Sisa Pikiran dan Imajinasi Mantan Lelaki Sempurna
---Anwar Holid

The Diving Bell and the Butterfly  
Sutradara: Julian Schnabel  
Produksi: Kathleen Kennedy, Jon Kilik
Penulis: Jean-Dominique Bauby
Screenplay: Ronald Harwood
Pemain: Mathieu Amalric, Emmanuelle Seigner, Marie-Josée Croze, Max Von Sydow
Sinematografi: Janusz Kaminski
Editing: Juliette Welfling
Musik: Paul Cantelon
Distribusi: Pathé Renn Productions, Miramax Films
Rilis: 23 Mei 2007
Durasi: 112 minutes  
Bahasa: Prancis; subtitle Inggris
Rating: ****


Seorang penderita locked-in syndrome hidup seperti dalam kepompong mahaberat, 
membungkus tubuhnya begitu ketat, sampai ia merasa dirinya disemen pada tembok. 
Dia hanya bisa diam di tempat, seluruh tubuhnya mengalami stroke, lumpuh total, 
tapi pikiran dan perasaannya normal. Dia gagal memerintahkan saraf dalam 
tubuhnya agar bergerak. Dengan pikiran dan imajinasi itu dia masih bisa 
mengembara ke manapun mau. Dia mengomentari segala yang dia lihat dengan mata 
kirinya---satu-satunya organ masih berfungsi, bersama kedipannya. Penyakit ini 
merupakan kondisi yang luar biasa jarang terjadi. Salah satu penderitanya ialah 
Jean-Dominique Bauby, orang Prancis. 

Sutradara Julian Schnabel memfilmkan kehidupan dan pikiran Bauby berdasarkan 
skenario karya Ronald Harwood, dengan Mathieu Amalric berperan sebagai Bauby. 
Film itu sepenuhnya berbahasa Prancis, dengan subtitle Inggris. Film itu 
langsung mengingatkan aku pada film My Left Foot (Str. Jim Sheridan, 1989), 
ketika Daniel Day-Lewis berperan sebagai Christy Brown, seorang 
penyair-pelukis-penulis penderita cerebral palsy, yang hanya bisa menggerakkan 
kaki kirinya. Upaya keras Bauby sebagai penderita stroke parah yang menuliskan 
pikiran dan perasaan dalam sisa hidupnya menjadikan kisah itu luar biasa. 
Schnabel cukup mengeksploitasi sisi itu. 

Bagaimana Bauby menulis buku, padahal dia hanya bisa mengedip? Dia cuma bisa 
memberi dua kode kepada orang lain: satu kedip untuk "ya", dua kedip untuk 
"tidak." Lelaki kelahiran 1952 ini menggunakan cara berkomunikasi yang 
diajarkan pihak rumah sakit, terutama oleh Henriette Durand. Durand mula-mula 
melatih Bauby untuk terbiasa dengan huruf yang paling sering digunakan dalam 
percakapan Prancis, lantas satu demi satu huruf diucapkan sambil bertatapan, 
untuk memastikan bahwa huruf itu yang ingin didiktekan Bauby. Segera setelah 
Bauby terbiasa dengan cara itu, orang-orang di dekatnya, terutama dokter, 
perawat, pembaca buku untuknya, juga ibu dari anak-anaknya menggunakan cara 
berkomunikasi tersebut. 

Secara harfiah Bauby mengetik dengan mengedip, sehuruf demi sehuruf. Dalam 
proses penulisannya, dia berutang besar kepada Claude Mendibil, seorang pegawai 
penerbit Robert Laffont yang dipekerjakan untuk menuliskan imajinasi dan 
pikiran Bauby. Sebelum sakit, Bauby memang punya kontrak dengan penerbit 
tersebut. Awalnya pihak penerbit juga ragu, "Bukankah dia tidak bisa bicara?" 
"Tapi bukan berarti dia tidak bisa berkomunikasi," yakin Durand. Dulu dia ingin 
menulis kisah tentang balas dendam berdasarkan novel The Count of Monte Cristo 
(Alexandre Dumas, père) dengan tokoh utama seorang wanita.

Penulisan dalam kasus Bauby merupakan proses yang betul-betul menguras energi, 
kesabaran, dan waktu. Mereka harus mengulang setiap awal huruf, seperti kita 
harus mengucapkan ABCD sampai Z sebelum memastikan memilih awalan huruf dan 
memulai kata. Mereka sring bekerja lima jam per hari. Selama masa perawatan itu 
mereka mengerjakan buku itu, mengedit, dan merevisi, dua tahun lebih lamanya. 
Akhirnya buku tersebut terbit berjudul Le scaphandre et le papillon, setebal 
kira-kira 130-an halaman.

Bauby seorang pembaca sastra yang kuat. Dia membaca karya Honore Balzac, dan 
terutama The Count of Monte Cristo. Dia hedonis, suka keindahan dan kenikmatan, 
suka berimajinasi tentang segala hal, kecuali yang berbau agama. Dalam 
kehidupan mudanya yang cemerlang, dia jurnalis di majalah fashion perempuan 
Elle, sampai menjadi editor-in-chief. Elle bukan saja populer, ia merupakan 
majalah terkemuka, franchisenya ada di mana-mana, termasuk Indonesia. Alih-alih 
menulis tentang balas dendam, Le scaphandre et le papillon lebih merupakan 
memoar, berisi tentang pengalamannya sebagai penderita locked-in syndrome yang 
dirawat di rumah sakit di pinggir pantai, hubungan dengan ibu dari ketiga 
anaknya, anak-anaknya, kawan-kawan baiknya, sekelumit kerjanya di Elle, makanan 
favoritnya, dan upaya memahami wanita. Meski sukses, dia tampak kurang terkesan 
dengan karirnya selama di Elle atau bagaimana dia dahulu menulis secara normal. 
Tapi minimal, di sana dia memperoleh
 kemewahan dan sosialita kelas satu. Dia lebih suka bercerita tentang 
orang-orang yang dia sayangi.

"Buku itu tiada kecuali ia dibaca," demikian kata Bauby. Maka Bauby memilih 
mengutarakan pikirannya, perasaannya, alih-alih membicarakan atau mengeluh soal 
sakitnya. Untuk ukuran orang sakit mengerikan, dia cukup humoris. Bagaimanapun, 
yang tersisa dari dirinya hanyalah pikiran dan kenang-kenangan. Itulah yang dia 
ceritakan. Menjadi penderita stroke yang sia-sia mau melakukan apa-apa, 
bergantung sepenuhnya pada pertolongan orang lain, dia merasa dirinya sebagai 
bayi berumur 42 tahun. 

Film The Diving Bell and the Butterfly mula-mula bercerita dan bersudut pandang 
kamera dari Bauby. Jadi penonton melihat dari matanya, mendengar suara dan 
pikirannya, merasakan penderitaannya. Tapi lama-lama sudut pandang film meluas, 
dan akhirnya penonton menyaksikan kisah tentang kehidupan dan keluarganya. Dia 
punya ayah yang sama-sama merasa sakit locked-in syndrome, hanya saja dia 
terkurung di apartemen. Bauby punya tiga anak dari seorang perempuan yang tidak 
dia cintai, karena itu tidak dia nikahi. ("Dia bukan istriku, dia ibu dari 
anak-anakku," tegasnya.) Memang agak aneh seseorang sampai bisa punya tiga anak 
dari seorang wanita yang tidak dicintai, meskipun perempuan itu tampak 
perhatian, tetap tampak intim merayakan Hari Ayah, dan bila bertemu dengan 
anak-anaknya, dia jadi ayah yang ramah. Seorang perempuan lain juga mencintai 
Bauby, tapi dia tak tega melihat Bauby dalam keadaan sakit. Menurut Wikipedia, 
film ini menyisakan kontroversi soal
 akurasi tentang perempuan dalam hidup Bauby. Schnabel tampak sengaja mengubah 
untuk alur drama, atau mungkin dia ingin menunjukkan kasih sayang keluarga yang 
lebih utuh dan mengharukan. 

Di ujung film Bauby ingat kembali bagaimana saat dirinya terkena stroke. Pada 
Jumat, 8 Januari 1995, ia berangkat ke bioskop dengan anak sulungnya, 
mengendarai mobil super mewahnya, sambil bicara sebagai sesama lelaki. Di 
tengah jalan, dia merasa ada yang salah dengan tubuhnya, membuatnya segera 
berhenti di pinggir jalan. Anaknya panik menyaksikan serangan mendadak itu, 
sebab Bauby bukan perokok dan peminum. Dia bukan lelaki dengan ciri-ciri 
kemungkinan terkena penyakit mengerikan seperti itu. Dia koma sekitar dua puluh 
hari, dan setelah bangun mendapati dirinya gagal mengucapkan sepatah kata pun. 
Pada dua puluh minggu pertamanya setelah stroke, dia kehilangan bobot 27 kg.

Kalau kita mengabaikan Bauby yang menderita, isi film ini mungkin biasa saja. 
Pada dasarnya cerita dia seperti mengawang-awang, dia banyak membicarakan 
mimpi, imajinasi, mengomentari ini-itu, meluapkan perasaan. Schnabel 
memvisualisasikan imajinasi Bauby dengan bagus sekali. Di Festival Film Cannes 
dan Golden Globe Award dia memenangi sutradara terbaik, sementara di Academy 
Award dia mendapat nominasi untuk kategori itu. Dua film terkemuka lain karya 
Schnabel ialah Basquiat dan Before Night Falls. Mathieu Amalric juga bermain 
bagus. Tapi karena perannya, gerak tubuhnya minim. Ini membuatnya jadi kurang 
eksploratif bila dibandingkan Daniel Day-Lewis yang tampak kepayahan berusaha 
menggerakkan kaki kiri atau badan lain dalam My Left Foot. Bedanya lagi, dulu 
Bauby sempurna, dia pencinta perempuan, kenyang dengan pengalaman itu; 
sementara Christy Brown cacat sejak awal, dia ditertawakan ketika akan 
mengucapkan perasaan pada perempuan.

Perjuangan seseorang mengatasi rintangan hidupnya bisa jadi merupakan hal 
klise. Budi Warsito, seorang script-writer, berkomentar, "Tapi seberat atau 
seringan apa pun perjuangan orang, membuat kita sering salut. Kita sulit 
menghakimi mereka. Karena kadang-kadang yang ringan menurut kita, mungkin berat 
buat orang lain. Begitu sebaliknya. Bisa jadi, semangatlah penyebabnya." Jelas 
semangat Bauby bisa membuat orang lain malu, apalagi bagi penulis normal. 

Bauby meninggal sepuluh hari setelah Le scaphandre et le papillon terbit pada 
1997 dan mendapat pujian di mana-mana.[]

Anwar Holid, suami beristri satu, ayah beranak dua. Bekerja sebagai editor dan 
penulis, blogger @ http://halamanganjil.blogspot.com. 

KONTAK: war...@yahoo.com | Tel.: (022) 2037348 | HP: 085721511193 | Panorama II 
No. 26 B Bandung 40141

Situs terkait:
http://www.thedivingbellandthebutterfly-themovie.com/
http://www.salon.com/ent/feature/2008/02/23/diving_bell/index.html (fakta 
tentang The Diving Bell and the Butterfly)
http://fr.wikipedia.org/wiki/Jean-Dominique_Bauby
http://en.wikipedia.org/wiki/Locked-In_syndrome


Anwar Holid: penulis, penyunting, publisis; eksponen TEXTOUR, Rumah Buku.

Kontak: war...@yahoo.com | (022) 2037348 | 085721511193 | Panorama II No. 26 B 
Bandung 40141

Sudilah mengunjungi link ini, ada lebih banyak hal di sana:
http://www.goethe.de/forum-buku
http://www.rukukineruku.com
http://ultimusbandung.info
http://www.visikata.com
http://www.gramedia.com
http://halamanganjil.blogspot.com 

Come away with me and I will write you
---© Norah Jones


      

Kirim email ke