Tadarrus Ramadan Ulil Abshar-Abdalla: Mengaji Misykat al-Anwar al-Ghazali) Setelah membahas Faishal al-Tafriqah dan Qanun al-Ta'wil, karya al-Ghazali yang dikupas pada pengajian Ramadan sesi ketiga Yayasan Wakaf Paramadina adalah Misykat al-Anwar. Pengajian Ramadan ini diasuh oleh Ulil Abshar-Abdallah (Gus Ulil). Sebelum melanjutkan pengajian, Gus Ulil terlebih dahulu memberi sedikit rangkuman kajian sebelumnya.
Pada Faishal al-Tafriqah,al-Ghazali mengemukakan kerisauan mengenai kondisi ummat Islam yang ia hadapi. Pada masa itu, terjadi praktik takfir yang sangat memprihatinkan al-Ghazali. Al-Ghazali kemudian mengeluarkan fatwa kecaman terhadap praktik takfir yang acapkali dilakukan oleh mereka yang ingin memaksakan pendapatnya kepada orang lain. Menurut al-Ghazali, takfir tidak bisa dilakukan kepada mereka yang masih mengucapkan kalimah syahadah. Pada Qanun al-Ta'wil, al-Ghazali mengemukakan batasan-batasan penafsiran. Setidaknya ada lima golongan yang ada dalam dunia Islam. Golongan terbaik adalah yang pertengahan, yakni mereka yang melakukan kombinasi antara pendekatan akal dan wahyu. Al-Ghazali memberi dukungan terhadap posisi tengah ini. Dengan begitu, al-Ghazali tampak memberi dukungan terhadap praktik Islam moderat yang berupaya mencari titik tengah: yakni mereka yang selalu berupaya mencari titik temu terhadap dua titik ekstrim. Menurut Ulil, al-Ghazali tampak kurang konsisten ketika secara verbal ia mengungkapkan diri berada pada posisi tengah, tetapi pada dasarnya dia di tengah yang cenderung spekulatif. Posisi al-Ghazali ini menjadi lebih jelas dalam kitab Misykat al-Anwar. Al-Ghazali, sebagaimana sarjana Islam klasik lainnya, begitu sadar dengan audiens ketika dia menulis. Kitab Ihya Ulumuddin, misalnya, sangat berbeda dengan kitab Misykat al-Anwar. Ihya adalah kitab yang ditulis untuk kalangan masyarakat umum sebagai petunjuk praktis kehidupan beragama. Sementara Misykat al-Anwar adalah kitab dengan tendensi pembaca elit terpelajar. Kitab Misykat al-Anwar , menurut Ulil, adalah contoh kongkrit bagaimana al-Ghazali menerapkan cara penafsiran al-Qur'an. Misykat adalah ungkapan bagi cercah cahaya. Judul kitab ini merujuk kepada sejumlah ayat al-Qur'an yang berbicara tentang cahaya, misalnya Allah nur al-samawati wa al-ardh (Allah adalah cahaya langit dan bumi). Ada juga sebuah hadits yang mengungkap bahwa ada 70 tirai. Masing-masing tirai memiliki cahaya dan kegelapan. Jika semua tirai itu disingkap, keagungan wajah Tuhan akan membakar semua yang melihatnya. Dalam Kitab ini, al-Ghazali menguraikan apa yang disebut sebagai filsafat cahaya. Menurut al-Ghazali, selain indera (mata), keberadaan benda-benda sangat ditentukan oleh cahaya. Tanpa cahaya, maka benda-benda tidak ada. Cahayalah yang menyebabkan semua penampakan terjadi. Cahayalah yang memanifestasikan benda-benda. Al-dzuhur dimungkinkan karena ada nur. Menurut Ulil, cahaya untuk melihat benda-benda adalah cahaya pada level zati (inderawi). Dalam kitab Faishal, al-Ghazali mengungkap lima tingkat ada (wujud). Jika pada level inderawi ada cahaya yang memungkinkan manusia mengetahui benda-benda, maka pada level pikiran juga ada cahaya yang memungkinkan pengetahuan bagi pikiran. Selalu ada objek bagi pikiran. Di sini berlaku prinsip intensionalitas, di mana kesadaran selalu mengarah langsung kepada objek kesadaran. Dan yang memungkinkan itu terjadi adalah karena ada cahaya. Ulil kemudian mengurai tiga kelompok wujud (ada) yang dirumuskan oleh al-Ghazali. Pertama, benda-benda gelap yang sama sekali tidak bisa dilihat. Kedua, benda yang bisa dilihat tetapi tidak bisa digunakan untuk melihat dirinya sendiri, seperti bintang. Ketiga, bisa dilihat dan menyebabkan yang lain bisa dilihat. Level ketiga itu adalah level Tuhan. Al-Ghazali menyebut mata sebagai alat penglihat. Ada dua jenis mata: mata inderawi dan mata ruhani (jiwa). Jika mata inderawi memiliki banyak keterbatasan ruang, maka mata ruhani lebih tidak terbatas. Objek mata ruhani yang tiada berbatas menjadikan cahaya yang ada pada mata ruhani berhak mengklaim sebagai sumber cahaya. Dalam hal ini, al-Ghazali hendak menyatakan bahwa cahaya yang sesungguhnya adalah cahaya Tuhan, cahaya lain hanyalah majasi. Semua cahaya pada semua level disebabkan oleh cahaya mutlak. Allah adalah cahaya mutlak itu atau biasa pula disebut nur fauqa nur (cahaya di atas cahaya). Melalui teori cahaya ini, menurut Ulil, al-Ghazali mencoba memecahkan kebuntuan filsafat modern Barat yang berdebat soal dualisme subjek-objek, dan sejauhmana pengetahuan mampu merengkuh realitas. Hampir semua filsuf Barat modern buntu mengenai kebenaran pengetahuan. Tradisi modernisme hanya sampai pada upaya merengkuh objek sejauh didefinisikan oleh subjek. Imanuel Kant muncul dengan konsep terkenalnya mengenai numena atau das ding un sich (ada pada dirinya) yang tidak mampu dijangkau oleh subjek. Yang tampak pada subjek hanyalah fenomena, penampakan. Edmund Husserl dan Martin Heidegger menganjurkan penampakan eksistensial, di mana objek dibiarkan berbicara atas namanya sendiri. Jauh sebelum itu semua, al-Ghazali merumuskan konsep cahaya, di mana penampakan objek pada subjek dimungkinkan karena ada unsur lain, yakni cahaya. Inilah cara al-Ghazali mengatasi dualisme subjek-objek filsafat modern. [Saidiman] http://gusulil.wordpress.com/2009/09/28/filsafat-cahaya/