Selamat Natal Menurut Al-Qur'an 

Sakit perut menjelang persalinan, memaksa Maryam bersandar ke pohon kurma. 
Ingin rasanya beliau mati, bahkan tidak pernah hidup sama sekali.

Tetapi Malaikat Jibril datang menghibur: " Ada anak sungai di bawahmu, 
goyanghan pangkal pohon kurma ke arahmu, makan, minum dan senangkan hatimu.

Kalau ada yang datang katakan: 'Aku bernazar tidak bicara.'"  
    
"Hai Maryam, engkau melakukan yang amat buruk. Ayahmu bukan penjahat, ibumu pun 
bukan penzina," demikian kecaman kaumnya, ketika melihat bayi di gendongannya. 
Tetapi Maryam terdiam. Beliau hanya menunjuk bayinya. Dan ketika itu 
bercakaplah sang bayi menjelaskan jati dirinya sebagai hamba Allah yang diberi 
Al-Kitab, shalat, berzakat serta mengabdi kepada ibunya. 

Kemudian sang bayi berdoa: "Salam sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada 
hari kelahiranku, hari wafatku, dan pada hari ketika aku dibangkitkan hidup 
kembali." 
           
Itu cuplikan kisah Natal dari Al-Quran Surah Maryam ayat 34. 

Dengan  demikian,  Al-Quran mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal 
pertama dari dan untuk  Nabi  mulia  itu,  Isa a.s.
 
Terlarangkah   mengucapkan   salam   semacam  itu?  
 
Bukankah Al-Quran telah memberikan contoh? Bukankah  ada  juga  salam yang  
tertuju  kepada  Nuh,  Ibrahim,  Musa, Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi 
lainnya? 

Setiap Muslim harus  percaya kepada  Isa a.s. seperti penjelasan ayat di atas,  
juga harus percaya kepada Muhammad saw., karena keduanya  adalah  hamba dan  
utusan  Allah. Kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk mereka berdua 
sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul.  

Tidak  bolehkah kita merayakan hari lahir (natal) Isa a.s.? Bukankah Nabi  saw. 
 juga  merayakan  hari keselamatan  Musa a.s. dari gangguan Fir'aun dengan 
berpuasa 'Asyura, seraya bersabda,  "Kita  lebih  wajar  merayakannya daripada 
orang Yahudi pengikut Musa a.s." 
 
Bukankah,  "Para Nabi bersaudara hanya ibunya yang berbeda?"  seperti 
disabdakan Nabi Muhammad saw..? Bukankah seluruh umat bersaudara?  Apa  
salahnya  kita  bergembira  dan  menyambut kegembiraan saudara kita dalam batas 
 kemampuan  kita,  atau batas  yang  digariskan  oleh  anutan  kita?  Demikian 
lebih kurang pandangan satu pendapat. 
 
Banyak persoalan yang berkaitan  dengan  kehidupan  Al-Masih yang   dijelaskan  
 oleh   sejarah   atau  agama  dan  telahdisepakati, sehingga harus diterima. 
Tetapi, ada  juga  yang tidak dibenarkan atau diperselisihkan. Disini, kita 
berhenti untuk merujuk kepercayaan kita. 
 
Isa a.s. datang mermbawa  kasih,  "Kasihilah  seterumu  dan doakan  yang  
menganiayamu. "  Muhammad  saw. datang membawa rahmat, "Rahmatilah yang di 
dunia, niscaya yang di langit merahmatimu.". Manusia adalah fokus ajaran 
keduanya, karena itu, keduanya bangga dengan kemanusiaan. 
 
Isa menunjuk  dirinya  sebagai  "anak  manusia,"  sedangkan
Muhammad  saw diperintahkan oleh Allah untuk berkata:"Aku manusia seperti 
kamu." Keduanya datang  membebaskan  manusia dari  kemiskinan ruhani, 
kebodohan, dan belenggu penindasan.
 
Ketika orang-orang mengira bahwa anak Jailrus  yang sakit telah mati,  Al-Masih 
yang menyembuhkannya meluruskan kekeliruan mereka dengan berkata, "Dia  tidak  
mati,  tetapi tidur."  Dan ketika terjadi gerhana pada hari wafatnya putra 
Muhammad, orang berkata: "Matahari mengalami gerhana karena kematiannya. " 
Muhammad saw lalu menegur, "Matahari tidak mengalami gerhana karena kematian 
atau kehahiran seorang."  

Keduanya  datang membebaskan manusia baik yang kecil, lemah dan tertindas 
-dhu'afa' dan al-mustadh'affin  dalam  istilah Al-Quran. 
 
Bukankah ini satu dari sekian titik temu antara Muhammad dan Al-Masih? Bukankah 
ini sebagian dari kandungan Kalimat Sawa' (Kata  Sepakat)  yang  ditawarkan  
Al-Quran  kepada penganut Kristen (dan Yahudi (QS 3:64)?    
 
Kalau demikian, apa  salahnya mengucapkan   selamat   natal,  selama  akidah  
masih  dapat dipelihara dan selama ucapan itu  sejalan  dengan  apa  yang 
dimaksud  oleh  Al-Quran sendiri yang telah mengabadikan selamat natal itu? 
 
Itulah antara lain alasan yang  membenarkan  seorang  Muslim mengucapkan 
selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual. 

Di sisi lain,  marilah  kita  menggunakan  kacamata yang melarangnya. 
 
Agama, sebelum negara, menuntut agar kerukunan  umat dipelihara. Karenanya 
salah,  bahkan  dosa,  bila  kerukunan dikorbankan  atas  nama agama. Tetapi,  
juga salah serta dosa pula, bila kesucian akidah ternodai oleh atau atas nama 
kerukunan. 
 
Teks keagamaan yang berkaitan dengan akidah sangat jelas, dan tidak juga 
rinci.. Itu semula untuk menghindari kerancuan dan  kesalahpahaman. Bahkan 
Al-Q!uran tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan  
kesalahpahaman,  sampai dapat terjamin   bahwa  kata atau kalimat itu, tidak 
disalahpahami. 

Kata "Allah," misalnya, tidak digunakan oleh  Al-Quran,   ketika   pengertian  
semantiknya  yang  dipahami masyarakat jahiliah belum  sesuai  dengan  yang  
dikehendaki Islam.  Kata  yang digunakan sebagai ganti ketika itu adalah 
Rabbuka  (Tuhanmu,  hai  Muhammad)  Demikian  terlihat pada wahlyu  pertama  
hingga  surah  Al-Ikhlas.  

Nabi Muhammad saw sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan. Beliau tidak 
sekalipun bertanya, "Dimana Tuhan?" Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi 
itu karena ia  menimbulkan  kesan  keberadaan  Tuhan pada  satu  tempat,  hal 
yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan oleh Nabi. Dengan alasan 
serupa, para ulama bangsa  kita  enggan  menggunakan  kata  "ada"  bag Tuhan, 
tetapi "wujud Tuhan." 
 
Natalan, walaupun berkaitan  dengan  Isa  Al-Masih,  manusia agung  lagi  suci  
itu, namun ia dirayakan oleh umat Kristen yang pandangannya terhadap Al-Masih 
berbeda dengan pandangan  Islam.  Nah,  mengucapkan  "Selamat Natal" atau 
menghadiri perayaannya  dapat  menimbulkan  kesalahpahaman dan dapat mengantar  
kepada  pengaburan  akidah.  Ini  dapat  dipahami sebagai pengakuan akan 
ketuhanan  Al-Masih,  satu  keyakinan yang  secara mutlak bertentangan dengan 
akidah Islam. 

Dengan kacamata  itu,  lahir  larangan dan fatwa haram   itu, sampai-sampai ada 
yang beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas  apa  pun  yang  berkaitan 
 dengan Natal tidak dibenarkan, sampai pada jual beli untuk keperluan Natal .
 
Adakah kacamata lain? Mungkin!!!
 
Seperti  terlihat,  larangan  ini  muncul dalam rangka upaya
memelihara akidah. Karena, kekhawatiran kerancuan pemahaman, agaknya   lebih   
banyak   ditujukan   kepada   mereka  yang dikhawatirkan kabur akidahnya. Nah, 
kalau demikian, jika ada seseorang  yang  ketika mengucapkannya tetap murni 
akidahnya atau  mengucapkannya  sesuai  dengan   kandungan   "Selamat
Natal"   Qurani,  kemudian mempertimbangkan kondisi  dan situasi dimana hal itu 
diucapkan, sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah baik bagi dirinya 
ataupun Muslim yang lain, maka agaknya tidak beralasan  adanya  larangan  itu. 

Adakah yang  berwewenang  melarang seorang membaca atau mengucapkan dan 
menghayati satu ayat Al-Quran? 
 
Dalam rangka interaksi  sosial  dan  keharmonisan  hubungan, Al-Quran  
memperkenalkan  satu  bentuk redaksi, dimana lawan bicara   memahaminya   
sesuai    dengan pandangan atau  keyakinannya,   tetapi  bukan  seperti  yang  
dimaksud  oleh pengucapnya. Karena, si  pengucap  sendiri  mengucapkan  dan 
memahami   redaksi   itu  sesuai. dengan pandangan dan keyakinannya. Salah satu 
contoh yang dikemukakan adalah ayat-ayat yang tercantum dalam QS 34:24-25. 

Kalaupun non-Muslim memahami ucapan "Selamat  Natal"  sesuai  dengan 
keyakinannya,  maka  biarlah  demikian, karena  Muslim yang memahami akidahnya 
akan mengucapkannya sesuai  dengan  garis keyakinannya.   Memang,  kearifan  
dibutuhkan  dalam rangka  
interaksi sosial. 
 
Tidak kelirulah, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan itu, bila  ia ditujukan 
kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Tetapi, tidak juga   salah 
  mereka    yang membolehkannya,  selama  pengucapnya bersikap arif bijaksana 
dan  tetap  terpelihara  akidahnya,  lebih-lebih jika hal tersebut merupakan 
tuntunan keharmonisan hubungan. 
  
Dostojeivsky  (1821-1881),  pengarang Rusia kenamaan, pernah berimajinasi 
tentang kedatangan kembali  Al-Masih.  Sebagian umat  Islam pun percaya akan 
kedatangannya kembali. Terlepas dari penilaian terhadap imajinasi 
dankepercayaan itu, kita dapat  memastikan  bahwa  jika  benar beliau datang, 
seluruh umat berkewajiban menyambut dan mendukungnya, dan pada  saat 
kehadirannya itu pasti banyak hal yang akan beliau luruskan.
 
Bukan saja sikap dan ucapan umatnya, tetapi juga  sikap  dan ucapan  umat  
Muhammad  saw. Salam sejahtera semoga tercurah kepada beliau, pada  hari 
Natalnya, hari wafat dan hari kebangkitannya nanti.   


Dikutip dari buku berjudul :

MEMBUMIKAN AL-QURAN
 
Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat
 
Dr. M. Quraish Shihab

------------------------------------

Ingin bergabung di zamanku? Kirim email kosong ke: 
zamanku-subscr...@yahoogroups.com

Klik: http://zamanku.blogspot.comYahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/zamanku/

<*> Your email settings:
    Individual Email | Traditional

<*> To change settings online go to:
    http://groups.yahoo.com/group/zamanku/join
    (Yahoo! ID required)

<*> To change settings via email:
    zamanku-dig...@yahoogroups.com 
    zamanku-fullfeatu...@yahoogroups.com

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    zamanku-unsubscr...@yahoogroups.com

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/

Kirim email ke