http://nana-podungge.blogspot.com/2010/01/agama.html

Kekecewaan kepada agama yang kuanut sejak kecil – karena perlakuan yang tidak 
adil kepada kaum perempuan dan mendapatkan jawaban ketidakadilan ini dalam 
ideologi feminisme – membuatku mudah mengamini tatkala aku membaca sebuah 
artikel yang mencuplik pernyataan para antropolog bahwa agama itu hanyalah 
ciptaan manusia belaka.

(Sudah pernah dengar apa kata orang Negro Amerika di abad sembilan belas? 
“Menurut kami, Adam itu adalah manusia kulit putih pertama di dunia ini. Dia 
yang membawa ketidakadilan pada kaum kulit hitam.” -> hubungkan pernyataan ini 
dengan para kaum kulit putih yang memperbudak kaum kulit hitam selama 
berabad-abad di Amerika. Lebih parahnya lagi, kata seorang dosenku, yang 
membawa praktek perbudakan ini ke Amerika pertama kali adalah orang-orang 
Arab!!! Ingat cerita tentang Bilal, budak hitam legam, yang merupakan budak 
pertama yang masuk Islam? Jauh sebelum Amerika – negara super power yang konon 
pendukung utama human rights dan kesetaraan – negara-negara Arab sudah 
mempraktekkan satu hal yang tidak manusiawi sama sekali.)

Para antropolog juga menyatakan bahwa Adam bukanlah manusia pertama di dunia 
ini.
Aku percaya bahwa dalam diri manusia, ada dua sifat positif dan negatif. 
Tinggal bagaimana manusia mengontrol dirinya, apakah dia akan lebih 
mendengarkan intuisinya sebagai manusia yang baik dan berguna bagi sesamanya – 
yang berarti sisi positif yang menang; ataukah mereka akan menjadi makhluk 
angkara murka, yang berarti sisi negatif lebih menguasai akal pikiran mereka. 
Contoh yang paling mudah kita ambil adalah: Hitler.

Orang-orang super jenius yang menyadari akan hal ini – dan ingin membantu 
menciptakan kedamaian di muka bumi – kemudian menciptakan agama, agar dunia ini 
jauh lebih mudah dikontrol. Mereka juga menciptakan kepercayaan adanya surga 
dan neraka. Ajaran agama yang mereka ciptakan mencuci otak manusia bahwa mereka 
akan masuk surga jika mereka berbuat baik kepada sesamanya, jika mereka terus 
menyembah Sang Maha Kuasa yang telah menciptakan alam semesta beserta segala 
isinya ini. Jika mereka melakukan yang sebaliknya, maka nerakalah tempat mereka 
nanti di ‘hari pembalasan’.

Salah satu ajaran agama Islam (aku tidak tahu ajaran agama lain, maka yang 
kuambil sebagai contoh di sini adalah agama yang kuanut sejak lahir, dan 
kuputuskan untuk tetap kuanut setelah aku membaptis diri sebagai seorang 
sekuler, dikarenakan di Indonesia warga negara wajib menganut sebuah agama LOL) 
adalah shalat. Surat Al-ankabuut ayat 45 menyebutkan “sesungguhnya shalat itu 
mencegah dari perbuatan-perbuatan keji dan mungkar.”

Orang-orang Muslim percaya bahwa untuk mencegah perbuatan keji dan mungkar 
mereka perlu melakukan shalat. Hal ini seolah-olah mereka tidak percaya diri 
bahwa tanpa shalat mereka tidak akan mampu mencegah diri sendiri melakukan 
hal-hal yang tidak selayaknya dilakukan, yang kukonotasikan menyebabkan 
kerugian pada orang lain. Mereka seolah tidak percaya diri bahwa akal sehat 
mereka bisa bekerja dengan baik, sehingga mereka memerlukan sebuah ‘sandaran 
hidup’ – melakukan shalat. Entah bagaimana cara akal mereka berpikir, mereka 
percaya bahwa mereka yang tidak melakukan shalat akan berada dalam tingkatan 
yang lebih rendah, karena berarti orang-orang itu seolah-olah akan melakukan 
perbuatan keji dan mungkar. Dengan kata lain, manusia tidak dipercaya bahwa 
mereka memiliki daya kontrol yang tinggi untuk memilih mana yang baik – yang 
menurutku berarti tidak melukai atau pun merugikan orang lain – tanpa 
berpedoman pada ayat tersebut, atau mana yang buruk
 – yang berarti melukai atau merugikan orang lain. Ini jika kita berbicara 
dalam tataran hablum minannas.

Dalam tataran hablum minallah, siapa di antara sang pencipta dan sang makhluk 
yang membutuhkan shalat? Apakah Sang Maha Kuasa dengan serta merta akan turun 
derajatnya menjadi makhluk jika seluruh makhluk di muka bumi ini berhenti 
menyembah-Nya?

Yang berkaitan erat dengan surat Al-ankabuut ayat 45 adalah surat Al-Maa’uun 
ayat 1-7. Terjemahan bebasnya adalah “Celakalah orang-orang yang melakukan 
shalat jika mereka berbuat riya’ dan enggan menolong sesamanya melakukan 
hal-hal yang berguna.” Di sini jelas terlihat bahwa firman Sang Maha Kuasa 
lebih menitikberatkan pada hablum minannas, daripada hablum minallah.

Kembali ke tesis utama tulisan ini. Akan tetapi, orang-orang super jenius yang 
menciptakan agama untuk ikut menjaga kedamaian dunia ini hanyalah makhluk yang 
tidak bisa selalu memprediksi apa yang akan terjadi di kemudian hari dari apa 
yang mereka ciptakan. Orang-orang yang memahami the so-called Holy Book (entah 
itu Alquran, Bible, atau pun jenis Kitab Suci lain) secara buta dan tidak 
merunut ke belakang bagaimana Holy Book itu tercipta – yakni untuk mengontrol 
sisi negatif manusia dan menciptakan kedamaian di dunia – justru memanfaatkan 
ayat-ayat tertentu demi keserakahan dan keangkaramurkaan diri sendiri karena 
mereka merasa sebagai ‘the chosen people’. (Betapa Hitler adalah manusia paling 
biadab di abad 20 karena kepercayaannya bahwa suku bangsa Arya adalah ‘the 
chosen people!)

Mampukah kita mengontrol sisi negatif dalam diri dengan bergantung pada akal 
sehat kita tanpa perlu menyandarkan diri pada apa yang konon juga diciptakan 
oleh manusia?

-- Nana Podungge, sang sekuler --
PT56 14.00 24.01.10

Minds are like parachutes, they only function when they are open.   (Sir James 
Dewar)
visit my blogs please, at the following sites
http://afemaleguest.blog.co.uk
http://afeministblog.blogspot.com
http://afemaleguest.multiply.com

THANK YOU
Best regards,
Nana



      

Kirim email ke