Telah dimuat di Harian Suara
Pembaruan, 8 Juni 2009

 

Politik Tanpa Etika dan Logika

Oleh Victor Silaen

 

    Pasca-Pileg 9 April, hampir setiap hari
kita menyaksikan politik Indonesia
yang hiruk-pikuk dan tak enak untuk ditonton. Kisruh soal DPT (Daftar Pemilih
Tetap) karena hampir 50 juta rakyat Indonesia yang kehilangan hak pilihnya
membuat banyak partai, di samping pihak-pihak lainnya, berteriak lantang
memprotes KPU (Komisi Pemilihan Umum) dan Pemerintah. Tapi, belum lagi 
protes-protes
itu diakomodir secara proporsional dan ditindaklanjuti secara politik maupun
hukum, partai-partai itu telah berpaling mempersoalkan hal lain: koalisi. 

 

    Maka selama beberapa minggu sejak itu, kita
pun disuguhi tontonan tentang sejumlah tokoh politik yang sibuk melakukan
pertemuan di sana-sini. Per definisi koalisi bertujuan untuk menghimpun
antarkekuatan politik demi terbentuknya kekuatan politik baru yang jauh lebih
besar dan diharapkan dapat berperan efektif di lembaga legislatif maupun
eksekutif nanti. Menurut semua pihak yang terlibat dalam pertemuan
antarkekuatan politik itu, koalisi adalah untuk rakyat, juga untuk bangsa dan
negara. Idealnya begitu, walau tak semudah itu kita bisa percaya. Sebab fakta
bicara, bahwa pihak-pihak yang sebelumnya memprotes malah berhasrat kuat
merapat ke pihak yang diprotes. Bahkan ada pihak yang sebelum Pileg 9 April 
berupaya
menjegal langkah pihak yang lain, entah melalui pembentukan Pansus Orang Hilang
di DPR maupun lontaran pernyataan-pernyataan politik mereka yang bernada
menyerang, akhirnya malah bersepakat membentuk kekuatan baru demi ambisi meraih
sukses dalam Pilpres 8 Juli nanti.   

 

    Di
manakah etika para elit politik itu? Tak sadarkah mereka bahwa semua
sepak-terjang dan manuver politik yang mereka perlihatkan itu selalu menjadi
tontonan publik dan menjadi sosialisasi politik? Memang, memberikan sosialisasi
politik kepada publik merupakan salah satu fungsi partai politik. Tapi, jika
sosialisasi politik itu malah membuat rakyat kian muak kepada politik, sehingga
makin menganggap politik itu kotor dan penuh intrik, tidakkah partai-partai itu
layak merasa malu? Bagaimana jika dikarenakan hiruk-pikuk para elit politik itu
kian banyak rakyat yang enggan menggunakan hak pilihnya dalam Pilpres nanti? 

 

   
Ketika terdengar berita bahwa di balik koalisi terjadi
negosiasi-negosiasi tentang berapa kursi menteri yang diperoleh nanti di
kabinet, kita tentu makin tak percaya bahwa koalisi antarkekuatan politik itu 
bertujuan
demi rakyat. Sebab, jika benar demikian, maka setidaknya sebelum Pilpres, hak
konstitusional rakyat yang terenggut dalam Pileg lalu diperjuangkan hingga
tuntas dan rakyat puas. Berdasarkan itu maka logikanya Pilpres harus ditunda.
Sebab, bukankah baik Pileg maupun Pilpres 2009 ini keduanya saling berkaitan,
sama-sama untuk menghasilkan pemimpin-pemimpin baru di lembaga legislatif dan
eksekutif? Kalau hasil Pileg-nya saja belum beres, karena masih dalam proses
gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK), dapatkah Pilpres-nya diselenggarakan begitu
saja seakan masing-masing tak ada hubungannya sama sekali? 

 

    Aneh
sekali logika politik yang berkecamuk di benak para elit politik itu. Paling
tidak, bukankah KPU sebagai pihak yang berotoritas dalam penyelenggaraan Pileg
yang kacau-balau itu dimintai dulu pertanggungjawabannya? Kalaulah KPU dianggap
gagal, sebagaimana penilaian berbagai pihak dan kalangan, bukankah mestinya 
seluruh
komisioner KPU diminta mundur dan diganti dengan yang baru? Tuntutan itu ada
dasarnya, yakni UU Nomor 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD 
terutama
Pasal 148 Ayat (1) yang menyebutkan pemungutan suara diselenggarakan serentak.
Juga tentang asas penyelenggaraan pemilu dalam Pasal 2 UU Nomor 22/2008 yang
menyebut tentang mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib penyelenggaraan
pemilu, kepentingan umum, keterbukaan, proporsional, profesional,
akuntabilitas, efisien, dan efektif.

 

    Berdasarkan fakta kisruh DPT yang mendekati
angka 50 juta, banyaknya surat suara yang tertukar, dan yang lebih parah ada
juga caleg yang tidak mendapatkan hak pilihnya (sebagaimana yang dituturkan
rekan saya, caleg DPRD dari sebuah partai), dan lain-lain, dapatkah KPU dinilai
sukses? Jika tidak, lalu mengapa pihak yang dianggap gagal itu masih juga
diberi kepercayaan untuk menunaikan tugas dan tanggungjawab baru? Sungguh tak
logis. Lebih logis jika Pileg yang lalu itu diulang, karena hal itu memang
dimungkinkan -- demikian menurut Ketua MK Mahfud MD. Jangankan untuk memikul
tugas dan tanggungjawab baru nanti, bahkan sekarang saja dalam persidangan di
MK, KPU tidak serius – demikian menurut Mahfud MD. Jadi, sekali lagi tak logis
jika Pilpres dipaksakan untuk terselenggara pada 8 Juli dan oleh KPU yang gagal
itu. 

 

    Tapi syukurlah, kekecewaan rakyat dalam
Pileg lalu akhirnya terakomodir juga dengan disetujuinya penggunaan hak angket
tentang DPT di DPR. Jadi, dalam waktu dekat, akan dibentuk sebuah panitia
khusus (pansus) untuk itu. Terkait itu, mengapa kubu Partai
Demokrat kecewa dan berencana akan mengkaji ulang koalisi partai pendukung
pasangan SBY-Boediono dalam Pilpres 2009? Jika Partai Demokrat betul-betul
berjuang untuk rakyat, dan karenanya selalu akan menyuarakan aspirasi rakyat,
lalu apa alasannya tidak setuju hak angket? Bukankah hak itu, yang secara sah 
dapat
digunakan oleh DPR untuk menyelidiki Pemerintah, memang harus diabdikan demi
kepentingan rakyat? Jadi, sungguh tak logis jika ada partai yang kecewa 
karenanya.
Kepada partai tersebut, kita patut bertanya: mereka ada untuk rakyat atau diri
sendiri?

 

   
Boleh jadi kubu Partai Demokrat punya logika politiknya sendiri. Bagi
mereka, kalau partai A, B, C, dan lainnya setuju berkoalisi untuk mendukung
SBY-Boediono dalam Pilpres, maka seharusnya partai-partai itu tidak ikut-ikutan
“menohok” Pemerintah. Tapi, mengapa kubu Demokrat mencemaskan Pemerintah dan
bukan malah memperjuangkan rakyat? Jawabannya jelas, karena Pemerintah identik
dengan SBY (Presiden), dan SBY adalah sosok yang justru dielu-elukan oleh
Partai Demokrat. Kalau begitu, dalam konteks ini, jelaslah bahwa logika para
elit politik dan logika rakyat tidak memiliki ketersambungan dan kecocokan sama
sekali. Pantaslah kalau begitu; pantaslah kalau rakyat sering merasa kecewa
terhadap para elit politik. 

 

   
Terakhir, setidaknya ada dua hal yang tidak etis dalam politik Indonesia
hari-hari ini. Pertama, SBY-Boediono
jelas merupakan pasangan yang “ganjil”. Ini bukan soal Boediono yang bukan
kader partai, melainkan karena SBY yang bukan Ketua Umum Partai Demokrat namun
sangat menentukan siapa yang akan menjadi calon wakil presiden yang diusung 
Partai
Demokrat dan partai-partai lain yang bergabung dengan Partai Demokrat. Ini
jelas melanggar Pasal 9 UU No. 42/2008 tentang Pilpres yang menyebutkan
pasangan capres-cawapres harus diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol
peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi sedikitnya 20 persen
dari jumlah kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional dalam Pileg. Dari
sisi Partai Demokrat, jika memang SBY memiliki kewenangan untuk itu, maka itu
sepenuhnya merupakan urusan internal mereka. Namun dari sisi koalisi
partai-partai yang merapat ke Partai Demokrat, seharusnya aspirasi mereka
tentang calon wapres bagi SBY pun didengarkan. Inilah yang tidak etis. Karena
tak dapat disangkal, semua partai yang mendukung SBY terkejut dengan penetapan
Boediono sebagai calon wapres.

 

     Kedua, masa kampanye capres-cawapres baru
resmi dimulai 2 Juni lalu. Namun, fakta bicara bahwa ketiga pasangan
capres-cawapres itu sudah gencar beriklan sebelumnya. Sangat tidak etis bukan? 
Belum
lagi soal sindir-menyindir di antara mereka. Maka, jangan salahkah rakyat jika
karena itu mereka berpikir bahwa “politik memang kotor dan penuh intrik” dan 
lalu
memilih untuk golput dalam Pilpres 8 Juli nanti. 

 

* Dosen
Fisipol UKI, pengamat sospol.






      

Kirim email ke