http://nini3l.multiply.com/journal/item/37
Datang dari keluarga kaya dan terhormat, Aidit memiliki bibit komunisme yang tumbuh ketika menyaksikan nasib buruh kecil di perusahaan tambang timah di Belitung. ACHMAD Aidit lahir pada 30 Juli 1923 di Jalan Belantu 3, Pangkal Lalang, Belitung. Ayahnya Abdullah Aidit dan ibunya Mailan. Abdullah adalah mantri kehutanan, jabatan yang cukup kemilau di Belitung ketika itu. Mailan lahir dari keluarga ningrat Bangka Belitung. Ayah Mailan bernama Ki Agus Haji Abdul Rachman. Titel ki pada nama itu mencirikan ia ningrat. Dia juga tuan tanah. Orang-orang Belitung menyebut luas tanah keluarga ini dengan ujung jari. Maksudnya, sejauh jari menunjuk, itulah tanah mereka. Adapun Abdullah Aidit, anak Haji Ismail, seorang pengusaha ikan yang makmur. Mereka memiliki puluhan sero, semacam tempat penangkapan ikan di laut, dan pemasok ikan terbesar ke sejumlah pasar. Ya, Achmad yang belakangan berganti nama menjadi Dipa Nusantara (D.N.) Aidit memang datang dari keluarga terhormat dan berlimpah sandang-pangan. Karena datang dari kaum terpandang itulah keluarga ini gampang bergaul dengan polisi di tangsi, orang-orang Tionghoa di pasar, dan none-none Belanda di Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton, sebuah perusahaan tambang timah milik Belanda. Berdiri pada 1825, perusahaan itu hanya dua kilometer dari rumah Aidit. Dinasionalisasi pada era Soekarno, firma ini berubah menjadi PT Pertambangan Timah Balitung, lalu ditutup pada April 1991 setelah stok timah di kawasan itu merosot. Selain mudah bergaul dengan tuan-tuan Belanda, anak-anak Abdullah juga gampang masuk Hollandsch Inlandsche School (HIS), sekolah menengah pemerintah Belanda ketika itu. Kini bangunan sekolah itu masih tegap berdiri dan berganti wujud menjadi Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Tanjung Pandan. Abdullah punya delapan anak. Semua lelaki. Dari perkawinan dengan Mailan, lahir Achmad, Basri, Ibrahim (meninggal dunia ketika dilahirkan) dan Murad. Abdullah kemudian menikah lagi dengan Masirah dan melahirkan Sobron dan Asahan. Keenam anaknya itu menyandang nama belakang Aidit--nama keluarga, ”Namun bukan marga,” kata Ibarruri Aidit, putri sulung D.N. Aidit. Dua anak lainnya, Rosiah dan Mohammad Thaib, adalah anak bawaan Masirah dengan suami sebelumnya. Walau dididik di sekolah Belanda, anak-anak Abdullah tumbuh dalam keluarga yang rajin beribadah. Abdullah adalah tokoh pendidikan Islam di Belitung. Dia pendiri Madrasah Nurul Islam dekat kawasan pecinan di kota itu. Hingga kini sekolah itu masih tegak berdiri. Sepulang sekolah, Aidit dan adik-adiknya belajar mengaji. Guru mereka Abdurracham, adik ipar Abdullah. Setelah mengaji, Achmad dan adik-adiknya meluncur ke sungai mengambil air. Sebagai kakak tertua, Achmad biasanya membawa jeriken paling besar. Orang-orang di Jalan Belantu mengenal Achmad Aidit sebagai tukang azan. Seperti di sebagian besar wilayah Indonesia saat itu, Belitung juga belum punya pengeras suara guna mengumandangkan azan. “Karena suara Bang Achmad keras, dia kerap diminta mengumandangkan azan,” kata kata Murad Aidit. Dari delapan anak Abdullah, Achmad adalah yang paling mudah bergaul. Rupa-rupa geng remaja di Belitung ia dekati. Setidaknya, ada empat geng di sana: geng kampung, anak benteng, geng Tionghoa, dan geng Sekak. Geng kampung adalah kumpulan anak pribumi. Achmad dan adik-adiknya masuk kelompok ini. Anak polisi yang datang dari Jawa masuk kelompok anak benteng atau kerap juga disebut anak tangsi--menyebut asrama tempat tinggal polisi. Kelompok ketiga adalah geng Tionghoa. Orang tua mereka berdagang di pasar dan pelabuhan Belitung. Karena tinggal di pasar, geng itu punya nama lain yakni geng pasar. Kawasan ini cuma 500 meter dari rumah Aidit. Achmad kerap nongkrong bersama anak-anak geng pasar ini. Saat ini kawasan pecinan itu masih berdiri tegak bahkan berbiak. Sejumlah toko dan papan jalan ditulis dengan aksara Cina. Kelompok anak muda yang terakhir adalah geng Sekak. Mereka datang dari keluarga yang kerap berpindah tempat tinggal, semacam kaum gypsy di Eropa. Antargeng kerap terjadi baku pukul. Situasi yang serba keras itu membuat Aidit membesarkan otot. Dia rajin berlatih tinju dan olahraga angkat besi. Mungkin karena sering angkat besi, tubuh Aidit lebih gempal daripada adik-adiknya. Aidit menjadi pelindung saudara-saudaranya dari perseteruan antargeng. Tapi dia tidak main hajar. Suatu hari Murad baku pukul dengan seorang anak geng tangsi. Si bungsu ini mengadu ke kakak sulungnya itu. Diam-diam Aidit melacak lawan sang adik. Pulang ke rumah, Aidit bilang kepada Murad, ”Kau lawan saja sendiri.” Dari pelacakan itu, rupanya Aidit tahu bahwa musuh itu masih sebanding dengan adiknya. Aidit rupanya cuma membantu kalau lawannya lebih besar. Walau pertikaian cukup sengit, Achmad mudah bergaul dengan pelbagai geng. Dia, misalnya, kerap pulang malam karena menonton wayang bersama anak-anak benteng di tangsi. Dia juga kerap nongkrong di pasar bersama anak-anak Tionghoa. Kedekatan dengan geng ini lantaran mereka satu sekolah di HIS. Aidit juga rajin menelusuri sungai bersama anak-anak Sekak. Mereka kerap berlomba berenang di sungai dekat Gunung Tajam, sekitar 20 kilometer dari Belitung. Suatu hari perlombaan dimulai dengan salto dari sebuah batu besar. Anak-anak gunung melakukannya dengan sempurna. Tapi Achmad menang, “Karena dia bisa melakukan kontra-salto,” kata Murad. Aidit juga kerap melindungi adik-adiknya dari sikap keras sang ayah. Suatu petang Basri pernah bertindak ceroboh. Dia melepas 15 ekor itik dari kandang milik keluarga itu. Abdullah yang mendengar kisruh ini murka besar. Melihat adiknya dalam bahaya, Achmad mengaku dialah penyebab kaburnya itik-itik itu. Tak rela Basri dimarahi, Achmad sejak petang selepas magrib ke sana-kemari mencari kawanan unggas itu. Pergaulan Achmad memang lebih laju daripada remaja seusianya. Selain gemar berkumpul dengan pelbagai kelompok remaja itu, dia juga bergaul dengan buruh di Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton. Letak perusahaan itu sekitar dua kilometer dari rumah Aidit. Boleh jadi semangat anti-Belanda dan perjuangan antikelas di kemudian hari bermula dari tambang itu. Saban hari Aidit melihat buruh berlumur lumpur, bermandi keringat, dan hidup susah. Sedangkan meneer Belanda dan tuan-tuan dari Inggris hura-hura. Perusahaan ini menyediakan societet, gedung khusus tempat petinggi perusahaan dan none-none Belanda menonton film terbaru sembari menenggak minuman keras. Buruh tambang itu cuma bisa menelan ludah dan sesekali mengintip bioskop. Tertarik mendalami hidup para buruh, Achmad mendekati mereka. Tapi tak mudah karena para buruh cenderung tertutup. Sampai suatu hari Achmad melihat seorang buruh sedang menanam pisang di pekarangan rumah. Achmad menawarkan bantuan. Tertegun sebentar, si buruh itu mengangguk. Aidit lalu mencangkul. Sejak saat itu Aidit bersahabat dengan buruh itu. Kian hari hubungan mereka kian dekat. Kadang mereka ngobrol sembari menyeruput kopi dan mengudap singkong rebus. Dari ngobrol-ngobrol santai itulah Aidit kemudian tahu kesulitan para buruh, juga soal pesta-pora petinggi tambang. Pergaulan dengan kaum buruh itu, menurut Murad, yang menentukan jalan pikiran dan sikap politik Achmad setelah di Jakarta. Hingga akhir ia memimpin partai komunis dan tenggelam dalam peristiwa yang dikenal dengan Gerakan 30 September. Majalah Tempo, Edisi 32/XXXVI/01 - 7 Oktober 2007