. Kedua, meski Indonesia berbentuk negara hukum, namun sejak dulu tak pernah membiarkan agama-agama bebas-lepas dari jangkauannya. Di sini agama-agama harus menyesuaikan diri dengan negara. Artinya, kalau tidak mendapat restu dari negara, bisa-bisa agama tersebut dimasukkan dalam kategori “agama yang tidak-diakui”. Dari sisi rakyat, itulah repotnya hidup di negara berdasarkan Pancasila ini. Dalam ideologi bangsa Indonesia itu, “ketuhanan” berada di tempat pertama. Itu berarti “ketuhanan” merupakan sebuah nilai yang paling utama di dalam kehidupan rakyat Indonesia. Jadi, jangan harap orang boleh bebas tidak ber-Tuhan di negara ini. Buktinya, setiap orang harus memproklamirkan nama agamanya di dalam kartu tanda penduduk (KTP) yang menjadi kartu identitasnya sebagai warga negara. Sementara dari sisi negara, kerepotan timbul karena pemerintah dan aparatnya merasa berkewajiban untuk senantiasa mengawasi hal-ihwal keagamaan rakyatnya. Tujuannya, selain demi pencatatan statistik dan tertib administratif, juga untuk mencegah adanya ajaran dan perilaku keagamaan yang “sesat”. Namun, tidakkah Indonesia bukan sebentuk negara agama? Benar, tapi harap dicamkan bahwa Indonesia juga bukan negara sekuler yang membiarkan agama-agama berada jauh di luar kendalinya. Kalau begitu, maka pertanyaan penting yang harus dijawab Pemprov DKI Jakarta adalah: mengapa membiarkan saja komunitas agama Budha merasa terlecehkan dengan dilegalkannya Buddha-Bar itu? Mengapa terkesan tak ada sensitivitas di dalam diri pimpinan dan aparat Pemprov DKI Jakarta, padahal sejumlah pemimpin dan umat Buddha, disertai pelbagai pihak, sudah berulangkali berdemo menggugat keberadaan bar tersebut? Di sisi lain, diberitakan bahwa DPRD DKI telah meminta Pemprov DKI mengamankan asetnya berupa gedung bekas Kantor Imigrasi di Jl. Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, yang kini menjadi polemik karena digunakan sebagai bar itu. Wakil Ketua Komisi D DPRD DKI Muhayar (PKS) mengatakan, bangunan bersejarah itu dibeli Pemprov DKI atas persetujuan DPRD untuk dijadikan sebagai cagar budaya yang akan difungsikan sebagai museum. “Jadi DPRD dulu menyetujui alokasi anggaran, karena Pemprov merencanakan bangunan itu untuk museum, bukan komersil atau disewakan,” katanya. Kalau begitu, tidakkah keberadaan Buddha-Bar di lokasi itu pun sebenarnya juga telah menyalahi rencana awal peruntukannya? Jadi, pihak mana yang harus bertanggungjawab atas terjadinya penyimpangan recana awal tersebut? Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) atau Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI, atau keduanya? Terlepas dari pihak-pihak yang harus bertanggungjawab itu, fenomena ini kiranya cocok disebut “komersialisasi agama”. Secara sosiologis, agama memang selalu memiliki dua wajah. Di satu sisi agama bernilai spiritual yang mampu menumbuhkan kebutuhan sekaligus kesadaran untuk senantiasa menjaga relasi yang harmonis dengan Yang Mahakuasa. Di sisi lain agama juga bisa membangkitkan amarah untuk mengalahkan musuh (bernilai politik), kegairahan untuk mencari profit dengan menyebutnya sebagai “rezeki dari atas” atau “berkat ilahi” (bernilai ekonomis), dan lainnya. Hampir sama halnya dalam bidang politik, dalam bidang ekonomi pun semua yang bernuansa atau bercorak agama dengan mudahnya dieksploitasi dan disalahgunakan demi mencapai kepentingan yang sebenarnya tak berkait sama sekali dengan hakikat agama itu sendiri. Di negara ini, misalnya, sejak dua dekade terakhir, Islam sebagai simbol telah dipasarkan ke publik. Lihat saja perkembangan yang luar biasa dalam hal berdirinya bank-bank dan asuransi-asuransi syariah, dan lain sebagainya. Berdirinya Bank Muamalat (1991) dapat dikatakan sebagai tonggak awal berkibarnya Islam di ranah bisnis di Indonesia. Dalam bisnis perbankan model ini, doktrin dan sentimen keislaman tentang haramnya bunga bank dipakai untuk menarik minat publik. Namun, bukankah setiap bank harus mencari profit agar tetap eksis? Inilah hal yang ambigu di negara hukum ini. Usaha-usaha bisnis bercorak dan bernuansa agama didirikan dan dikembangkan, tentu tidak ada yang salah sepanjang komunitas agama yang bersangkutan mendukungnya. Namun, mengapa negara harus merasa terpanggil untuk melegalisasinya dengan membuat landasan hukumnya secara khusus – seperti yang terwujud dalam undang-undang perbankan syariah? Jika kelak ada pihak-pihak yang mengembangkan bisnis perbankan kristiani, akankah negara akhirnya juga terpanggil untuk melegalisasinya dan membuat landasan hukumnya yang khusus? Doktrin dan jargon agama yang dilegalisasi negara di bidang ekonomi (juga politik, hukum, dan lainnya), bagaimanapun, niscaya memiliki konsekuensi tersendiri. Yakni, terjadinya primadonaisasi agama tertentu di antara agama-agama lainnya. Semua bank, misalnya, jelas berorientasi profit. Tetapi, sangat mungkin bank-bank syariahlah yang lebih berpeluang besar mengeruk profit dari rakyat karena keberpihakan negara yang terang-terangan kepada bank-bank tersebut. Di sisi lain, jika para pengelola bank-bank tersebut melakukan penyimpangan, lalu hukum manakah yang akan dijadikan pedoman untuk mengadilinya secara obyektif? Hukum yang bersifat nasional tanpa embel-embel agama atau hukum yang (juga) bersifat nasional dengan embel-embel agama? Inilah yang sulit, sekaligus ambigu itu tadi, karena keduanya tentu memiliki perbedaan. Sangat mungkin ada celah yang bisa dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan tertentu. Kembali pada primadonaisasi agama, Budha jelas tidak terikut dalam fenomena ini. Itu sebabnya nama “Buddha” begitu mudahnya dipasarkan, tetapi begitu sulitnya dilindungi ketika komunitas agama Budha sendiri memprotesnya. Jika negara ini betul-betul menghormati setiap agama, mestinya ada tindakan urgensi untuk mengakomodir keluhan komunitas agama Budha itu. Apalagi bagi mereka, Budha bukan sekedar nama agama, tetapi juga merujuk pada Sidharta Gautama, sosok Sang Pangeran yang dijunjungtinggi karena keprihatinannya yang besar terhadap penderitaan sesamanya. * Dosen Fisipol UKI, pengamat sospol (www.victorsilaen.com).