http://www.suarapembaruan.com/index.php?modul=news&detail=true&id=6423

2009-03-30 
"Perang Cukong" dalam Pemilu


Tjipta Lesmana



Politik itu mahal. Di luar negeri, apalagi di Indonesia, permainan politik 
membutuhkan dana yang besar. Untuk bisa mewujudkan ambisi Anda menjadi wali 
kota atau bupati, gubernur atau presiden, dibutuhkan "logistik" yang kuat. 

Ketika diadakan Pilkada Gubernur DKI Jakarta, setahun lalu, misalnya, calon 
tertentu dikabarkan menghimpun dana sampai Rp 1 triliun. Bahkan supaya sebuah 
partai mau menyebutkan nama Anda sebagai salah satu cagub saja, paling tidak Rp 
200 juta sudah melayang. Untuk pilkada gubernur di salah satu provinsi di Pulau 
Sumatera, baru-baru ini, seorang cagub menyediakan "logistik" sampai Rp 500 
miliar. 

Untuk apa saja dana sebesar itu? Terutama untuk kampanye, khususnya melalui 
media massa. Tarif iklan di koran dan televisi sangat mahal. Pos spendng kedua 
yang juga besar ialah kampanye massa. Katakan, sebuah partai politik mau 
berkampanye di Medan. Karena Medan -ibu kota Sumatera Utara- dinilai daerah 
strategis, partai menerjunkan pimpinan top-nya untuk berkampanye. Kalau bos 
pergi, selalu harus didampingi oleh sejumlah fungsionaris. Lazimnya juga dalam 
rombongan terdapat sejumlah artis. 

Lalu, ini pos pengeluaran ketiga yang juga tidak kecil. Kepada massa yang 
dihadirkan di lapangan besar biasanya harus diberikan "amplop". Pasaran 
"amplop" sekarang Rp 20.000 per orang. Karena parpol Anda tergolong besar dan 
ternama, maka Anda menghimpun 10.000 "pendukung". Itu berarti Rp 200 juta hanya 
untuk pengeluaran "amplop". 

Bagaimana dengan pengeluaran untuk atribut partai? Mereka yang hadir harus 
pakai kaos berlogo partai, bukan? Harus ada bendera partai dan umbul-umbul. 
Kendaraan bermotor yang ikut pawai harus dihias dengan segala macam atribut 
partai. Pengeluaran tidak berhenti sampai di situ. Massa mustahil datang dengan 
sendirinya dari rumah mereka masing-masing ke lapangan. Perlu ada orang-orang 
yang menggerakkan, mengkoordinir, dan membujuk mereka untuk mau hadir. Urusan 
teknis seperti ini biasanya dikerjakan oleh fungsionaris partai cabang, entah 
DPD atau DPC. Untuk itu, tentu, diperlukan dana. 

Pertanyaan, dari mana partai politik mempunyai dana sebesar T-T-an, bukan lagi 
M-M-an?! "Oh, dana partai kami berasal dari sumbangan sukarela anggota, para 
kader, dan simpatisan," begitu kilah basa-basi pimpinan partai jika ditanya 
watawan, sebuah pernyataan yang bisa dipastikan bohong alias ngibul. 

Parpol di Indonesia -untuk bisa memenangkan "peperangan"- harus "berkoalisi" 
dengan pengusaha besar alias cukong/konglomerat. Di Amerika, seorang politisi 
bisa sepenuhnya mengandalkan dana kampanye dari acara fund raising. Para 
pengusaha dan orang-orang ternama diundang dalam jamuan makan siang atau malam 
malam. Lalu calon memaparkan visi-misi dan kebijakannya jika terpilih, kemudian 
dari mereka diminta donasi. Di Indonesia, cara fund raising tidak populer. 
Orang kaya tidak mau tampil di publik dengan sorotan kamera pers. Takut nanti 
diincar petugas pajak. Yang lazim dilakukan oleh pimpinan parpol adalah 
mendekati satu atau dua konglomerat, minta dukungannya. Setelah itu, mereka 
diminta "mengkoordinir" urusan pendanaan. 


Peta Politik 

Bagaimana "peta politik cukong" Indonesia menghadapi Pemilu 2009? Sebelum 
menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita mengkaji dulu siapa calon presiden kuat 
sekarang. Ada lima capres kuat: Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati, Jusuf 
Kalla (JK), Sultan Hamengku Buwono X, dan Prabowo Subianto. Dari kelima calon 
ini, hanya Prabowo yang tampaknya mengandalkan pendanaannya dari diri sendiri. 
Sultan? Raja Yogyakarta ini tidak terlalu banyak koneksinya dengan cukong. 
Tentu, saya kenal satu atau dua bos besar yang sangat "simpati" pada pencalonan 
Sultan. Kepada salah satu "pembantu dekat" Sultan, saya pernah bertanya: "Dari 
mana logistiknya? Ia menjawab: "Sultan kaya, Pak, dari warisan!"

Jusuf Kalla dari sono-nya memang sudah kaya. Dia saudagar besar. Ayah dan 
kakeknya menjadi pengusaha sukses. Ditambah dengan beberapa konconya yang juga 
pengusaha besar, maka logistik JK tidak perlu diragukan.

Bagaimana dengan Megawati? Pada Pemilu 2004, perang terjadi antara PDI-P dan 
Partai Golkar. Kedua partai politik ini sama-sama kuat, sama-sama mendapat 
dukungan "logistik" besar dari banyak pengusaha. Suaminya diketahui pengusaha 
sukses. Wajar jika ia memiliki hubungan dekat dengan sejumlah konglomerat. 
Karena Megawati adalah mantan Presiden RI, sah-sah saja jika ketika itu tidak 
sedikit konglomeat yang "merapat" ke PDI-P. Persoalannya, apakah mereka masih 
setia kepada Mega? 

Dari kelima capres itu, dari sudut "logistik" SBY dikabarkan paling perkasa. 
Sejumlah cukong besar mendukung pencalonannya kembali. Chairul Tandjung dan 
Antony Salim, disebut-sebut dekat dengan Cikeas. Perhatikan juga ketika digelar 
acara peringatan Tahun Baru Imlek pada Februari yang lalu. Puluhan pengusaha 
besar berdiri di belakang SBY di atas panggung. Mereka meneriakkan slogan khas 
SBY. Secara simbolik -menurut teori interaksi simbolik- adegan itu memiliki 
meta-meaning yang amat dalam jika dikaitkan dengan Pemilu 2009. 

Penulis adalah pengamat politik, dan pakar komunikasi politik

Kirim email ke