http://tigorpanggabean.multiply.com/journal/item/37/Amir_Syarifuddin_-_Makam_Tanpa_Nisan_Tanpa_Penghormatan

Bukannya saya pro-PKI, tapi seperti pada umumnya yang berlaku dimuka bumi,
catatan sejarah banyak yang diburamkan oleh pemenangnya. Tulisan ini saya
ambil untuk mengenang kembali peristiwa kelam yang pernah menimpa bangsa
Indonesia dimasa lalu. Agar kita dapat mengetahui lebih jelas akan sejarah
bangsa dan kejadian sebenarnya. Agar kita bisa lebih berhati-hati melangkah
ke masa yang akan datang dalam hidup berbangsa dan bernegara. Karena sejarah
akan mengulang dirinya kembali...

Apakah perlu ada hari Kesaktian Pancasila? Apakah perlu ada hari G-30-S?
Jawablah pada diri sendiri.

Kuberikan simpati hanya pada mereka yang kalah dan tertindas.. Kuberikan
puji hanya pada mereka yang bangkit dari kekalahan. Indonesia ku masih belum
merdeka..!

Karanganyar - Pemakaman Umum Ngaliyan, Lalung, sekitar 5 Km di selatan Kota
Karanganyar tak ubahnya seperti makam-makam desa lainnya. Sebatang pohon
Kamboja tumbuh di tengah jejeran nisan-nisan, berdiri tegak lurus dengan
sebatang pohon Asam yang rimbun. Sekeliling pemakaman dipagari tembok
setinggi 1,5 meter.

Tapi sesungguhnya, ada yang membuatnya berbeda. Setitik nilai historis yang
terlupakan pada sepetak tanah berukuran sekitar 2 x 8 meter yang ada di
tengah pemakaman. Letaknya di dekat pintu gerbang yang terbuat dari besi
bercat hijau. Gundukan itu tak bernisan. Tak ada penanda apa pun. Di
atasnya, tumbuh sejumput tipis rerumputan kering diselingi beberapa tangkai
ilalang.

Sekitar satu setengah meter di bawah gundukan tersebut, terbujur jasad Amir
Syarifuddin. Ia adalah salah satu dari tokoh empat serangkai
Soekarno-Mohammad Hatta-Sutan Sjahrir-Amir Syarifuddin yang memimpin
republik ini pada zaman revolusi mempertahankan kemerdekaan.

Amir tidak sendirian, bersamanya, dalam satu lubang yang sama, terbujur 10
rekannya. Ya, akibat petualangan politiknya bersama Partai Komunis Indonesia
(PKI), tengah malam di hari 19 Desember 1948, mereka dieksekusi bersama-sama
oleh polisi militer, anak buah Kolonel Gatot Subroto di lokasi tersebut.

Eksekusi itu sendiri tanpa melalui pengadilan militer dan lebih dipicu
sebagai kepanikan menyusul Agresi Militer II Belanda atas Kota Yogyakarta
pada pagi harinya. Sebab, pada Agresi Militer I, 21 Juli 1947, para tahanan
republik di LP Wirogunan memanfaatkannya untuk kabur tanpa sempat diadili.

Sejarah memang mencatat kelam nama Amir. Perannya sebagai pelaku Sumpah
Pemuda (Jong Batak) 1928 dan pejuang anti-Jepang, hingga nyaris dihukum
mati, jarang diungkit-ungkit. Apalagi kabar dari salah satu versi, bahwa
dialah sebenarnya calon proklamator utama NKRI, sebelum akhirnya pilihan
pemuda-pemuda revolusioner jatuh pada Soekarno-Hatta. Tak pernah tergali!

Yang muncul dalam lembar sejarah adalah hujatan atas kegagalannya sebagai
perdana menteri dengan meneken Perjanjian Renville (1948). Dan yang paling
fatal adalah kiprahnya sebagai tokoh PKI pendukung negara Sovyet Republik
Indonesia bentukan Musso di Madiun 1948 yang sekaligus anti-Perjanjian
Renville. Sungguh, citra sempurna untuk orang yang dicap pengkhianat bangsa.

Coreng itulah yang menjadikan Amir menjadi stigma hitam bahkan hingga saat
tubuhnya menyatu dengan bumi. Sebetulnya, ketika masa traumatik terhadap PKI
berakhir, sekitar tahun 1951 sudah ada upaya untuk mengurus jasad Amir cs
dengan layak.

Saat itu, dilakukan upaya penggalian kembali. Jasad 11 orang yang
bertumpuk-tumpuk, dirapikan. Masing-masing diidentifikasi dan dimakamkan
secara layak meski tetap dalam lubang yang sama. Pada makam, bahkan sudah
dilakukan pengecoran dan pemberian nama 11 nisan sesuai dengan urutannya.

"Saat itu, makam bersih dan rapi. Bahkan ada juru kuncinya, yakni Pak
Mangun," ujar Warsiman, penduduk di sekitar makam. Sanak saudara Warsiman,
adalah salah satu penduduk yang diminta aparat untuk menggali lubang kubur
Amir cs pad atahun 1948.

Warsiman yang sekitar tahun 1964, menginjak usia SD, bahkan masih ingat,
bila akhir pekan, makam Amir Cs laksana pasar. "Banyak yang berziarah sampai
dipenuhi penjual makanan. Saya dulu malah sering dikasih permen oleh para
penziarah," kata dia.

Namun seiring dengan Peristiwa 30 September 1965 yang kembali melibatkan
tokoh-tokoh PKI, keriuhan itu bubar. Suatu hari, di tahun 1965, tanpa alasan
yang jelas, sekelompok orang tak dikenal datang merusak makam Amir Cs dan
mencabuti papan nisan mereka.

Sejak itu, makam Amir cs menjadi tak terawat. Tak ada penduduk yang berani
untuk sekadar membersihkannya. Mereka takut dicap pro PKI yang menjadi
stigma kental era Orde Baru. Waktu akhirnya memangsa reruntuhan makam
disaput tanah dan rerumputan. Hanya kambing-kambing kampung yang setia
merawat, menyiangi agar rumput tak bertambah tinggi.

Padahal niatan untuk sekadar memuliakan orang yang telah meninggal pernah
ada. Dulu ada usulan dari kampung agar di sekitar makam Amir cs didirikan
cungkup. Ya, sekadar untuk tempat berteduh-lah, bagi peziarah makam yang
kepanasan. Tapi usul ini kandas di tangan pemerintah lokal.

"Akhirnya sampai sekarang begini keadaannya. Tidak ada yang ngopeni. Bahkan
anak-anak zaman sekarang banyak yang tak tahu, itu makam bekas pembesar."
Warsiman benar, faktanya, detikcom menjumpai sangat sedikit penduduk
Karanganyar yang tahu soal sejarah makam Amir Syarifuddin.

Sungguh pun begitu, bukan berarti tak ada peziarah makam Amir. Penduduk
sekitar mengaku sesekali melihat orang-orang asing, menyambangi makam Amir
cs. Umumnya mengendarai mobil bernomor polisi Jakarta. "Mereka nyekar sambil
menangis-nangis di depan makam. Mereka sudah tahu makam itu, meskipun tidak
ada nisannya. Mungkin keluarganya," ujar Warsiman.

Begitulah, bangsa ini boleh menafikannya. Namun bagi beberapa orang, sepetak
tanah berukuran 2 x 8 meter tersebut masih memiliki arti. Banyak yang
menilai, apa yang terjadi di tahun 1948 tak lebih dari perbedaan pandangan
perjuangan yang dipicu oleh kerusuhan yang terjadi di Solo, sebelumnya.

Menurut cerita, sesaat sebelum dieksekusi di depan liang lahatnya, Amir Cs
meminta izin kepada letnan CPM komandan regu tembak untuk menyanyikan 2 buah
lagu. Yang pertama adalah lagu komunis, Internasionale, dan kedua adalah
Indonesia Raya.

Permintaan itu dikabulkan. Tengah malam, sekitar pukul 23.30 WIB, kedua lagu
dinyanyikan ke-11 orang hingga membumbung ke udara. Setelah itu dor! Amir
yang pertama. Dengan mengantungi Kitab Injil di sakunya, ia mendapat giliran
pertama dieksekusi. Jiwanya yang berganti melayang ke angkasa.

Kata orang, bangsa yang besar adalah yang menghargai pahlawannya. Amir
mungkin bukan pahlawan yang patut dikenal, sebaliknya ia mungkin dicap
sebagai Brutus. Tapi sebagai anak manusia, semestinya jasadnya patut
dimuliakan. Seperti kata Warsiman, bukankah lagu kebangsaan kita masih sama?
Indonesia Raya! --- Sumber: Detiknews 2006

Keterangan Foto: Gundukan tanah makam Amir Syarifuddin. Tak ada tanda bahwa
Amir dulu pernah memimpin Indonesia.

Siapa sebenarnya pahlawan Indonesia ini: atau Penghianatkah dia ?

Amir Sjarifuddin Harahap (Medan, Sumatera Utara, 27 April 1907 - Solo, Jawa
Tengah, 19 Desember 1948) adalah seorang tokoh Indonesia, mantan menteri dan
perdana menteri pada awal berdirinya negara Indonesia. Ayahnya, Djamin gelar
Baginda Soripada (1885-1949), seorang jaksa di Medan. Ibunya, Basunu Siregar
(1890-1931), dari keluarga Batak yang telah membaur dengan masyarakat
Melayu-Islam di Deli. Ayahnya keturunan keluarga kepala adat dari Pasar
Matanggor di Padang Lawas Tapanuli.

Kirim email ke